The Light That Stayed

Prolog

Malam turun perlahan di Sunvale.
Langit seperti menahan napas gelap, lembap, dan sunyi.
Hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang pelan-pelan masuk lewat celah jendela.

Rumah di ujung jalan itu berdiri seperti biasa, hangat dari luar, tapi hampa dari dalam. Dulu, tempat itu penuh suara tawa. Sekarang, hanya ada gema langkah yang tak punya asal.

Kursi di ruang tamu masih di tempatnya. Gelas di meja masih setengah berisi air.
Namun udara di sekitarnya terasa... mati.

“Aku masih di sini.”
Sebuah suara kecil terdengar, begitu halus sampai sulit dibedakan apakah itu nyata atau hanya angin yang berbisik.

“Jangan lupakan aku…”
Suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih dekat.

Lampu di ruang makan bergetar sebentar. Cahayanya menari di dinding, membentuk bayangan seseorang anak laki-laki muda, mungkin, dengan senyum tipis yang tak benar-benar hidup. Matanya kosong. Tapi entah kenapa, terasa seolah sedang menatap balik.

“Mereka bahagia, kan?”
“Ya… tapi mereka tidak tahu.”

Hujan mulai turun lagi.
Pelan. Teratur.
Mengetuk jendela seolah ingin menyampaikan pesan yang tidak bisa dapat untuk diucapkan.

ketuk… ketuk… ketuk…
Lalu berhenti.
Dan mulai lagi, dengan jeda yang aneh.

Di halaman belakang, di bawah pohon besar, tanahnya masih basah.
Ada bau besi samar di udara tajam, dingin, seperti darah yang belum sepenuhnya menghilang.

“Jangan biarkan aku sendirian lagi…”
“Tenang saja. Aku masih di sini.”

Lalu hening.
Semua kembali diam.

Tapi jika kau cukup peka, dan berdiri di depan rumah itu saat malam turun seperti ini, kau mungkin masih bisa mendengar suara lembut di antara angin… seolah seseorang sedang memanggilmu dari tempat jauh.

“Cahaya… jangan sampai padam.”

Dan entah mengapa, lampu ruang tamu yang sudah lama rusak, tiba-tiba menyala sebentar hanya untuk sementara dan kemudian padam lagi.

Rumah keluarga Veyra kembali tenang.
Terlalu tenang.
Dan di tengah keheningan itu, sesuatu yang tak seharusnya hidup...
masih menunggu.