EPILOG

101 7 0
                                        

Heideveld, 1930

"Ah, jadi begitu ...."

Meiling bergumam pelan, matanya tak lepas dari foto-foto tua yang tertata rapi di meja kayu berukir. Di ruangan tamu rumah kuno itu, ia duduk sendirian, sementara cahaya sore dari jendela besar menyinari bingkai-bingkai berdebu.

Heideveld yang tampak tenang dari luar, menyimpan begitu banyak cerita. Meiling datang memenuhi undangan sahabat lamanya, Anna Vermeer. Rumah itu dulunya milik nenek Anna yang telah lama meninggal dan sekarang menjadi tempat persinggahan keluarga Vermeer saat berlibur.

Anna sedang dipanggil oleh ibunya, Agnes De Alf. Maka tinggallah Meiling sendirian, memperhatikan satu demi satu gambar yang tampak diam. Wajah-wajah tegas terpampang penuh wibawa, tapi tak ada satupun yang benar-benar terlihat tersenyum bahagia.

"Dina van Aarden," gumam Meiling, menatap potret wanita bergaun hitam dengan sorot mata tajam dan elegan yang kaku.

Itulah nenek Anna, sosok yang menyimpan sejarah kelam dalam keluarga temannya. Meiling sempat mengira keluarga Vermeer hanyalah keluarga kolonial biasa. Namun, seiring ia mendengarkan banyak cerita dari Anna, semuanya tampak berbeda.

Di balik wajah ceria Anna, ternyata keluarganya penuh bayangan diktator, keras, dan kejam. Banyak tragedi yang pernah Anna ceritakan dengan nada ringan, seolah itu adalah hal yang biasa. Salah satu yang membekas adalah cerita tentang neneknya, Dina van Aarden. Nama itu kini dikenal sebagai 'De Wreedste Koloniale Moeder' alias 'Ibu Kolonial Paling Kejam'.

Kini, wanita itu telah tiada. Hanya tersisa kakek Anna, Isaac Vermeer, yang lebih jarang muncul di rumah besar ini.

Heideveld terasa sunyi. Namun, bagi Meiling, sunyi itu bukan hanya karena tak ada suara. Dengan kemampuannya untuk melihat apa yang tak bisa dilihat orang lain. Ia tahu, rumah ini ramai oleh yang tak kasat mata.

Jerit lirih. Isak tangis tertahan. Sosok bayangan tanpa kepala berjalan perlahan di lorong belakang. Aura mencekam itu melekat di setiap sudut. Meiling tahu, sebagian dari mereka adalah korban. Mungkin pekerja kebun. Mungkin musuh yang dihukum. Atau mungkin hanya jiwa-jiwa yang tak pernah sempat pergi.

Di balik keindahan Heideveld, tersembunyi sejarah yang membekas dalam, membentuk generasi demi generasi yang tumbuh dalam warisan luka.

Meiling hanya duduk di antara potret-potret bisu itu, tahu betul bahwa cerita belum berakhir. Ini baru permulaan dari apa yang ingin ditemukan oleh arwah-arwah yang belum selesai.

Tatapan Meiling berpindah ke salah satu bingkai besar di tengah bufet. Beberapa foto keluarga yang tadi Anna tunjukkan kini tampak lebih jelas di bawah cahaya yang bergeser. Ia mengenali satu per satu wajah yang diceritakan.

Bibi Maria, dengan senyum yang memikat dan gaya busana modis khas wanita Eropa klasik. Bibi Catherine, wajahnya jauh lebih lembut, matanya penuh kesedihan. Bibi Isabella, anak pertama, selalu berwajah datar, dingin dan penuh jarak. Sementara Paman Martijn, yang paling bungsu, terlihat liar dan pemberontak dalam potret itu, kontras dengan Paman Noud yang lusuh, gigi ompongnya terlihat jelas saat tertawa lebar.

Namun, satu sosok yang menarik perhatian Meiling, neneknya Anna, Dina van Aarden.

Meskipun hanya foto, aura yang terpancar dari potret itu sangat pekat. Tatapan matanya tajam, tak berperasaan. Gaunnya gelap elegan, tetapi tubuhnya kaku, seolah berusaha mempertahankan martabat yang telah lama tergores.

Meiling bergidik. Apakah mungkin, seseorang yang hidup dalam dendam dan kebencian begitu dalam bisa meninggalkan jejak energi sekuat itu? Bahkan setelah kematiannya? Mungkin benar, kebencian dan kekuasaan bisa mengubah bentuk jiwa seseorang.

Langkah kaki pelan-pelan terdengar mendekat dari arah lorong. Anna muncul, tersenyum cerah seperti biasa.

"Meiling! Moeder menyuruhku memanggilmu. Kita akan minum teh sore ini, semua keluargaku sudah berkumpul," katanya riang.

Meiling mengangguk cepat dan bersiap berdiri. Ia mengikuti Anna berjalan menyusuri lorong panjang rumah Vermeer yang penuh lukisan tua dan aroma kayu menguar.

Di tengah perjalanan, Anna mulai menanyakan singkat tentang tunangannya, Bram. Sambil tersipu malu, Meiling menjawab singkat. Namun, tak bisa menyembunyikan rona hangat di pipinya. Terlebih lagi ketika Anna bertanya mengenai tusuk rambut yang ia gunakan saat ini, yang merupakan pemberian Bram untuk ulang tahunnya.

Namun, langkahnya terhenti.

Di ujung lorong, berdiri seorang perempuan muda dalam balutan gaun panjang berwarna gelap bergaya Victoria. Wajahnya tampak muda, cantik, namun pucat pasi. Matanya kosong, menembus segala. Gaunnya seolah menyerap cahaya ruangan. Wajah itu bukanlah orang asing bagi Meiling.

Itu dia, Dina van Aarden. Dalam wujud entitas ia kembali muda, tapi tak memiliki kehidupan.

Meiling terdiam dan tenggorokannya tercekat. Ia merasa seperti dilihat dari dalam, seperti seluruh ingatan dan pikirannya terbuka di hadapan sosok itu.

"Meiling?"

Suara Anna memecah lamunannya. Gadis itu menoleh, sosok itu masih ada di sana. Hanya berdiri diam, seperti bayang-bayang masa lalu yang belum siap dilepaskan.

Ia tak berkata apa pun. Namun, kehadirannya jelas, seolah sedang mengamati dan menjaga. Atau mungkin, menanggung semua dosa yang telah ia tinggalkan.

↞ ⚜ ↠

Akhirnya selesai juga.

Gimana gaes, episode khusus kali ini?

Muach gak?

Hehehe

Aku menyadari cerita ini masih banyak yang perlu diperbaiki. 

Aku ucapin terimakasih ke kalian yang sudah baca ini cerita sampai end.

Rating, Gaes. 😗

Dari 1-10, seberapa suka kalian dengan PdS?

Akhir kata, Dank Je All.

===

Oh iya, yang belum tahu Meiling siapa, kalian bisa mampir ke DSC(De Suiker Centrale) dulu ya.

Itu ceritanya si Meiling, anak pertamaku. 😍

Plantage der Schaduwen [REVISI]Where stories live. Discover now