28

64 13 12
                                        

↞ ⚜ ↠

Di tengah hangatnya malam pesta ulang tahun yang meriah, Isaac berdiri dengan tenang di tengah keramaian. Di sebelahnya, Diana masih merangkul lengannya erat, tersenyum kepada setiap tamu yang datang memberi ucapan.

"Semoga kalian selalu bersama hingga akhir hayat," ujar salah satu tamu wanita bangsawan dengan suara lembut namun tegas. Seolah itu adalah sebuah doa sekaligus peringatan.

"Jangan lupa untuk selalu menjaga nona Diana," kata seorang pria setengah baya yang mengenakan jas hitam dan dasi kupu-kupu. "Di Hindia Belanda ini, siapa pun bisa menjadi ancaman, apalagi mereka yang dari kalangan bawah. Jangan biarkan hal buruk menimpa calon istrimu."

Isaac hanya mengangguk, mengukir senyum tipis di wajahnya. Diana masih tertawa kecil, seperti tak menangkap sepenuhnya nada curiga dalam peringatan tadi. Ia hanya menanggapinya dengan sopan, menyimpan ketidaktahuan dan ketidaknyamanan di balik senyum manisnya. Matanya tetap berbinar, seolah malam ini adalah malam yang ia impikan selama ini.

Isaac melirik sekilas ke arah Diana. Wajah yang halus dan tenang. Begitu cocok dengan dunia yang mereka jalani kini. Dunia yang indah di permukaan, tapi penuh intrik di baliknya. Pikirannya sejenak teralihkan. Ia membayangkan hanya sesaat, bagaimana jika wanita di sampingnya bukan Diana, melainkan Dina.

Bayangan itu datang cepat, seperti angin yang meniup dedaunan di kebun teh. Dina tak akan diam dan sekadar tersenyum. Ia akan bertanya, menggali, dan mempertanyakan semuanya. Bahkan mungkin akan menantang tentang keputusan-keputusan hidup yang diambil terlalu mudah oleh seorang pria Belanda di atas tanah jajahan. Entah mengapa, itu terasa lebih jujur. Lebih hidup.

Ia menghela napas panjang. Ia sadar yang kini menggandengnya adalah Diana, bukan Dina. Ia segera melupakan keinginan menggantikan Diana, dengan calon adik iparnya sendiri. Itu tak hanya tak masuk akal, tapi juga berbahaya.

Malam ini, dunia menatapnya sebagai Residen yang bahagia bersama calon istrinya. Maka ia pun melanjutkan sandiwara itu, dengan senyuman yang kembali menghiasi wajahnya.

Tak lama setelah keramaian tamu yang tiada henti itu, dua sosok wanita elegan muncul dari arah sisi aula. Nyonya Caitlin dan Nyonya Emma berjalan tergesa ke arah mereka. Ekspresi keduanya sulit diartikan. Wajah-wajah yang biasanya penuh kendali kini tampak mengeras, seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa mereka tahan lebih lama lagi.

"Isaac," panggil Nyonya Caitlin dengan suara yang datar namun dalam. "Apakah kau melihat Dina?"

Isaac sedikit mengerutkan kening, lalu menjawab tanpa banyak berpikir, "Aku melihatnya tadi, saat dansa."

Nyonya Caitlin menghela napas keras, napas yang terasa seperti guguran beban dan ketidakpuasan. Jawaban Isaac terdengar terlalu biasa, terlalu ringan untuk kekhawatiran yang sedang mereka bawa.

Nyonya Emma pun tampak tidak puas, mengatupkan bibirnya rapat-rapat sembari menahan sesuatu yang jelas bukan sekadar kegelisahan biasa.

Diana, yang sejak tadi masih berdiri di samping Isaac, akhirnya melepas rangkulannya. Ia menyentuh lengan Nyonya Emma dengan lembut, lalu bertanya, "Memangnya apa yang terjadi, Ma?"

Nyonya Emma belum sempat menjawab ketika suara ramai dari luar aula mulai terdengar. Sorak-sorai, desis, dan bisik-bisik para tamu yang mulai berbondong keluar bak air bah yang mencari celah. Seolah ada sesuatu yang lebih menarik daripada musik dansa atau sajian mewah di meja panjang pesta.

Insting mereka pun langsung terpicu. Nyonya Caitlin, Nyonya Emma, Isaac, dan Diana segera melangkah keluar, mengikuti arus tamu yang ingin tahu. Malam yang tadi terasa hangat kini berubah dingin oleh hawa penasaran yang mencekam.

Di halaman depan, cahaya obor dan lampu gas menerangi area jalan masuk menuju taman. Suara kerumunan menjadi semakin jelas. Isaac mempercepat langkahnya, mendahului yang lain. Di dadanya, sebuah firasat aneh mulai tumbuh, seperti ada sesuatu yang tak seharusnya terjadi malam ini.

Tanpa diduga, dari kejauhan arah kebun teh yang membentang luas dan gelap oleh malam, Isaac menatap sosok yang dikenalnya. Tubuh mungil itu tampak ditarik kasar dan dibekap oleh seseorang. Matanya menyipit, mencoba mengenali siluet pria itu, dan segera ia sadar bahwa itu adalah salah satu dari pengawal yang biasa ia tugaskan di Barak. Gadis yang diseret itu adalah Dina.

Langkah Isaac terhenti sesaat. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan apa yang ia lihat bukan delusi yang dibentuk anggur dan malam. Namun, suara gaduh yang tak seharusnya terdengar di kebun teh malam ini mengonfirmasi semuanya.

Dina tak tinggal diam. Seperti ular kecil yang menghindar dari pemangsa, ia menggigit tangan yang membekap mulutnya dengan kuat, menyiku ulu hati pria itu, dan menendang betisnya. Pria itu terhuyung, lalu Dina meraih batu yang tergeletak di tanah, dan memukulkannya ke arah pelipis pengawal tersebut. Darah langsung menetes, lelaki itu terjengkang ke belakang sambil mengerang.

Langkah kaki cepat menghentak tanah. Aryo datang dari arah yang berlawanan, berlari sekuat tenaga, dan langsung mengangkat tubuh Dina dari belakang, menariknya menjauh dari lelaki itu.

"Dina! Sudah! Sudah!" seru Aryo keras, memeluk tubuh Dina erat agar tak kembali melompat untuk menyerang.

Namun, Dina masih meronta. Matanya membelalak penuh murka, wajahnya berantakan akibat debu dan keringat, dari bibirnya mengalir napas berat tak terkendali. Terdapat bekas lebam di pipinya, goresan merah di pelipis, dan kemarahan yang belum juga padam.

Isaac akhirnya sampai. Langkahnya cepat tapi matanya tajam mengamati tiap detail. Di tanah, pengawal bernama Elias terduduk dengan darah mengalir dari pelipisnya. Batu yang tadi digunakan Dina tergelatak tak jauh darinya.

Isaac menatap tajam ke sekeliling, lalu pada Elias. Suaranya pelan tapi mengandung perintah tegas, "Leg het uit, alsjeblieft." (Tolong Jelaskan)

Elias mendesah, menyeka darah di pelipisnya. "Saya korban, Tuan. Dia menyerang saya lebih dulu."

Belum sempat Isaac bicara, Dina menyela dengan suara tajam seperti pisau, "Hoe kun je, als je een jong meisje nog minderjarig is, zeggen dat je iets verkeerd hebt gedaan om haar te verdedigen?" (Dengan gadis muda yang masih dibawah umur, bisa-bisanya kau bilang aku melakukan kesalahan untuk membelanya?)

Aryo perlahan melepaskan pelukannya. Ia mengira amarah Dina telah surut. Tapi ternyata tidak. Mata Dina menyala marah, dan tubuhnya menggigil oleh emosi.

"Baik inlander ataupun wanita Netherlandsch, semua tak ada bedanya kecuali darimana kita berasal," gumam Aryo pelan, nyaris seperti mengingatkan diri sendiri.

Elias yang masih terduduk menimpali, "Penyerangan ke Nona Diana malam itu harusnya jadi peringatan bagi kita. Kalau kita terus mempercayai mereka, para inlander akan menyusup dan menyakiti Anda, Tuan. Kita harus waspada."

Isaac mencelos. Nadanya berubah dingin dan tajam, "Dat is een ander onderwerp." (Itu pembahasan lain)

Dina menatapnya, lalu maju mendekati Elias dengan langkah tenang tapi penuh tekanan. "Ja, dat is een ander onderwerp. En dit ... is voor mijn woede." (Iya itu beda pembahasan. Dan ini ... untuk amarahku)

Tanpa aba-aba, ia mengayunkan tangan dan memukul wajah Elias dengan keras. Suara benturan tulang dan kulit memecah malam. Elias terhuyung ke samping dan mengerang.

Isaac membeku. Ia terkejut tak hanya oleh aksi Dina, tapi juga oleh kekuatan pukulannya.

↞ ⚜ ↠

Plantage der Schaduwen [REVISI]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon