chapter 3: Pertanyaan?

Start from the beginning
                                        

"Pergi sekarang!"

Kholifah dan Diki pun akhirnya mengalah, membantu Perdi yang masih lemah untuk pergi. Stevanus kemudian menghadap Bambang lagi, sementara teman-teman Bambang yang lain sudah mengepung mereka berdua.

"Dengar, Bambang. Aku tahu kamu nggak suka ada masalah di wilayahmu," ucap Stevanus dengan tenang.

"Tapi, preman-preman itu dari TKR. Mereka juga mengganggu ketenangan sekolah. Kita bisa selesaikan masalah ini baik-baik, atau kita biarkan masalah ini menjadi lebih besar."

Bambang menatap mata Stevanus, mencari kebohongan. Namun, ia hanya menemukan ketenangan dan keberanian. Bambang tahu, Stevanus bukanlah musuh. "Baik. Tapi, ini peringatan. Jangan lagi bikin masalah di wilayah kami," ujarnya, lalu ia membubarkan kerumunan.

Stevanus mengangguk.

Setibanya di kelas, suasana tegang masih terasa. Enjel dan Deta dengan sigap mengambil kotak P3K. Mereka membersihkan luka gores di pelipis Perdi dan mengobati hidungnya yang masih berdarah. Perdi hanya diam, sesekali meringis menahan sakit.

"Tenang aja, Perdi. Lukamu nggak parah, kok," kata Enjel lembut.
"Iya, nanti juga sembuh. Tapi kayaknya kamu butuh istirahat, ya?" timpal Deta.

Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka lebar. Masuklah Sumardi, Adit, Andrean, Riski, Raja, dan Beni. Mereka datang dengan tergesa-gesa, wajah mereka dipenuhi kecemasan. Pandangan mereka langsung tertuju pada Perdi yang sedang diobati.

"Perdi! Dia kenapa?!" tanya Sumardi, suaranya panik.

"Ada apa ini? Kok bisa sampai begini?" tambah Raja.

Kholifah pun menceritakan kronologi kejadian yang baru saja mereka alami, tentang pertarungan sengit antara dirinya, Diki, dan preman kelas 12. "Kita udah hajar balik mereka. Tapi kayaknya kita harus lebih waspada lagi," jelas Kholifah.

Stevanus menambahkan, "Mereka itu preman di wilayah TKR. Jadi, kita harus selalu hati-hati. Kita nggak bisa biarin merekaberbuat seenaknya."

Mendengar cerita itu, Beni, yang tadinya suka bercanda, langsung serius. "Jadi kita harus bikin strategi. Kita nggak bisa biarin mereka terus bermain-main," usulnya.

Semuanya setuju dan saling memberi usulan terbaik untuk masalah ini..

Setelah suasana sedikit tenang, Raja menatap Adit dengan serius. Ia merasa ada yang tidak beres sejak tadi pagi. "Ngomong-ngomong, Dit. Kau bilang ada yang ingin kau utarain?" tanyanya, langsung ke inti permasalahan.

Semua mata langsung tertuju pada Adit. Mereka penasaran. Namun, Adit hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Tidak jadi, nanti aja kita bahas," jawabnya, menghindari tatapan mata teman-temannya.

Jawaban Adit membuat mereka heran. Biasanya, Adit adalah orang yang paling bersemangat untuk berbagi cerita. Kali ini, ia terlihat lebih pendiam dan gelisah.

"Loh, kok nggak jadi, Dit? Kenapa? Penting banget, loh, sampai-sampai kamu ngotot ngajak kita ngumpul," desak Raja.

"Iya, Dit. Cerita aja. Siapa tahu kita bisa bantu," timpal Sumardi.

Adit hanya menghela napas. "Aku bilang nanti, ya nanti. Masih belum waktunya," jawabnya singkat.

Sikap Adit yang misterius membuat mereka semakin penasaran. Ada apa sebenarnya?

Stevanus yang sejak tadi terdiam, akhirnya angkat bicara. Ia sadar, ketegangan di antara teman-temannya sudah terlalu memuncak.

"Sudah!" ucap Stevanus dengan suara tegas, membuat semua orang terdiam.

"Gini, guys. Aku tahu kalian semua khawatir sama Perdi. Kita semua marah dan pengen balesin perbuatan mereka. Tapi, apa dengan marah-marah gini masalahnya selesai?"

Semua mata tertuju pada Stevanus. Diki dan Kholifah yang emosi, serta Adit yang terlihat gelisah, perlahan-lahan meredakan amarah mereka.

"Yang penting sekarang, kita pastikan Perdi aman dan lukanya diobati. Kita harus pikirin cara yang lebih baik buat hadapin ini semua. Kita harus bersatu, bukan malah berantem satu sama lain," lanjut Stevanus dengan bijak.

Kata-kata Stevanus berhasil menenangkan suasana. Diki dan Kholifah mengangguk setuju. Mereka menyadari, persatuan di antara mereka jauh lebih penting daripada emosi sesaat. Adit pun terlihat lebih lega.

Saat itulah, bel masuk berbunyi, mengakhiri waktu istirahat yang penuh dengan konflik.

Kelas 11 TKJ1 kembali riuh dengan suara penjelasan Pak Refi. Namun, alih-alih diisi oleh semangat belajar, kelas itu justru diselimuti aura kantuk yang luar biasa. Pak Refi, guru matematika yang terkenal dengan penjelasannya yang detail dan monoton, berhasil menidurkan hampir seisi kelas. Bahkan, dua siswa yang terkenal paling rajin, Stevanus dan Sumardi, tumbang di meja belakang. Kepala mereka tenggelam di antara tumpukan buku, seolah-olah bantal adalah rumus-rumus matematika itu sendiri.

Melihat fenomena langka ini, ide jahil pun muncul di benak beberapa siswa. Diki dan Raffi saling berbisik, merencanakan sesuatu.

Perlahan-lahan, Diki mengambil spidol papan tulis berwarna hitam. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap ke meja Stevanus.

Sementara itu, Raffi bertugas mengalihkan perhatian, berpura-pura bertanya sesuatu kepada Pak Refi.

"Pak, kalau nilai sinus itu selalu positif ya?" tanya Raffi, yang sontak membuat Pak Refi semangat menjelaskan.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Diki. Dengan cekatan, ia menggambar kumis tebal dan kacamata bulat di wajah Stevanus yang pulas. Hasilnya persis seperti karakter film superhero. Tak mau kalah, Kholifah yang duduk di belakang Sumardi, ikut beraksi. Ia mengambil pulpen dan dengan lembut menggambar kumis tebal di wajah Sumardi.

Tak lama kemudian, bel pulang berbunyi, dan semua siswa pun terbangun, kecuali Stevanus dan Sumardi. Melihat wajah kedua sahabatnya yang penuh coretan, seisi kelas pun pecah dalam tawa yang tak tertahankan.

"Hahaha! Mirip banget sama pahlawan super!" teriak Beni sambil memotret Stevanus.

"Kok bisa-bisanya mereka nggak bangun, ya?" timpal Naisya.
Tawa riang seisi kelas akhirnya membangunkan Stevanus dan Sumardi. Mereka terkejut melihat wajah teman-temannya yang menertawakan mereka. Dengan polos, mereka bertanya,

"Ada apa, kok pada ketawa?"

Melihat wajah mereka di pantulan kaca jendela, keduanya pun terkejut.

"Diki! Raffi! Kholifah!" teriak mereka bersamaan, yang disambut tawa yang semakin kencang.

Hari itu, pelajaran matematika Pak Refi mungkin tidak berhasil masuk ke otak mereka, tetapi kenangan lucu itu akan terus mereka ingat.

One Class Computer Engineering Where stories live. Discover now