chapter 3: Pertanyaan?

23 8 0
                                        


Perdi terkapar di lantai, napasnya tersengal dan darah mengalir dari hidungnya. Tangan salah satu preman kelas 12 sudah terangkat tinggi, siap melayangkan pukulan terakhir.

Namun, tiba-tiba, sebuah tendangan cepat melesat, mengenai lengan preman itu hingga ia terhuyung.

Pandangan Perdi yang buram karena dihajar perlahan-lahan fokus. Di depannya, Diki dan Kholifah berdiri dengan napas terengah-engah, wajah mereka penuh amarah. Kholifah menatap preman itu dengan tajam, sementara Diki langsung menghampiri Perdi, membantunya berdiri.

"Perdi, lo nggak apa-apa?" tanya Diki, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
"Gue... gue nggak apa-apa," jawab Perdi terbata-bata.

"Siapa kalian? Mau jadi pahlawan kesiangan?" bentak ketua preman dengan nada mengancam. "Jangan ikut campur urusan kami kalau nggak mau kena getahnya!"

"Dia teman kami! Dan lo berani-beraninya ngehajar dia?" balas Kholifah, suaranya bergetar menahan amarah. "Lo pikir sekolah ini punya bapak lo?!"

Pertarungan pun tak terhindarkan. Preman-preman itu maju, menyerang Diki dan Kholifah. Diki, dengan postur tubuhnya yang lebih tinggi, mengandalkan kelincahan. Ia menghindar dari setiap pukulan, lalu melancarkan serangan balik ke arah perut dan tulang rusuk lawan.

Sementara itu, Kholifah yang memiliki badan lebih tegap, lebih fokus pada pertahanan. Ia menangkis setiap pukulan dan berusaha menjatuhkan lawan dengan dorongan.

Meskipun kalah jumlah, mereka berdua tak menyerah. Kholifah berhasil menjatuhkan satu preman dengan dorongan kuat ke tembok. Di sisi lain, Diki berhasil membuat preman lain kewalahan dengan serangan-serangannya yang cepat.

Namun, dua lawan lainnya langsung menyerang mereka dari belakang. Kholifah dan Diki kewalahan.
Saat mereka hampir terpojok, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari jauh. Itu adalah Stevanus, Raffi, dan beberapa siswa lain yang datang. Para preman yang melihat kedatangan mereka langsung panik. Mereka sadar, kali ini mereka kalah jumlah. Dengan wajah kesal, mereka melarikan diri, meninggalkan Kholifah dan Diki yang kelelahan, serta Perdi yang terkapar.

Setelah para preman kelas 12 melarikan diri, Kholifah dan Diki langsung menghampiri Perdi dan membantunya berdiri. Kholifah menepuk pundak Stevanus, matanya penuh rasa terima kasih.

"Makasih banyak, Nus, Kalian datang di saat yang tepat," ucapnya tulus.

"Santai aja, Lif. Kita ini teman," jawab Stevanus. "Kita cuma ngelakuin apa yang harus kita lakuin."

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Kericuhan yang terjadi di wilayah TKR telah menarik perhatian banyak siswa TKR. Mereka berdatangan, membentuk kerumunan, dan menatap penuh tanya.

Di antara kerumunan itu, muncul Bambang, ketua kelas 11 TKR 1, yang berwajah serius.

"Ada apa ini? Kenapa kalian dari TKJ ada di wilayah kami?" tanyanya dengan nada dingin.

Stevanus maju selangkah, menatap Bambang tanpa gentar. "Ada kesalahpahaman. Teman kami dihajar preman kelas 12," jawabnya, berusaha menjelaskan situasi.

"Itu bukan urusan kalian," balas Bambang. "Ini wilayah kami, dan kami yang akan mengurusnya."

"Jangan sok jagoan, Bam. Mereka itu teman kami, dan kami berhak membela mereka," timpal Diki, yang langsung direspons tatapan tajam dari Bambang.

Stevanus menyadari situasi bisa memburuk. Ia menoleh ke teman-temannya. "Kholifah, Diki, Raffi... bawa Perdi pergi dari sini. Aku yang akan bicara sama Bambang," bisiknya.

Kholifah dan Diki ragu. Mereka tidak ingin meninggalkan Stevanus sendirian. "Tapi, Nus..."

"Percaya sama aku. Aku nggak akan kenapa-kenapa," potong Stevanus.

One Class Computer Engineering Where stories live. Discover now