"Terkadang, seseorang yang paling ingin kita lupakan adalah seseorang yang tidak bisa kita hapus dari ingatan."
****
"Pagi, Arsen! Mau roti buatan aku nggak?"
"Arsen, Arsen! Kepala aku pusing nih. Boleh nebeng pulang nggak? Hehe."
"Arsen, munduran dikit, dong! Gantengnya kelewatan! Hihi."
"Arsen, kalau nanti kita udah dewasa, mau nggak jadi pacar aku?"
Lova menggelengkan kepala berulang kali. Ia mengacak rambut panjangnya hingga berantakan. Sudah lima tahun berlalu, tapi hingga kini ia masih malu setiap mengingat masa SMP-nya.
"Ck, udah lah. Namanya juga masih bocah," kata Reina—entah sudah untuk keberapa kalinya—setiap Lova merasa frustrasi memikirkan kelakuan memalukannya dulu pada Arsen.
"Tapi, Na! Gue malu banget! Itu pasti bukan gue," keluh Lova.
"Itu elo. Nggak usah ngelak."
"Ihh!" Lova menatap Reina yang tengah membaca buku dengan gemas. Tidak bisakah temannya itu sedikit menenangkannya?
"Kan emang bener. Mau gimana pun, itu udah lewat. Arsen juga pasti lupa sama lo."
Lova terdiam sejenak. Ia mengangguk pelan. Ya, itu sudah lama. Arsen mungkin sekarang sudah jadi lelaki sukses dengan segudang kesibukan. Dia pasti tidak mengingat masa lalu lagi—apalagi masa lalu yang sama sekali tidak berkesan.
"Semoga aja, deh," gumam Lova sambil menjatuhkan kepalanya ke atas meja dan menghela napas berat.
"Tapi..." Reina mengalihkan pandangan dari buku, menatap Lova. "Lo masih suka, kan, sama dia?"
Lova cepat-cepat mengangkat kepala dan menggeleng keras. "Nggak!"
Reina hanya tersenyum tipis, mengangguk-angguk, lalu kembali membaca.
"Hapus gih foto Arsen di HP lo. Malu tau kalau ketahuan lo masih suka sama dia."
Lova terperanjat. Bagaimana Reina bisa tahu kalau ia masih menyimpan foto lama Arsen?
"Ah! Gue lupa ngehapusnya!" Lova buru-buru mengambil ponsel dari tas dan mengotak-atik sebentar. "Nih, lo liat. Udah gue hapus," katanya sambil menghapus satu foto Arsen di depan Reina.
Gadis berambut sebahu itu hanya tersenyum samar. Ia pura-pura tidak tahu kalau foto Arsen di ponsel Lova sebenarnya masih banyak.
"Lova! Sini bentar dong!" seru Kak Dian dari arah kasir.
"Iya, bentar, Kak!" balas Lova setengah berteriak. Ia menyimpan ponselnya lalu berjalan menghampiri Kak Dian. Ternyata ada pesanan delivery.
Di kedai pizza ini, Lova bekerja sebagai waitress. Tapi kadang ia juga merangkap kurir makanan—hitung-hitung menambah penghasilan.
Lova kembali menghampiri Reina sambil mengenakan jaket. "Na, gue bakal lama, nih. Lo balik aja gih."
"Beneran? Nggak perlu gue anter?"
"Nggak, nggak papa. Gue balik jalan kaki aja. Nggak malem banget kok baliknya."
Reina mengangguk. "Okedeh, kabarin kalau mau dianter."
Lova mengacungkan jari jempolnya ke arah Reina, dia lalu mengambil beberapa boks pizza dari Kak Dian, lalu keluar menuju motornya yang terparkir di depan.
Reina berdiri dan menyandang tas di bahu kanan. Ia mengamati Lova dari balik dinding kaca. Meskipun jarak rumahnya dan rumah kontrakkan Lova lumayan jauh, Reina tetap menawarkan diri untuk mengantar Lova pulang.
YOU ARE READING
Bittersweet Rewind
RomanceJadi pacar pura-pura cowok yang ditaksir sejak SMP? Siapa yang bakal nolak? Lima tahun lalu, Lova pasti akan langsung mengangguk tanpa ragu jika Arsen-cowok dingin dan nyaris tak tersentuh itu-menawarinya peran sebagai pacar pura-puranya. Meski ia...
