Sepeda yang sebelumnya ditinggalkan oleh Jae di depan toko kosong itu akhirnya diambil oleh salah satu pekerja di kebun milik sang Kakek yang kebetulan lewat ke tempat itu. Jae merasa beruntung bertemu dengan pria paruh baya tersebut, sedangkan Aylee terus menahan tawa membuat Jae semakin kesal.
Ia pulang ke rumah dengan raut wajah masam. Kakek dan Neneknya yang tengah duduk di ruang tengah hanya saling berpandangan, bingung namun tidak segera bertanya. Jae hanya melangkah cepat menuju lantai atas, lalu masuk ke kamar dengan suara pintu yang dibanting pelan.
Satu nama yang sejak tadi memenuhi pikirannya: Aylee. Gadis itu sungguh telah membuat Jae benar-benar kesal, dan sejak pertama mereka bertemu pun Jae sangat tidak menyukai gadis tersebut. Padahal wajah Aylee sangatlah teduh seperti ibu peri, tapi ternyata gadis itu sangatlah menyebalkan.
Padahal, toko kosong itu sudah menjadi tempat favorit Jae selama beberapa hari terakhir. Tempat ia merasa aman, bisa merokok tanpa gangguan, dan menikmati pemandangan padang rumput luas.
Selama duduk di sana, tidak ada satu pun tanda-tanda menyeramkan. Tidak ada suara ganjil, tidak pula hawa mistis yang membuat bulu kuduk berdiri. Semuanya terasa tenang. Maka, satu-satunya kesimpulan yang Jae yakini adalah bahwa Aylee sengaja mengerjainya.
Dan itu sungguh semakin membuatnya kesal.
Ia berjalan ke balkon kamarnya, mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Di meja kecil balkon, ada segelas susu pisang yang diletakkan oleh Neneknya. Entah kapan, mungkin sebelum Jae pulang susu oisang itu sudah berada disana.
“Sialan,” gumamnya kesal. “Dikira gue masih bocah apaan dikasih ginian terus tiap hari.”
Belum sempat ia menyentuh gelas tersebut, ponselnya berdering. Nama Daniel muncul di layar. Salah satu teman dekatnya dari kota. Dan teman yang membuatnya terjemurus pada hal-hal kotor.
Jae mengangkat cepat.
“Halo, Daniel.”
“Halo, bro! Gimana kabar lo di desa? Seru nggak? Atau lo udah mulai ngajak ngobrol tembok kamar?”
Jae mendengus geli. “Sialan lo.”
Tawa Daniel terdengar lepas dari seberang. “Lo pasti kangen mabok sama tidur bareng cewek, kan? Aduh, burung lo pasti kesepian banget sekarang. Mulut lo juga pasti pahit. Kasihan amat. Mau gue kirimin permen sekardus?”
“Anak kecil kali gue,” sahut Jae malas.
“Ya emang! Anak kecil nggak boleh mabok, ngerokok, apalagi tidur sama cewek. Lo sekarang cocoknya main layangan.”
“Lo kalo deket, gue geprek tuh mulut.”
“Jangan dong, ini mulut seksi. Favorit cewek-cewek. Lo tega?”
“Seksi apaan. Mulut lo tuh kayak bebek.”
Daniel tertawa keras. “Tapi serius, bro. Hidup lo sekarang kayak pangeran dibuang ke kampung. Nggak ada club, nggak ada cewek, nggak ada suara musik keras. Cuma ada jangkrik sama sapi mungkin? Bener gak?”
"Bener, tapi memurut gue disini bagus, pamtas dapat julukan desa terindah. Ya cuma gitu, gak seperti di kota serba ada. Disini cocok nya buat aki-aki sama nini-nini."
Danie tertawa lepas mendengar ucapan terakhir Jae. "Kasian temen gue. Kalo disana penghuninya kebanyakan yang udah vintage, gue jadi takut." Jae mengerutkan alis bingung.
"Takut kenapa?" tanya Jae dengan polosnya, suara cekikikan di sebrang sana terdengar.
"Takut lo berjodoh sama yang vintage."
YOU ARE READING
Lieb Mich
Short StoryJaetama Madeva, anak muda bengal, diasingkan orangtuanya ke rumah kakek-neneknya di Meadowglen, desa terindah nomor tiga di dunia, setelah tingkah lakunya yang tak terkendali. Jauh dari hingar-bingar kehidupan kota dan hiburan malam kesukaannya, Ja...
