Kamar tampak remang. Hanya lampu tidur di sisi ranjang yang menyala redup, menyisakan cahaya kekuningan yang nyaris tak cukup mengusir bayang. Tirai jendela belum dibuka sejak pagi, dan langit di luar masih mendung setelah hujan. Udara di dalam ruangan terasa lebih dingin, lembap, dan sunyi kecuali oleh suara lirih yang berulang-ulang.
Nicholas menangis lagi, entah untuk keberapa kalinya. Tangisnya pelan, tidak memekakkan telinga seperti bayi pada umumnya, tapi cukup untuk membuat dada terasa sesak. Suara itu seperti jarum kecil yang terus menusuk ke dalam kepala Jake.
Jake masih membelakangi tempat tidur bayi itu. Selimut menyelimuti tubuhnya hingga ke kepala, matanya terpejam, tapi wajahnya menegang. Keningnya mengernyit. Ia tidak tidur.
"Diamlah sebentar, aku lelah mengurusmu!" ucap Jake, suaranya serak dan bergetar. Bukan marah, lebih seperti kelelahan yang meluap.
"Jake..." Cedric memanggil pelan dari ambang pintu. Ia segera melangkah masuk dan menghampiri anak mereka yang masih menangis. Dengan lembut, ia membawanya ke dalam pelukan. Tubuh mungil yang rapuh itu sedikit gelisah, tangan-tangan kecilnya mengejang perlahan, tapi tetap berusaha diam dalam gendongan Cedric.
Jake tidak menanggapi. Bahkan tak menoleh sedikit pun.
"Sayang, sepertinya putra kita lapar. Mungkin kamu-"
"Aku lelah, Cedric! Sejak semalam dia menangis terus, aku juga mau istirahat! Aku pusing mendengarnya!" suara Jake meninggi, penuh frustrasi, namun terdengar lebih sebagai keluhan tertahan daripada amarah. Cedric terdiam. Ia melangkah perlahan ke arah ranjang, duduk di sisi Jake sambil mengayun pelan Nicholas. Bayi mereka mulai tenang, meski matanya tetap terbuka, kosong seperti memandangi sesuatu yang tak kasat mata.
"Aku tahu ini sulit," Cedric berusaha tenang. "Tapi kita bisa jalani ini pelan-pelan. Nicholas tetap bayi kecil kita, Jake. Dia istimewa."
Jake akhirnya menarik selimut dari kepalanya, duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia tidak menatap Cedric.
"Sayang..."
"Sulit, Cedric. Kamu tidak mengerti menjadi diriku. Aku melahirkannya dengan kekurangan. Setiap kali melihatnya, aku selalu merasa... mungkin kamu dulu benar untuk tidak mempertahankannya. Tapi aku keras kepala, dan lihat, dia lahir cacat."
Kata-katanya menggantung. Matanya berkaca-kaca. Jake memeluk lututnya erat, seolah hanya itu yang bisa menopangnya.
"Kamu benar, Sayang, untuk mempertahankan Nicholas. Lihat, putra kecil kita. Dia terlahir istimewa, dia malaikat yang Tuhan titipkan kepada kita. Tidak ada kekurangan. Nicholas sempurna."
"Kamu mengatakan hal itu, tapi kenyataannya, dia tetap anak yang cacat. Semua orang juga tahu kalau dia tidak sempurna."
Cedric menghela napas panjang. Ia berdiri, meletakkan Nicholas yang sudah mulai tenang kembali ke dalam ranjang bayinya, lalu duduk lagi di sisi Jake.
Matanya menatap lembut, penuh luka yang disembunyikan. Ia tahu Jake berjuang sejak pulang dari rumah sakit, awalnya sempat terlihat menerima Nicholas, meski dengan getir. Tapi semakin hari, semakin jelas penolakannya. Semakin terlihat luka yang belum sembuh di dalam diri Jake.
Mungkin inilah rasa sakit yang dulu Jake rasakan, saat Cedric sendiri sempat menolak keberadaan anak mereka. Sekarang semuanya berbalik. Jake tenggelam dalam kepanikan yang terus membayanginya, tentang masa depan Nicholas, tentang dirinya sebagai orangtua, tentang pandangan orang lain, dan semua rasa takut itu akhirnya menjadi tembok yang memisahkan ia dari anaknya.
Sejak pertama mendengar kondisi bayinya, Jake membeku dalam ketakutan. Nicholas lahir prematur, tubuhnya kecil dan cacat. Orang-orang menatap dengan iba, dan Jake membencinya. Ia tak mau dikasihani. Ia tak mau Cedric dikasihani. Dan dalam hatinya, ia mulai percaya, ini semua adalah salahnya.
Ia menolak menyentuh Nicholas. Menolak menyusuinya. Menolak memanggilnya dengan nama. Bukan karena ia membenci, tapi karena ia merasa tak layak. Ia takut, ia yakin anak itu akan terluka karena tubuhnya yang gagal. Dan ia, ia terlalu takut untuk benar-benar menjadi seorang ibu.
Namun waktu berjalan. Jake mencoba membuka diri. Ia mencoba memeluk Nicholas. Ia mencoba mengucapkan kata "anakku". Tapi setiap kali Nicholas menangis panjang dan keras, kepalanya kembali penuh oleh panik dan kelelahan yang menyesakkan.
Lalu ia kembali takut. Takut orang akan menatap rendah anaknya. Takut mereka akan menyalahkan Cedric. Takut Cedric sendiri akan menyesal. Semua ketakutan itu berubah menjadi dinding yang memisahkan dirinya dan Nicholas.
Dan pada akhirnya, Jake menyerah. Ia berhenti mencoba. Ia mundur, ia menyalahkan dirinya. Ia mencintai anak itu, tapi cinta saja tidak cukup untuk menyembuhkan semua luka yang ada dalam dirinya.
"Jake, lihat aku," bisik Cedric, menyingkirkan surai Jake yang mulai memanjang dan menutupi mata. Tapi Jake hanya menggeleng, memeluk lututnya lebih erat. Ia menolak menatap Cedric.
"Kamu tidak mengerti," bisiknya.
Cedric menghapus air mata yang mengalir di pipi Jake, tangannya gemetar. Ia tak tahu harus berkata apa. Rasa bersalah yang selama ini ia tahan, kembali mencuat.
"Aku takut," Jake berbisik lagi. "Aku takut bakal dipandang buruk. Kamu... kamu memiliki anak cacat dari aku."
Cedric menarik napas dalam, menahan isak. Ia tak marah pada Jake. Ia marah pada dirinya sendiri, karena pernah membuat Jake merasa sendirian melalui semua ini. Ia menggenggam tangan Jake, menangkupnya lembut.
"Kamu pikir aku peduli dengan pandangan orang lain? Biarkan saja mereka. Yang penting itu kamu, dan Nicholas. Itu saja sudah cukup dan membuatku bahagia. Tuhan sangat baik untuk membiarkan kamu dan Nicholas berada di dalam dihidupku"
Jake menatapnya dengan mata yang basah. Lalu, perlahan, pandangannya berpindah ke ranjang bayi di pojok ruangan. Nicholas sudah berhenti menangis.
Cedric menunduk, memeluk Jake perlahan.
"Kamu bukan gagal," ucapnya dengan suara parau. "Kamu terluka, Sayang. Dan gak apa-apa kalau butuh waktu."
Jake tak menjawab. Air matanya kembali jatuh. Ia membalas pelukan Cedric dengan kaku. Seperti ada dinding di dalam dirinya yang sedikit demi sedikit mulai retak.
Malam itu hujan turun lagi. Udara bertambah dingin, tapi kamar mereka sedikit lebih hangat dari sebelumnya.
.
.
.
.
.
.
ni-ki x jungwon or ni-ki sunoo?
YOU ARE READING
Stupid Jake • Sungjake [REVISI]
RomanceBerawal dari kebodohan Jake yang terlalu percaya diri. Teman-temannya menantangnya untuk menggoda pria tampan di bar, dan Jake yang merasa bisa saja menerima tantangan itu. Tapi, alih-alih berhasil, dia malah ceroboh sampai obat perangsang yang seha...
![Stupid Jake • Sungjake [REVISI]](https://img.wattpad.com/cover/388609977-64-k509002.jpg)