"Mereka yang sudah kehilangan rasa akan menganggap semua perasaanmu sebagai lelucon baginya"
.
.
Wanita tersebut membiarkan waktu menghancurkan perasaannya, namun takdir tak membiarkan dirinya hancur sendirian. Sang wanita pun dibuat merasa disakiti...
Hanya ada dentuman jam dan kesunyian di dalam cafe saat ini. Rely terpaku pada kopi di hadapannya. Matanya berusaha berkelana tanpa menaruh arah pada lelaki di seberangnya. Wanita itu sesekali meneguk kopi sembari memperhatikan layar ponselnya. Rely tahu ia sedang diperhatikan, namun hal tersebut tak mempengaruhi konsentrasinya sama sekali. Bukan karena tak tertarik, namun Rely telah memiliki pujaan hatinya sendiri. Pujaan hatinya itulah yang tengah menyibukkannya sekarang.
Setelah dirasa cukup lama beristirahat Rely pun pergi dari café diikuti oleh pria di seberangnya. Mereka keluar bersama, melewati jalan dengan arah yang sama hingga menuju ke lift yang sama. Hal ini disebabkan letak kantor mereka yang hanya berbeda satu lantai. Hampir menjadi sebuah ritual, sebuah kebiasaan yang selalu membersamai keseharian Rely. Tak terlewat satu hari pun. Seperti biasa, Rely tersenyum setelah memasuki lift lebih dulu dan mempersilahkan sang direktur untuk ikut memasuki lift yang terbuka. Tak ada sapaan, tak ada percakapan, hanya lemparan senyum simpul satu sama lain, aneh memang. Padahal direkturnya adalah sosok yang terkenal dengan keluwesannya dalam bergaul dan berbicara. Namun dihadapan Rely, direktur tersebut tampak lebih tenang dan berwibawa.
***
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Pintu dibuka, Rely memasuki apartemen mewahnya. Tak sembarang masuk, ia langsung mengumpulkan pakaian kotor, memasukkannya dalam mesin cuci sembari memanaskan air dalam katel. Tak lupa juga Rely menyalakan vacuum cleaner otomatis dan merapikan barang yang tak sesuai tatanannya. Setelah membersihkan diri dengan air hangat, Rely pergi menuju dapur. Sesuai pesanan sang kekasih, kali ini Rely akan memasak pasta dan steak. Membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk memasak dan menyajikan masakannya. Setelah itu ia kembali ke kamar untuk melakukan perawatan rutinnya dan sedikit berdandan. Semua itu Rely lakukan untuk menyambut kekasih yang amat dicintainya, kekasih yang telah tinggal bersamanya selama dua tahun.
"Ardi!" Rely tersenyum sumringah melihat sang kekasih memasuki pintu apartemen milik mereka. Keduanya memang belum menikah, namun mereka berada pada hubungan yang dewasa. Tak ada percekcokan untuk hal kecil, tak ada juga perdebatan harta. Semua dibagi rata dan adil untuk pengeluaran terkecil sedikitpun.
"Rely." Ardi menyambut sang kekasih dengan pelukan hangat.
"Nunggu lama kah?" Pertanyaan Ardi dijawab dengan gelengan oleh Rely.
"Makan atau mandi?" Rely bertanya balik.
"Makan lah, orang yang masak sudah nungguin juga." Ardi mencubit ujung hidung Rely.
Keduanya pun menuju ruang makan dan duduk berhadapan. Seperti biasa Rely dan Ardi menikmati makan malam bersama disertai dengan percakapan dan gurauan. Ardi memang tak telalu pintar menasehati, namun sepatah katanya saja dapat melegakan kerisauan Rely, seperti ada seseorang yang selalu berada dipihaknya. Setelah menyelesaikan makan, keduanya pun saling membantu untuk membersihkan piring dan beranjak untuk beristirahat
"Kemarin ada pegawai baru ya katanya?" tanya Rely yang telah berbaring di kasur diikuti sang kekasih.
"Iya, kok tahu?"
"Kemarin pas nganter flashdiskmu yang ketinggalan aku ketemu pak Irwan, katanya sekretarismu sudah ganti."
"Hmm."
Percakapan malam itupun berakhir. Rely tak perlu menanyakan sesuatu yang rumit seperti mengapa Ardi tak memberitahunya atau sebagainya. Rely menahan apapun yang dapat memicu pertengkaran di antara mereka. Setelah Ardi tertidur lelap Rely pun bangkit dan beranjak ke kamar mandi untuk sekedar menghapus riasan sederhananya, barulah setelah itu ia bisa tidur dengan nyenyak.