“Mas, internetmu juga mati?” tanya Damar.

“Bukan cuma internet. Semua aplikasi error. Bahkan GPS-nya… kayak ilang.”

Di seberang lorong, seorang anak remaja berkata lantang, “Instagram gue nggak bisa dibuka. WhatsApp juga. Bengek.”

"Dan lagi, kenapa keretanya berhenti mendadak?"

Damar berdiri dan berjalan ke sambungan antar-gerbong, berharap menemukan awak kereta. Lorong sunyi. Bahkan ruang kontrol yang seharusnya dijaga kini kosong.

Gemuruh kecil terasa di bawah kaki. Bukan kereta yang bergerak. Lebih mirip seperti... tanah yang bergeser. Getaran lambat tapi konsisten.

Di luar, langit mulai berubah lebih cepat. Cahaya hijau makin terang, berputar pelan seperti pusaran halus yang tak masuk akal. Para penumpang mulai berdiri dari kursi, memandang ke luar jendela, keluar dari kebingungan menjadi kegelisahan yang nyata.

Di tengah hamparan sawah, para penumpang yang memperhatikan ke arah luar kemungkinan besar atau bahkan pasti akan melihat cahaya hijau tersebut.

Damar menekan tombol komunikasi darurat di dinding kabin.

Tidak ada respons.

Kemudian getaran itu meningkat. Benda-benda kecil mulai jatuh dari rak bagasi. Suara kereta bergoyang pelan  bukan karena rel, tapi karena tanah tempat rel itu berdiri ikut bergerak.

Orang-orang mulai panik.

Dari arah belakang seorang pramugari pelayan wanita menepuk pundak Damar.

"Pak, mohon untuk duduk, saat ini sedang terjadi gempa!"

Tanpa perlawanan ia segera menuruti permintaan pelayan tersebut

Damar melihat ke langit dan merasakan ketidakpastian menekan dadanya.

“Ini bukan gangguan sinyal biasa,” pikirnya. “Ini... sesuatu yang lebih besar.”

Dan saat itulah, langit seperti dilapisi awan putih halus  menyelubungi pandangan seperti tirai tipis yang menutupi panggung sebelum drama besar dimulai.

Tak Berselang lama guncangan mereda. Seluruh penumpang serentak terdiam. Yang bersuara histeris mereda sementara beberapa yang berdoa, tetap meminta perlindungan dalam ucapannya.

Kemudian pengumuman dari pengeras suara berbicara, menjelaskan mengenai apa uang baru saja terjadi dan meminta semua penumpang untuk tetap tenang.

Riuh suara penumpang mulai mengisi kabin dan pramugari yang bertugas harus menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan pada mereka.

~ akhir bab ~


➖➖➖➖➖➖➖➖⬇️⬇️➖➖➖➖➖➖➖➖

~ English 🇬🇧 ~

Halim Station was bustling that morning, but not chaotic. The automated announcements sounded clear, measured, and devoid of emotion. The station floor echoed with the hurried footsteps of passengers, some dragging suitcases across the floor like loyal pets.

Second Lieutenant Nindya Aulia stood tall near a pillar, blending in but not fully absorbed by the crowd. Her tactical uniform was hidden under a civilian-style jacket, but her stiff posture still made her look rigid. And in her ear, a small earbud was attached.

She turned off the earbuds via her smartphone and gazed at the station’s glass ceiling. Morning sunlight pierced through the transparent panels, illuminating the silhouettes of Jakarta’s buildings slowly receding behind her. Jakarta may no longer be the capital, but its pulse of power had not entirely faded, especially for someone like Nindya, who worked to keep it beating.

Java's Fate in an Unknown WorldWhere stories live. Discover now