Versi Indonesia 🇮🇩 : bagian atas
nglis Version 🇬🇧 : scroll down until you find it
~ Indonesia 🇮🇩 ~
Stasiun Halim pagi itu ramai, tapi tidak gaduh. Suara pengumuman otomatis terdengar bersih, terukur, tanpa nada emosional. Lantai stasiun memantulkan langkah para penumpang yang terburu-buru, sebagian menggandeng koper yang menyusuri lantai seperti hewan peliharaan setia.
Letnan Dua Nindya Aulia berdiri tegak di dekat pilar, menyatu tapi tak sepenuhnya larut dalam keramaian. Seragam taktisnya tersembunyi di balik jaket luar bergaya sipil, namun tetap terlihat kaku oleh sikap tubuhnya yang tegap. Dan di telinganya, earbud kecil menempel.
Kemudian Ia mematikan earbud melalui perangkat handphonenya dan menatap langit-langit kaca stasiun. Cahaya matahari pagi menerobos panel-panel transparan, menyinari siluet gedung-gedung Jakarta yang perlahan surut di belakangnya. Jakarta mungkin bukan lagi ibu kota, tapi denyut kekuasaannya belum sepenuhnya menghilang terutama bagi orang seperti Nindya, yang bekerja untuk menjaganya tetap berdetak.
Di tangannya, boarding pass digital bergetar singkat. Notifikasi dari sistem keamanan: “Status aman. Cuaca stabil. Jalur bersih. Izin berangkat diberikan.”
Ia melangkah menuju gate keberangkatan. Di sampingnya, seorang pria muda mengenakan jas sibuk berbicara dengan asisten virtual di kaca arlojinya, sementara seorang ibu tua mengangkat koper berat dengan susah payah. Nindya berhenti sebentar, membantu ibu itu tanpa banyak bicara. Satu anggukan, lalu ia melanjutkan jalan.
Kereta cepat sudah mulai mengisi penumpang. Nindya menatap jamnya sekali lagi.
08:15. Saatnya naik.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menyusuri lorong platform
****
Di salah satu gerbong rangkaian kereta berkecepatan tinggi, seorang pria, Damar Prasetyo menatap kaca jendela di sampingnya, satu-satunya hiburan dalam kabin kelas ekonomi premium kereta cepat Jakarta–Surabaya. Ia baru saja menyelesaikan laporan tentang risiko migrasi ekonomi pasca-pemindahan ibu kota, lalu mengirimkannya ke email kantornya. Atau, seharusnya begitu.
“Gagal mengirim.”
Notifikasi itu muncul untuk ketiga kalinya. Ia mengerutkan kening, mencoba berpikir rasional. Sinyal bar miliknya hilang total bukan hanya lemah, tapi benar-benar kosong. Tak ada koneksi seluler, tak ada Wi-Fi onboard.
Ia menoleh kembali ke luar jendela. Sawah luas di wilayah Purwokerto membentang hijau di bawah langit yang perlahan berubah warna. Semburat hijau samar menggores cakrawala, begitu tipis hingga nyaris tak terlihat... kecuali oleh mereka yang memperhatikan.
Damar mendadak merasa gelisah. Bukan karena warna langit, tapi karena suasana dalam kabin terasa... aneh. Terlalu tenang.
Tiba-tiba, suara rem darurat menggeram di seluruh lorong kereta. Gerbong bergetar pelan lalu melambat tidak normal untuk kereta dengan kecepatan lebih dari 300 km/jam. Penumpang saling pandang, sebagian mencopot earphone mereka, sebagian lagi mulai bertanya-tanya.
"Kenapa berhenti?" bisik seorang perempuan paruh baya di bangku seberang.
Lampu kabin berkedip satu kali.
Lalu sekali lagi.
Kereta benar-benar berhenti. Tak ada pengumuman. Tak ada suara pramugari, tak ada kabar dari petugas. Hanya sunyi, dan bisik-bisik yang makin bising.
Damar membuka aplikasi peta online di tabletnya, mencoba melihat di mana mereka berada.
Tak terdeteksi.
Ia menoleh ke pria di sebelahnya yang sibuk mengutak-atik ponsel.
YOU ARE READING
Java's Fate in an Unknown World
FantasyJava Island was struck by a massive earthquake. However, this was no ordinary disaster the entire island mysteriously shifted to an unknown world not recognised by any map. Global communication networks were severed, other islands vanished from the...
