Wonwoo menarik napas, “Lalu kenapa kamu tetap di sini?”
“Gua juga gak ngerti,” balas Mingyu cepat, lalu membenamkan kepalanya ke sandaran sofa. “Mungkin karena lo gak nyuruh gua pergi.”
Wonwoo terdiam, mencoba menelan semua kalimat yang keluar dari bibir anak itu. Dalam hati, ia tahu bahwa sesuatu di antara mereka perlahan berubah. Bukan rasa, tapi pemahaman. Bahwa di balik kerasnya sikap Mingyu, ada kekosongan dan kebingungan yang tak pernah benar-benar diberi ruang untuk sembuh.
“Aku tidak akan menyuruhmu pergi,” ujar Wonwoo pelan, tanpa embel-embel formalitas kali ini. “Kamu bisa tinggal… selama kamu mau.”
Mingyu mengernyit, namun tidak membalas apa pun. Ia hanya bergeser sedikit, menyandarkan kepalanya ke belakang lebih nyaman. Entah sadar atau tidak, bahunya kini menyentuh bahu Wonwoo.
Diam-diam, Wonwoo memejamkan mata sejenak. Tak ada yang berubah secara besar malam itu, tapi juga tidak sepenuhnya sama. Ada keheningan yang terasa sedikit lebih hangat, meski masih tertutup oleh tembok masing-masing.
Dan di dalam ruangan kantor pribadi yang terlalu mewah untuk seorang anak jalanan, dan terlalu sepi untuk seorang pria dewasa, dua dunia yang berbeda itu hanya duduk berdampingan — tanpa kata lagi, hanya dengan keberadaan yang tidak saling mengusir.
Mingyu bergeser pelan, lalu mengerjapkan mata beberapa kali. “Eh, ponsel gua mana ya?” tanyanya setengah malas, suara seraknya masih tersisa dari lamunan tadi.
Wonwoo menoleh pelan, lalu bangkit dari sofa tanpa menjawab. Ia berjalan ke arah meja kerjanya, membuka salah satu laci, dan mengambil ponsel hitam yang sudah tergeletak di sana sejak tadi siang.
“Saya lupa memberikannya kepada mu,” ucap Wonwoo tenang sambil menyerahkan ponsel itu.
Mingyu menerima benda itu dengan satu tangan, lalu mengangguk kecil, “Oh... makasih.”
Tidak ada celetukan sarkas khasnya. Tidak juga nada tinggi atau cengiran menggoda. Hanya gumaman pelan dan genggaman pada ponselnya, seolah itu adalah satu-satunya benda yang bisa menghubungkannya lagi ke dunia yang biasa ia jalani.
Mingyu membuka ponsel nya dan melihat pesan yang sangat banyak dari temannya, mereka mencari dan mengkhawatirkan keberadaan Mingyu.
---
[Group chat : begal jalanan paling tampan]
Seungcheol:
Bro, lu kemana? Udah dua hari kaga nongol.
Dokyeom:
Min, lu ilang beneran nih? Biasanya kalo ngambek juga masih balas chat.
Soonyoung:
Eh jangan-jangan dia nginep di cewek random lagi?
Kalo iya, minimal kabar lah, nyet.
Seungcheol:
Kagak, gue udah cek tempat biasa, bar kosong. Si Min ilang dari radar.
Dokyeom:
Anjir, hp-nya juga susah dihubungin. Lu jangan bikin panik lah, Mingyu.
Soonyoung:
Bisa aja dia nyangkut di rumah orang kaya.
Lu inget kan yang kemarin bawa dia naik mobil fancy? Jangan-jangan…
Seungcheol:
Hush, kagak usah mikir gituan.
Dokyeom:
Tapi sapa tau cuy! Mingyu diculik ama sugar daddy kaya raya.
---
Mingyu yang melihat itu mendengus geli, membaca satu per satu pesan dari teman-temannya yang berisik. Jari-jarinya menggulir layar pelan, lalu terhenti saat membaca kalimat dari Kian yang menyuruhnya kedip dua kali jika butuh pertolongan.
“Tolong, ini grup isinya orang waras kagak sih…” gumamnya sambil ngakak pelan, menggulingkan tubuh ke sisi ranjang. Ujung selimut tersampir di kaki, tapi Mingyu tidak peduli.
Wonwoo yang awalnya hanya duduk sambil membaca laporan di tablet, menoleh pelan. Suara tawa tertahan Mingyu terlalu mencolok di pagi yang sunyi itu.
"Ada apa?" tanyanya sambil sedikit memiringkan kepala.
Mingyu menoleh separuh, matanya masih menatap layar. “Temen-temen gua... lagi pada drama. Gila, padahal gua cuma ngilang dua hari, tapi mereka udah kayak emak ditinggal anak rantau.”
Wonwoo mendekat, duduk di tepi ranjang dengan satu kaki bersila.
“Mereka mencari mu?”
Mingyu mengangguk, lalu menyodorkan ponselnya agar Wonwoo bisa melihat sendiri.
Wonwoo membaca cepat beberapa pesan yang terlihat di layar. Beberapa penuh dengan kekhawatiran, beberapa lagi... berisi lelucon aneh yang membuat alisnya terangkat.
“‘Diculik sugar daddy’?” ulangnya lirih, nyaris tanpa ekspresi. Lalu menoleh ke Mingyu dengan wajah datar. “Begitu cara temanmu menggambarkan saya?”
Mingyu ngakak. “Ya maap, mereka emang otaknya agak miring dari pabrik. Tapi itu tandanya mereka peduli.”
Wonwoo mengangguk pelan. “Kamu ingin kembali ke mereka?”
Mingyu terdiam sesaat, lalu bahunya mengangkat dalam helaan napas. “Pengen. Tapi... gua juga belum siap jawab pertanyaan mereka. Gua sendiri masih bingung gua ngapain di sini.”
Wonwoo menatapnya lebih lama kali ini. “Kamu tidak perlu buru-buru menjawab apapun. Tidak juga pada saya.”
Mingyu menatap balik pria itu dengan ekspresi sulit dijelaskan—antara bingung, lega, dan masih tetap denial seperti biasa. “Gila, lu ini kadang ngomongnya nyentuh banget, Won... tapi mukanya tetep dingin kayak kulkas.”
Wonwoo tersenyum tipis. “Terima kasih... saya kira kamu akan bilang saya menyeramkan.”
“Ya itu juga,” balas Mingyu cepat, lalu nyengir. “Tapi versi yang bisa dimakan sama mie instan.”
“...Saya tidak tahu harus merasa tersinggung atau tidak.”
Mingyu hanya tergelak, kembali menatap ponselnya. Notifikasi grup terus berdatangan, tapi kali ini... hatinya terasa lebih ringan.
TBC
Sumpah maap lupa update ini hiks T_T
Kalau ada typo maafin yak...
YOU ARE READING
COLLIDE | Wongyu
FanfictionCollide menceritakan tentang seorang anak bernama, Kim Mingyu yang sangat menyukai tentang berisik seperti bar dan mabuk-mabukan bersama teman temannya atau bahkan seorang jalang yang bekerja disana. Tetapi, pada suatu hari dirinya nekat untu...
Chapter 4.
Start from the beginning
