Aku menghambur ke luar kamar rawat inap sambil menangis. Di lorong rumah sakit aku bertemu Kak Mawar.

"Falia. Kamu sudah menemui Rama."

Aku mengangguk sambil menghapus air mata, "Aku... aku nggak tahu harus gimana. Aku..."

"Ya, itulah yang mau aku ceritakan. Rama mengalami kebutaan. Bunda masih kurang sehat dan berada di rumah sekarang. Ayah masih melarang aku mengatakan padanya keadaan Rama sekarang. Bunda hanya tahu Rama sudah sadar dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Kami takut bunda akan syok dan kesehatannya menurun lagi kalau tahu Rama buta."

"Apa nggak bisa disembuhkan?"

"Bisa, tapi... kita perlu pendonor kornea mata. Dan itu... sulit."

Tubuhku terasa lemas, aku ambruk di lantai. Aku terduduk sambil kembali menangis. Mengapa Rama harus mengalami ini semua. Padahal dia sedang sangat bahagia akan bertemu Shinta kembali. Aku mengerti sedikit banyak yang ia rasakan sekarang. Pasti dia sangat sedih dan kecewa. Bagaimana jika Shinta menolaknya mentah-mentah karena kondisi Rama yang sekarang? Aku sangat takut membayangkannya. Rama bisa semakin terpuruk.

**

"Kalau nggak makan kamu bisa sakit loh." Setelah menangis semalaman, pagi ini aku mulai bisa menguasai emosiku di depan Rama. Aku mencoba untuk tetap tenang dan ceria di depannya. Meski sebenarnya aku sangat sedih dan ingin menangis jika melihat keadaan Rama sekarang.

"Aku memang sudah sakit."

"Kamu cuma dapat asupan makanan dari selang infus. Nanti kalau badanmu jadi kurus kering kerontang, kan nggak keren." Aku masih coba membujuknya.

"Aku batal ke Indonesia."

"Bukan batal, tapi ditunda. Makanya kamu harus makan banyak biar cepat sehat. Kalau sudah sehat kan kamu bisa...."

"Makan banyak nggak akan bikin aku bisa segera melihat lagi kan?" Suaranya sangat datar dan dingin. Terasa kesedihan dan kekecewan begitu dalam dalam setiap kata-katanya. Aku membekap mulutku kuat-kuat menahan suara tangisanku sendiri.

Sudah dua minggu Rama di rumah sakit dan mendapat perawatan. Harusnya dokter bilang Rama sudah boleh pulang, kesehatannya sudah cukup baik. Hanya saja Rama masih kesulitan untuk tidur nyenyak dan dia tidak mau banyak makan. Dia hanya makan satu kali sehari itu pun harus dipaksa berkali-kali.

Tante Lestari dibatasi oleh Om Bram untuk tidak boleh terlalu sering ke rumah sakit. Karena jika di rumah sakit dia jadi sedih dan menangis terus. Hal ini juga kurang bagus untuk kesehatan Tante Lestari sendiri dan emosi Rama yang masih labil. Perangai Rama banyak berubah dua minggu terakhir ini. Dia jadi cepat marah, mudah tersinggung, lebih banyak diam, dan lebih keras kepala. Kak Mawar dan aku yang lebih sering menemani di rumah sakit.

"Falia, kamu nggak ke toko roti? Sudah hampir jam empat loh." Pintu kamar terbuka, Kak Mawar datang.

"Oh iya." Aku melihat jam tangan dan ternyata sudah jam empat lewat lima menit. Aku jadi sering terlambat datang ke toko roti. Untung saja Paman Fan sangat pengertian dan memaklumi keadaanku yang sekarang sering bolak-balik ke rumah sakit.

Aku mengayuh sepeda ke arah toko roti. Sesampai di sana Hanna sedang tampak kerepotan melayani beberapa pembeli roti sendirian. Aku buru-buru ke dapur dan mengganti pakaianku dengan seragam pegawai.

"Ah, Falia syukurlah kamu datang."

"Maaf telat, aku ke rumah sakit dulu tadi."

"Gimana keadaan Rama."

"Seperti biasanya masih marah-marah dan nggak mau makan. Aku bingung."

Hanna tampak prihatin dan menepuk pundakku dengan lembut, "Sebulan terakhir kamu jadi kelihatan agak kurus. Jangan terlalu dipikirkan, Falia."

Aku menanggapinya dengan tersenyum. Tentu saja aku juga ingin tidak terlalu memikirkannya, tidak membuat hal ini jadi beban pikiranku. Tapi bagaimana... aku tidak bisa pura-pura tidak memikirkan keadaan Rama yang sekarang. Bahkan sekarang pun rasanya aku ingin buru-buru kembali ke rumah sakit dan ada di sampingnya lagi.

"Permisi, saya ingin membeli roti vollkorn."

"Baik, sebentar saya siapkan, apa ada lagi pesanan yang lain, Tuan?" Aku menatap pelangganku. Tiba-tiba wajah Pak Raelan berkelebat dalam pikiranku. Laki-laki setengah baya yang mengenakan mantel cokelat itu memegang kanvas ukuran sedang di tangannya.

Pak Raelan... aku merindukannya.



**



"Falia berhentilah mengurusiku. Aku sudah merasa hidupku sudah selesai." Rama berdiri di depan jendela kamar rawat inapnya. Aku sedang mengganti isi vas bunga dengan beberapa tangkai tulip kuning yang masih segar. Tulip kuning berarti kebahagian dan harapan. Aku berharap Rama bisa kembali ke sosok yang dulu, ceria dan penuh semangat. Kini, semakin hari rasanya aku semakin tidak mengenalinya. Dia semakin dingin dan putus asa.

Aku berdiri di sebelahnya, "Kamu yang harus berhenti. Berhenti berpikir kalau kamu satu-satunya orang paling menderita di dunia. Di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita. Setidaknya berjuanglah untuk bangkit bukan untuk dirimu sendiri, tapi untuk orang-orang yang menyayangimu. Apa kamu nggak berpikir gimana perasaan bunda dan ayahmu, Kak Mawar dan... aku?"

Rama tampak menghela napas, "Rasanya begitu aneh, aku hanya bisa melihat satu warna saja, gelap. Bulan depan akan ada pertunjukan musik di salah satu teater terbesar di Vienna. Dan aku seperti ini. Mimpiku sudah hancur Falia."

"Hei! Kamu masih bisa memainkan piano meski tanpa melihatnya kan? Kamu selalu bilang padaku, 'aku bisa memainkan musik sambil memejamkan mata', begitu. Lalu apa masalahnya? Anggap saja kamu sedang memejamkan matamu."

"Falia... aku merasa... seperti ada di sebuah dunia kosong dan aku sendirian."

"Kamu tahu nggak, aku begitu takut waktu tahu kamu kecelakaan? Dan aku sangat bersyukur pada Tuhan dia tidak mengambilmu dariku. Dua tahun sebelum kamu datang, aku selalu kesepian dan merasa hidupku begitu menyedihkan. Aku dan bunda harus hidup serumah dengan ayah dan istri mudanya. Aku harus pindah ke negara asing yang bahkan bahasanya aku tak mengerti. Aku juga pernah merasa sangat sendirian, berada di dunia yang kosong dan sendirian. Aku membenci hidupku lebih dari siapa pun saat itu. Aku rasa, setiap orang pasti pernah membenci hidupnya dan merasa benar-benar sendirian."

Beberapa detik kami hanya saling diam.

"Apa menu makanan hari ini?"

"Eh?"

"Suaramu sudah bergetar, lima detik lagi pasti kamu menangis. Jangan menangis gara-gara aku." Dia berbalik dan menuju tempat tidurnya aku membantunya dengan memegang lengan kirinya. Aku pun buru-buru menghapus air mataku yang keburu menetes barusan.

"Duduk yang nyaman aku akan menyuapi makanan untukmu."

"Bilang pada dokter, aku akan pulang ke rumah besok."

"Benarkah?"

"Sebelum aku berubah pikiran."

"Begitu baru keren!"

"Tapi mungkin aku akan berhenti memikirkan akan menemui Shinta. Aku nggak mau menemuinya dalam keadaan seperti ini. Pasti ini akan terasa menakutkan untuk Shinta."

"Loh? Dokter bilang kebutaanmu masih bisa disembuhkan. Kamu hanya perlu menunggu donor mata."

"Pendonor mata di negara ini bahkan lebih jarang daripada pendonor ginjal. Aku harus menunggu berapa lama? Sudahlah Falia, aku harus membiasakan diri dengan dunia baru yang gelap ini."

Aku mengerti keputusasaan yang Rama rasakan. Aku juga pernah merasakannya. Duniaku seperti jungkir balik dan hampir runtuh mengenai kepalaku. Ketika aku harus melihat bunda menangis setiap hari dan mendengar kata-kata kasar ayah untuk bunda. Ketika aku harus datang ke negara ini untuk pertama kali, tinggal dengan seorang wanita yang kuanggap sudah mengambil semua kebahagiaanku, Tante Belinda.



- bersambung -

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuWhere stories live. Discover now