Bagian 11

2.3K 118 5
                                    

"Halo Falia, kamu semalam nggak mampir ke rumah sakit?"

"Ah, iya, maaf banget. Aku kelelahan jadi langsung pulang dan tidur. Aku habis pergi ke suatu tempat yang lumayan jauh dari sini."

"Hm... apa hari ini mau ke rumah sakit?"

"Ya, sepulang sekolah aku akan langsung ke rumah sakit. Apa ada kabar baru? Rama sudah siuman? Dia baik-baik saja kan?"

"Dia... ya, dia sudah siuman, tapi... ah, kamu datang saja ke sini untuk melihat keadaannya langsung."

"Apa ada hal buruk?"

"Entahlah, aku juga bingung menjelaskannya. Kamu datang ke sini saja ya?"

"Hh... baiklah."

Firasatku pasti tidak salah kali ini, perasaanku tiba-tiba tidak enak mendengar nada suara Kak Mawar di telepon. Harusnya kemarin aku tidak pulang terlalu malam jadi bisa mampir ke rumah sakit dulu melihat keadaan Rama.

Pikiranku bercabang ke banyak arah. Rama... Pak Raelan... mengapa semua hal menyebalkan ini terjadi bersamaan?

Aku memandang layar ponsel dan mencari nama Pak Raelan di sana, kutekan tombol call berharap kali ini aku mendengar suaranya.

Maaf... nomor yang Anda tuju berada di luar jangkauan.



Nomornya masih tidak aktif. Hanya ada dua kemungkinan dia benar-benar pergi ke tempat yang jauh dan tidak dapat sinyal ponsel atau... dia sengaja mengganti nomor ponselnya agar aku tidak bisa menghubunginya. Aku selalu gelisah membayangkan Pak Raelan.

"Waktu istirahat sudah selesai, ayo masuk." Bu Jia menepuk pundakku yang sedang melamun di depan kelas.

"Ah, maaf."

Bu Jia tersenyum dan bersiap memasuki ruang kelas duluan, aku menahan tangannya.

"Kenapa Falia?"

"Hm... apa aku boleh membawa pulang sebuah lukisan di ruang seni lukis lama."

"Lukisan siapa?"

"Pak Raelan."

"Hm... boleh saja. Memang lukisan itu hadiah untukmu, kan?"

Aku mengangguk kaku, dadaku tiba-tiba terasa hangat. Membayangkan Pak Raelan benar-benar melukisnya sebagai hadiah untukku. Tapi bagaimana pun juga itu adalah hadiah perpisahan.

**

Praaaang!

"Sudah kubilang aku nggak mau makan apa pun!"

Aku terkejut saat membuka pintu rawat inap rumah sakit. Sebuah piring terjatuh ke lantai dan isi makanannya berceceran. Tatapan mata Rama tampak kosong menatap lurus ke depannya. Bahkan dia tidak menatapku saat aku membuka pintu. Rama sudah keluar dari ICU sejak pagi ini. Keadaannya sudah membaik setelah sadar dari koma kemarin.

"Rama?" Aku memanggilnya dengan pelan sambil berjalan mendekat ke arahnya, "Kamu kenapa?"

"Bukan urusanmu!"

"Rama, ini aku Falia."

"Lalu kenapa kalau Falia?"



Aku mengernyit heran seolah tak yakin dengan kata-kata yang kudengar barusan. Rama seperti tidak mengenaliku.

"Rama ini aku...." Aku berkata sambil berdiri di sebelah tempat tidurnya dan meraih lembut dua tangannya.

"Aku nggak bisa melihatmu! Aku nggak mau ditemui siapa pun."

Aku terlonjak, degup jantungku berpacu sepuluh kali lebih cepat. Beberapa saat aku coba memastikan ucapannya. Aku mengibaskan tangannya di depan wajahnya. Benar, Rama bahkan tidak merespon sedikit pun. Aku mundur beberapa langkah, aku takut.... Aku bingung.... Rama buta.

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang