Bagian 20

2.6K 119 3
                                    

Indonesia, Februari 2015.

Setelah sekian lama meninggalkan negara ini. Rasanya ada perasaan aneh, antara rindu dan cemas. Ada beberapa potong kenangan yang seolah muncul lagi saat dalam perjalanan, beberapa tempat yang pernah kukunjungi dengan bunda. Bangunan-bangunan baru yang empat belas tahun lalu belum ada. Semakin sesak saja kota ini, seperti kenangan-kenangan hampa yang ingin dihapus namun tak pernah berhasil.

"Bagaimana, suka dengan kamarnya?" Bunda Belinda tampak antusias mengajakku berkeliling di sebuah rumah yang cukup mewah meski tak terlalu besar, berada di salah satu perumahan pusat kota.

"Ya, kamarnya cantik."

"Apartemen Rama tidak begitu jauh dari sini, kamu bisa mampir kalau mau."

"Boleh aku merapikan kamarku dulu."

"Oh ya, tentu. Apa tidak perlu aku bantu?"

Aku menggeleng, Bunda Belinda tersenyum seraya meninggalkanku, dan menutup pintu kamar. Aku duduk di tepi tempat tidur dengan seprai warna lemon. Tampak segar dengan cat kamar warna putih. Aku menarik bantal di tempat tidur, memeluknya erat, entah mengapa air mata justru turun tanpa kuminta dan tak bisa kutahan. Rasanya ada sesuatu yang asing menyeruak dalam hatiku. Bukankah sekarang harusnya aku sudah mulai merapikan hatiku, menyiapkan diri untuk tetap mencoba bahagia meski tanpa Raelan. Seperti kata Rama, dari Langit sana mungkin Raelan pun akan bersedih jika tahu aku bersedih.

Tidak apa. Sekali ini saja. Ya, sekali ini. Aku ingin menangis sepuasnya, semoga untuk yang terakhir kalinya.

Ponsel di dalam tasku berbunyi, aku melihat nama yang terpampang di sana. Rama. Aku buru-buru menghapus air mataku dan mengontrol suaraku agar tidak terdengar habis menangis.

"Halo?" Aku mulai menyapanya di telepon.

"Hai, gimana suka rumahnya? Maaf aku belum bisa ke sana, masih ada sedikit urusan di sekolah musik. Seminggu aku tinggal jadi ada beberapa hal yang harus aku bahas dengan Mbak Mawar."

"Ya, nggak apa-apa kok. Ajak aku jalan-jalan ya habis ini?"

"Oke, aku jemput jam empat sore."

"Siap!"

"Ahaha... begitu dong, ceria lagi! Oke, sampai nanti, Falia."

Aku hanya tersenyum tak menjawab apa pun lagi, meski aku tahu Rama takkan bisa melihat senyumku dari seberang telepon sana. Mendengar kata-katanya tentang keceriaanku aku mendadak sesak. Padahal aku baru saja menangis. Kapan aku bisa ceria lagi? Entahlah, aku sangat ingin bersama Raelan saat ini. Tak ada hal lain kurasa yang bisa membuatku ceria lagi, selain melihat mata birunya dan mencium aroma parfum dalam pelukannya.

**

Pukul empat sore yang dijanjikan, bahkan Rama sudah datang dua puluh menit lebih awal. Rama mengobrol dengan Bunda Belinda di ruang tengah sementara aku masih bersiap-siap di kamar. Sedikit aku sempat mendengar mereka mengharapkan dan mendoakan kebahagianku kelak. Mereka ingin aku bisa kembali bangkit dari kesedihan setelah meninggalkan Austria. Padahal sejujurnya kadang aku merasa lebih sedih, karena dengan berada di sini kemungkinanku untuk bertemu Raelan sudah benar-benar hilang.

Ya, aku yang bodoh ini masih saja berpikir kalau kekasihnya yang sudah dinyatakan meninggal itu masih hidup di suatu tempat dan akan kembali menemuinya.

"Aku sudah siap." Aku menghampiri Rama dan Bunda Belinda. "Kita mau ke mana?"

"Keliling Jakarta." Rama menggenggam tanganku dengan hangat.

"Pulangnya jangan terlalu malam Rama, Falia masih harus banyak istirahat."

"Iya, Tante."

"Jaga Falia baik-baik." Terdengar begitu banyak nada khawatir dari Bunda Belinda, bahkan dia masih menatapku dari depan rumah saat aku bersiap naik di boncengan motor Rama.

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang