Bagian 21

2.5K 110 5
                                    

Tanganku gemetar sambil menggenggam sebuah pisau. Air mataku menderas bukan hanya karena aku takut, tapi rasa putus asa sudah membungkus hatiku dengan begitu tebal. Aku mendekatkan bagian tajam pisau ke leherku, sambil memejamkan mataku kuat-kuat. Sejenak bayangan Raelan sempat berputar dalam kepalaku. Tapi aku merasa sudah tak ada gunanya lagi hidup seperti ini. Meski aku tahu Raelan masih hidup dan entah di mana, untuk apa jika akhirnya kami terpisah dan ayah pun terus berusaha membunuhnya.

Membunuh seseorang hanya karena orang itu mencintaiku, kenapa tidak aku saja yang mati?

Sedikit darah terasa hangat mengalir dari leherku saat aku baru menempelkan pisau itu ke leherku, mataku kupejamkan lebih kuat. Dalam hati aku terus merapal permohonan maaf pada Raelan, Bunda dan juga malaikat kecil dalam rahimku karena akhirnya aku memilih menyerah.

Maafkan aku....

"FALIAAA!!!" Pintu kamarku terbuka, Rama berlari masuk ke dalam kamarku. Pisau di tanganku terjatuh, sedangkan darah hangat semakin deras mengalir dari leherku. "Cewek gila!" Rama menarikku dalam pelukannya, dia menggendongku keluar kamar.

Hari ini di rumah memang hanya ada aku sendiri, karena Bunda Belinda pergi menemui salah satu kerabatnya yang tinggal di Indonesia. Aku pikir aku akan mati hari ini, tapi entah bagaimana Rama justru datang ke rumahku. Tubuhku terasa semakin lemas. Rama meletakkan sapu tangannya di bagian leherku, dari suaranya yang terus saja bicara terdengar sangat cemas. Tapi aku sudah tidak begitu sadar dan mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya. Sayup-sayup aku merasa seperti melayang dan begitu lemas.

"Falia... bertahanlah, kumohon...." Suara Rama yang berteriak terdengar begitu pelan seperti sedang berbisik padaku.

"Tolong lebih cepat bawa mobilnya, Pak!" Itu kalimat terakhir yang kudengar saat Rama meneriaki sopir taksi.

**

"Ya Tuhan, kenapa bisa begini Rama?" Suara yang sangat kukenal, suara itu terdengar sedikit bergetar karena menangis.

"Maaf Tante, harusnya aku datang lebih cepat."

"Bukan... aku tidak menyalahkanmu, aku hanya.... Oh Tuhan, aku harusnya tidak meninggalkannya sendirian di rumah."

"Sudah Tante, kata dokter masa kritisnya sudah lewat. Beruntung pisau itu tidak mengenai bagian vital di lehernya."

Aku masih belum bisa membuka mataku rasanya masih sangat berat, tapi telingaku sudah bisa menangkap suara-suara di sekitarku. Aku berusaha menggerakan tanganku tapi rasanya masih sangat kaku. Apakah aku tidak jadi mati?

"Tante pulanglah dulu, belum istirahat sejak semalam kan."

"Mana bisa aku tidur sedangkan Falia tidak sadar begini. Aku sudah menghubungi ayahnya, tapi dia baru bisa pulang besok lusa."

"Aku akan menjaga Falia hari ini. Tante juga harus istirahat supaya tidak sakit juga."

"Benar kamu yang menjaga Falia?"

"Iya. Tante serahkan pada saya, saya akan menjaganya dengan baik. Tante bisa ke rumah sakit lagi sore nanti, setidaknya Tante perlu tidur dan makan di rumah dulu. Kalau Tante Belinda juga sakit siapa yang menjaga Falia nanti?"

"Hm... kamu benar, aku tidak boleh sakit supaya bisa menjaganya."

Terdengar suara langkah sepatu wanita yang menjauh, "Tolong segera kabari kalau ada kabar apa pun tentang Falia, Rama. Aku pulang dulu."

"Ya."

Dengan susah payah aku membuka mata dan menggerakkan ujung jari-jariku. "Rama...."

"Falia... kamu sudah sadar?" Rama yang tadi berdiri di dekat tempat tidur tiba-tiba berdiri. "Tunggu sebentar, aku akan panggil dokter."

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang