Mereka mengambil sepeda masing-masing yang terparkir rapi di garasi samping toko. Di Meadowglen, kendaraan bermotor memang jarang terlihat, kecuali benar-benar dibutuhkan. Kebanyakan orang, termasuk Aylee, lebih memilih bersepeda. Van kecilnya hanya digunakan untuk mengantar bunga pesanan.

"Aku duluan, ya, Kak Aylee dan Celin," pamit Ziva, melambaikan tangan setelah menaiki sepedanya.

"Hati-hati, Ziva," sahut Aylee, membalas lambaian tangan Ziva.

"Kak Ayle sama Celin juga hati-hati," balas Ziva.

"Semoga ketemu Alam di jalan, ya!" goda Celin, membuat Aylee tertawa kecil. Pipi Ziva memerah, meskipun ia hanya mendengus. Aylee dan Celin pun menyusul, mengayuh sepeda masing-masing. Jalanan malam ini ramai sekali. Pengunjung dari berbagai kota, bahkan luar negeri, memenuhi jalanan. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang, seperti mereka, menikmati suasana malam pedesaan Meadowglen dengan bersepeda.

"Kak, aku mau mampir dulu beli kado untuk teman sekolah aku pas dulu. Dia ulang tahun besok. Kak Aylee pulang duluan aja, ya," kata Celin, sambil mengayuh sepedanya di samping Aylee.

"Yaudah. Aku pulang duluan, ya."

"Hati-hati, Kak," ujar Celin, mengangguk.

"Kamu juga, ya. Jangan terlalu lama. Kabari Ibu kamu, biar nggak khawatir," pesan Aylee.

"Siap, Kak!" jawab Celin.

Aylee pun kembali mengayuh sepedanya. Langit sudah gelap, tetapi jalanan tetap terang dan ramai. Ia merasa aman; keamanan di Meadowglen memang terjaga dengan baik. Itulah salah satu alasan Aylee betah tinggal di sini, meskipun sekarang ia tinggal sendirian. Untungnya, ia masih memiliki keluarga Celin yang selalu perhatian dan baik padanya.

***

Aylee sampai di rumah sederhana peninggalan Kakek dan Neneknya. Udara di rumah terasa dingin dan hampa, menusuk kalbu. Keheningan mencekam mengingatkan sambutan hangat Nenek dan aroma sup hangat yang dulu selalu menanti di meja makan. Keheningan itu yang seringkali mendorong Aylee untuk menghabiskan waktu di toko, menyelesaikan pesanan bunga hingga larut malam, daripada pulang ke rumah yang terasa seperti kuburan kenangan.

Air mata mengancam membanjir. Ia merindukan mereka, Kakek dan Neneknya yang telah kembali ke sisi Tuhan. Rasa kehilangan itu begitu menyayat. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu melepas sepatunya, meletakkannya di rak. Langkahnya gontai menuju ruang tamu, matanya terpaku pada rak kabinet kayu tua. Di atasnya, sebuah pigura foto menampilkan senyum hangat Nenek, Kakek, dan dirinya.

Matanya berkaca-kaca, jari-jarinya gemetar saat meraih pigura itu. Ia usap permukaan foto dengan lembut, seakan ingin menghidupkan kembali wajah-wajah yang terpatri di sana. Tak ada lagi yang berarti dalam hidupnya, pikirnya pahit. Keduanya telah pergi, meninggalkan Aylee sendirian dalam kehampaan yang tak bertepi. Ia mengembalikan pigura ke tempatnya, pandangannya teralihkan pada pigura lain di sebelahnya; foto kedua orang tuanya yang berlatar Menara Pisa di Italia. Senyum mereka merekah, melambangkan kebahagiaan yang tak pernah Aylee rasakan.

Sesak di dadanya semakin menyesakkan. Aylee menggigit bibir bawah, menahan isak yang mengancam pecah. Kenangan pahit itu kembali menyergapnya; fakta menyakitkan yang selalu menghantuinya. Ia adalah anak yang tak diinginkan, sebuah kesalahan yang tak pernah termaafkan. Kedua orang tuanya, yang memilih untuk hidup berdua menikmati keindahan dunia, telah menetapkan pilihan untuk tidak memiliki anak.

Mereka masih hidup, menikmati hidup mereka, tetapi Aylee tak pernah merasakan setitik pun kasih sayang dari mereka. Pertemuan-pertemuan singkat terasa seperti pertemuan dengan orang asing. Sejak kecil, ia dirawat oleh Nenek dan Kakeknya. Kehilangan mereka adalah pukulan telak yang menghancurkan seluruh semangat hidupnya.

Aylee meletakkan pigura itu dengan kasar. Ia berusaha mati-matian untuk tidak membenci orang tuanya, tetapi setiap kali melihat foto itu, rasa sakit dan benci itu kembali membuncah, tak terbendung. Ia mengusap air mata yang membasahi pipinya. Tak perlu ia tangisi mereka, orang-orang yang sama sekali tak peduli padanya.

Ia hendak melangkah ke kamar, tetapi ketukan pintu menghentikannya. Aylee berpikir itu adalah keluarga Celin, pikirnya. Ia segera membukakan pintu, tetapi jantungnya seakan berhenti berdetak. Sesak kembali menerjang dadanya, tubuhnya menegang, kaki terasa lemas. Di ambang pintu, berdiri Jon, mantan tunangannya, dia juga salah satu orang yang telah memberikan luka terdalam dalam hidupnya.

"Bri," panggil Jon, suaranya serak, menimbulkan getaran yang menyakitkan di hati Aylee. Ia membenci suara itu, panggilan itu.

"Pergi," lirih Aylee, suaranya bergetar, tetapi kekuatan kembali mengalir dalam tubuhnya. Ia berusaha menutup pintu, tetapi Jon menahannya.

"Kita perlu bicara, Bri," mohon Jon, suaranya terisak.

Aylee menggeleng, "Pergi, Jon. Aku benci kamu." Air matanya mengalir deras, tubuhnya gemetar hebat.

"Maafkan aku, Bri. Aku salah. Tolong, kita perlu bicara."

"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Jon. Pergi sebelum orang lain melihatmu," ujar Aylee ketakutan, suaranya terputus-putus oleh isak tangis.

Jon berlutut, "Aku mencintai kamu, Bri. Aku menyesal. Aku butuh kamu."

Aylee menepis tangan Jon, menjauhkan diri darinya. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong pintu, menutupnya tepat di depan wajah Jon yang penuh penyesalan.

Tubuh Aylee ambruk, lututnya terasa lemas hingga ia jatuh bersandar pada pintu kayu yang dingin. Ia masih mendengar Jon memanggil namanya juga kata maaf terus terulang. Seketika ia teringat kisah cintanya dengan Jon. Memang berawal sangat indah, sampai Aylee merasakan jika hidupnya benar-benar bahagia dan lengkap setelah kedatangan Jon dalam hidupnya. Tetapi awal yang indah belum tentu berakhir dengan indah. Ini terasa menyakitkan, Aylee tak kuat bahkan dia yang awalnya berniat untuk menelpon kediaman Kakek Hans dan juga Nenek Rosetta untuk mengabari jika ia tidak bisa datang menghadiri makan malam urung. Ia tak punya tenaga, semuanya terasa sakit secara bersamaan.

Tbc

Lieb Mich Where stories live. Discover now