PROLOG

6 2 0
                                        

Gelap.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di sini. Satu hari? Dua hari? Seminggu? Semuanya terasa seperti satu kesatuan waktu yang panjang dan melelahkan. Tidak ada matahari, tidak ada bulan, tidak ada suara kehidupan. Yang ada hanya dinding beton dingin, bau lembap yang menyengat, dan keheningan yang menusuk hingga ke tulang.

Tanganku mati rasa. Terikat terlalu kencang di belakang kursi kayu yang sudah mulai goyah. Kaki pun sama, tidak bisa digerakkan. Lakban menempel erat di mulutku, menahan suara yang ingin keluar. Aku sudah mencoba berteriak, tapi yang kudapat hanya suara serak dan napas tersengal.

Di sini, tidak ada siang atau malam.

Tidak ada suara lain selain detak jantungku yang menggema di kepala.

Aku mencoba mengingat... Bagaimana aku bisa sampai di sini?

Hujan. Ya, aku ingat hujan. Jalanan basah. Angin yang berhembus kencang. Ada seseorang berjalan di sampingku. Lalu-

Sakit.

Sebuah hantaman keras di belakang kepalaku. Dunia berputar. Pandangan mengabur. Tubuhku jatuh, dan yang terakhir kudengar adalah suara hujan yang semakin menjauh... sebelum semuanya menjadi hitam.

Dan sekarang, aku di sini.

Terdengar suara.

Aku membeku.

Langkah kaki.

Perlahan.

Dekat.

Aku menahan napas, berharap tubuhku bisa menyatu dengan kegelapan. Tapi itu percuma. Mereka tahu aku di sini.

Ceklek.

Sebuah lampu di atas kepala menyala tiba-tiba, sinarnya menyilaukan setelah sekian lama terjebak dalam kegelapan. Aku menyipitkan mata, berusaha beradaptasi dengan cahaya redup yang kini menerangi ruangan sempit ini.

Saat itulah aku melihatnya.

Di sudut ruangan, ada kursi lain.

Dan di sana, seseorang duduk terikat. Kepalanya tertunduk, rambutnya acak-acakan. Napasnya hampir tak terdengar.

Aku tidak sendiri.

Ketakutan merayapi tulang belakangku.

Seseorang tertawa pelan.

Aku menoleh, dan di ambang pintu, sebuah sosok berdiri.

Wajahnya tertutup bayangan.

"Tidak perlu takut, Sera" katanya. Suaranya pelan, hampir lembut, tapi ada sesuatu di baliknya-sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.

"Lagipula, kita baru saja mulai."

BURN AFTER READING Where stories live. Discover now