"Duh..." gerutunya, lalu meraih tisu di tengah meja.
Namun, saat hendak mengelap jarinya, dia tiba-tiba berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres.
Bau ini...
Perlahan, dia mengangkat jarinya lebih dekat ke hidungnya. Aroma yang tercium membuat tubuhnya menegang seketika.
Anyir.
Seperti... bau darah.
***
alam itu, di dalam apartemen yang terasa semakin sunyi, Jema duduk di sofa, gelisah.
Samyang carbonaranya sudah habis beberapa saat yang lalu, terkadang sesekali ia melirik ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan dari Jojo-tapi tidak ada.
Jojo tak biasanya seperti ini. Bahkan jika sibuk sekalipun, setidaknya ia akan memberi tahu. Namun, malam semakin larut, dan bayangan buruk mulai memenuhi benak Jema.
Tunggu, sejak kapan dia mulai mengkhawatirkan Jojo?.
Bel apartemen terus berbunyi, memecah keheningan malam.
Jema yang baru saja selesai mencuci tangan di dapur menegakkan tubuhnya, mendengarkan dengan saksama. Jojo? Atau seseorang yang lain?
Dengan sedikit waspada, dia melangkah menuju pintu dan mengintip melalui lubang intip. Begitu pintu terbuka, dia langsung terpaku.
Benar saja, Jojo berdiri di hadapannya—dengan wajah penuh luka dan tubuh yang terlihat lelah.
"Aku pulang," ujarnya lemah, menyunggingkan senyum tipis sebelum tiba-tiba kehilangan keseimbangan.
"Jojo!"
Jema dengan cepat menangkap tubuhnya yang hampir jatuh. Nafas Jojo tersengal, kemejanya kotor bercampur debu dan noda darah.
Dengan penuh kepanikan, Jema memapahnya masuk, menuntunnya ke sofa di depan televisi.
"Lo kenapa, Jo?!" suara Jema bergetar.
Jojo hanya mendengus pelan, matanya tampak berat.
"Tahan bentar, gue ambil kotak obat dulu," Jema berkata cepat, bergegas ke kamar untuk mengambil pertolongan pertama, sementara pikirannya dipenuhi kekhawatiran.
"Lo ngapain sih sampai bisa babak belur gini? Ngapain juga pake demo segala? Gue tau sih dosen itu emang bejat, tapi kan nggak harus sampai nyerang-nyerang aparat juga," omel Jema sambil membersihkan luka di wajah Jojo dengan kapas beralkohol.
Jojo hanya diam, sesekali meringis saat cairan antiseptik menyentuh kulitnya yang lecet.
"Gua tadi ketemu Afdal," lanjut Jema, masih sibuk mengobati luka di pelipis Jojo. "Katanya kalau lo ikut demo biasanya bakal ilang berhari-hari. Tumben lo udah balik?"
Jojo yang tadinya hanya diam, tiba-tiba tersenyum tipis.
"Soalnya ada yang nungguin di rumah."
Gerakan tangan Jema langsung terhenti.
Satu detik. Dua detik.
BUGH!
Jema langsung memukul bahu Jojo tanpa peringatan.
"Apa-apaan sih maksud lo?!" geramnya, wajahnya sedikit memanas tanpa alasan yang jelas.
Jojo meringis, tapi bukan karena luka—melainkan karena merasa geli melihat reaksi Jema.
"Bercanda, elah. Gitu doang ngambek?" katanya sambil tertawa kecil.
Jema mendelik tajam.
"Lagian, lo kira gue percaya omongan lo barusan?" gumamnya sambil kembali fokus pada lukanya.
Jojo hanya tersenyum, membiarkan Jema menggerutu sambil merawatnya.
Sejak malam itu, tanpa sadar Jojo mulai diam-diam memperhatikan Jema. Ada sesuatu yang lucu dari caranya merengek, dari ekspresi wajahnya yang kesal, dari sikapnya yang selalu blak-blakan.
Dan semakin lama, Jojo merasa ada sesuatu yang mengganjal.
Jema terasa… familiar.
Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?
Jojo menatap gadis itu yang tengah sibuk membersihkan luka di tangannya. Hening beberapa saat sebelum akhirnya dia membuka mulut.
"Moy."
Tak ada respons.
"Moy, budek ya lo?" ulang Jojo.
Jema memutar matanya malas. "Moy?" ulangnya dengan nada datar.
Jojo menyeringai. "Yeah, Jemoy. Jema gemoy." Ucapannya diiringi dengan cubitan iseng di lengan Jema.
"PAAN SIH?! MATI AJA LU!" geram Jema, spontan melempar kapas ke wajah Jojo lalu bangkit dari duduknya.
Jojo tertawa puas, tapi tetap berteriak, "Moy, gua masih sakit!"
"Urus diri lo sendiri, males gua!" balas Jema sebelum membanting pintu kamarnya.
***
Di tempat lain...
Dua pria duduk berhadapan dalam ruangan yang diterangi cahaya temaram. Di antara mereka, kepulan asap rokok melayang pelan, menyebarkan aroma tembakau yang menyengat.
"Bagaimana kalau kita nanti ketahuan?" tanya pria pertama, suaranya terdengar sedikit goyah.
Pria kedua menyeringai, seolah pertanyaan itu tak perlu dijawab. "Ketahuan? Kenapa harus takut? Bukankah kau sudah melakukannya dengan sempurna?"
Pria pertama terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, rasa bersalah yang semakin lama semakin menusuk. Namun, kebencian telah mendominasi dirinya sejak lama.
Pria kedua mengulurkan sebatang rokok, lalu menyalakannya untuk pria pertama. "Jangan bilang kau menyesal."
Hening sejenak, sebelum akhirnya pria pertama bergumam, "Sedikit."
Tawa kecil terdengar dari pria kedua. Dengan santai, ia mengeluarkan sebuah kertas proposal dari dalam jasnya dan menyodorkannya ke meja. "Semuanya sudah aku tanggung. Setelah kelulusan, kau bisa mendaftar S2 dengan mudah di universitas mana pun yang kau mau."
Pria pertama hanya menatap kertas itu tanpa merespons.
Melihatnya masih ragu, pria kedua menepuk bahunya dan berbisik dengan nada tajam, "Jangan menyesal. Ingat hal buruk apa yang pernah dia lakukan pada kita."
Setelah berkata demikian, pria kedua berbalik, meninggalkan pria pertama dalam ruangan yang kini terasa semakin sunyi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Red String Theory ||•On Going
Teen FictionJemima selalu memiliki mimpi yang terasa begitu nyata. Sejak kecil, ia terbiasa mengalami Lucid Dream, di mana ia bisa mengendalikan setiap detail dalam tidurnya. Namun, ada satu hal yang membuatnya resah-kehadiran seorang pria misterius yang selalu...
🧶 • like?
Mulai dari awal
