Part 6

8.9K 293 3
                                        

Gladis pov.

Kini, aku meski di hadapkan kembali dengan kejadian beberapa minggu lalu, ya, sekarang aku harus berdiri kembali di dedapan ruang ICU, karena Ravel kembali lagi anfal. Entahlah aku harus berbuat apa saat seperti ini. Aku benar-benar bukan seorang ibu yang baik ataupun ibu yang bertanggung jawab atas anakku sendiri.

"Gladis!"

Nada marah kini membuai telingaku di saat suasana dingin dan tegang. Ialah Ibu mertuaku yang sedang memanggilku dengan nada emosional. Aku coba melirik ke arahnya yang baru saja keluar dari ruangan Dr. Dhaniel.

"Kenapa kamu sembunyikan ini dari ibu selama 3tahun?" 

"Maksud ibu? Apa kamu tidak menganggap aku ini Ibumu lagi? Atau kamu sudah tidak menganggap Ibu ini nenek dari cucuku Ravel?"

Aku mengerti dengan arah alur bicara Ibu mertua ku, dia marah karena aku tidak pernah mengatakan penyakit yang di dera oleh Ravel selama 3tahun ini. Kelvin suamiku, melarang keras untuk mengatakan semua kenyataan pahit ini kepada Ibu mertuaku, sebelum Kelvin meninggal.

"Gladis! Kenapa kamu tidak jawab Ibu?"

Ibu mertuaku memuncak membawa emosinya padaku. Dia membuatku kaget dengan nada bicaranya uang mulai meninggi di saat aku tengah melamun. Aku coba untuk tenang menghadapi puncak emosi Ibu mertuaku.

"Tentu tidak Bu, Ibu adalah nenek kandung dari Ravel.. Tapi..."

"Tapi apa? Kamu ini benar-benar tidak menghargai Ibu,  penyakit sirosis hati cucuku Ravel sudah akut, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan ini padaku!"

Aku coba menggenggam tangan Ibu, dan coba meminta maaf berkali-kali dengan menciumi terus punggung tangan  Ibu yang kini basah oleh air mataku yang terus menetes.

"Bu, maafkan saya, ini semua saya lakukan atas perintah Kelvin, Kelivin tidak mau Ibu cemas, juga tidak mau membebani Ibu dengan masalah penyakit Ravel. Karena semula Kelvin sudah sangat yakin kalau Ravel akan sembuh seperti sedia kala."

Aku coba menjelaskan semua yang terjadi sesungguhnya, akhirnya amarah Ibu pun mereda setelah ku jelaskan panjang lebar, dia memeluk diriku yang sedang kalut tak karuan. Memang di saat seperti ini aku sangat membutuhkan suport untuk bisa menguatkan mental diriku.

"Maafkan Ibu nak! Ibu malah membuatmu tambah terpojok dengan emosi Ibu ini, tapi kita harus berjuang untuk Ravel, karena kini hanya Ravel lah yang ibu miliki sebagai ganti ayahnya yang telah meninggal."

Mendengar kata-kata Ibu, air mataku tambah membanjiri pipiku, dengan masih setia di peluk oleh Ibu, aku tidak kuasa lagi menahan semua air mata kesedihanku semuanya tumpah ruah, begitu juga dengan Ibu mertuaku.

"Keluarga pasien Ravel!"

Suara seorang suster telah coba melepaskan pelukanku dengan Ibu, dia memberi tahu kami kalau kini Ravel sudah tenang, dan bisa di jenguk masuk kedalam ruang ICU.

"Silahkan Bu! Pasien boleh di jenguk sekarang!"

Ketika kami hendak masuk, suster itu pula yang menghadang kami untuk masuk dan berkata ...

"Maaf Bu, hanya satu orang saja, ini demi ketenangan pasien!" hadang suster

"Tapi Kami Ibu dan Neneknya Ravel Sus!"

"Saya tahu Bu, tapi ini peraturan rumah sakit, juga demi ketenangan anak Ibu!"

Kamipun menurut pada Suster dan membiarkan salah satu dari kami masuk terlebih dahulu. Aku biarkan Ibu yang masuk dahulu, karena Ibu yang telihat panik dan terpukul dengan keadaan Ravel. Ibupun mulai masuk dan memakai baju sterilnya beserta penutup kepalanya.

I'm Not a WhoreDonde viven las historias. Descúbrelo ahora