Jika kamu menikmati ceritanya, jangan lupa beri bintang. Setiap vote dari kalian akan membantu penulis untuk terus berkarya. Selamat membaca!
Cerita ini hanya fiksi dengan latar belakang sejarah. Murni hasil karangan dan imajinasi penulis. Tidak terdapat maksud tertentu untuk menyinggung tokoh sejarah yang bersangkutan.
•••
“Mas ke Bandung memang sedang mengisi acara seminar di ITB, Li. Tapi, ya kau tahu sendiri lah, Mbakmu dari kemarin nggak berhenti uring-uringan suruh Mas jemput kau sekalian.” Pak Nasution membuka suara seraya menggoyang-goyangkan kakinya di bawah kursi, ia menatap semua orang bergantian.
Sebetulnya Noa sudah menduga jika hal ini segera terjadi, Bu Johanna tidak akan membiarkan anak gadis sepertinya berkeliaran tanpa pengawasan ketat. Wanita itu hanya tidak tahu saja kalau teman-temannya di Bandung adalah para anak bau kencur pencuri mangga Haji Salem. Kalaupun tahu, pasti sang kakak memilih untuk tidak percaya.
Noa memutuskan pandangannya dari Pierre. Omong-omong, keduanya belum juga membuka suara setelah insiden di dapur. “Kayaknya Mbak Johanna agak berlebihan deh, Mas. Di sini kan juga ada Mas Sunario yang jaga aku, jadi nggak perlu khawatir,” ujarnya sembari menggaruk pipi, canggung.
Terlebih pertemuan Noa dengan Pierre yang tidak ada dalam agendanya akhir-akhir ini. Ia hanya merasa malu setelah kabur dan bertingkah seperti gadis remaja.
Di masa depan, Noa tak kaget jika Pierre mengubah keputusannya dalam waktu singkat. Laki-laki itu pasti akan berpikir berulang kali tentang rencana lamar-melamar. Ya, mungkin lebih untuk bagus ke depannya.
Sunario menyahut, “Tapi Mas tidak setiap hari ke sini, Li. Lebih baik kalau kau ikut Mbakmu saja, biar ada yang mengawasi. Lagi pula kau ini kan anak gadis.”
“Iya, tapi kalau aku ikut Mbak, Mama di rumah sendirian dong, Mas.” Noa sedikit merengut atas usulan kakak lelakinya.
Sunario terkekeh kecil. “Mama sendirian gimana? Mas Herman kan cuma dinas sebentar ke Palembang. Paling lusa juga sudah pulang.” Ia tetap memfokuskan matanya pada sang adik, terlihat Noa yang kurang senang atas keputusan itu. “Mas juga tidak berani menjamin kalau kau tidak akan pergi ke praktik dukun lagi.”
Mendengar itu, Noa mendelik ke arah kakaknya, lalu melirik ke Pak Nasution yang menggeleng sembari tersenyum tipis. “Apa sih, Mas. Jangan bahas-bahas itu terus, dulu aku tuh cuma iseng gara-gara diajak Sri.”
Bu Frederika datang seraya membawa teh dan hidangan untuk para tamu itu kebingungan, karena pria-pria tengah menahan tawa sedangkan si bungsu terlihat mencebik, menahan kekesalan.
“Ada apa ini kok kelihatannya seru sekali,” ujar wanita itu kemudian mengambil duduk di sebelah Noa.
Sunario menimpali, “Itu lho, Ma, Johanna mau ajak July ke Jakarta. Palingan takut adiknya ke dukun lagi.”
Dari awal Noa yang tak memiliki tenaga hanya pasrah dan sesekali curi pandang ke arah Pierre. Laki-laki itu benar-benar diam jika tak diajak berbicara, duduk dalam posisi tegap seraya pandangan lurus ke depan. Memang dikira ini kamp militer, pikirnya.
“Ikut saja ke Jakarta, Li.” Bu Frederika mengalihkan tatapannya ke Pak Nasution. “Terus, ke Semarang-nya istrimu itu tanggal berapa, Nas?”
Pak Nasution tampak berpikir setelah menyeruput teh buatan sang mertua. “Mungkin tanggal dua pagi, Bu. Kalau saya berangkatnya tanggal tiga, masih ada pekerjaan yang harus saya urus dulu.”
“Kalau Pierre cutinya berapa hari?”
Pierre tersenyum tipis saat Bu Frederika memberinya pertanyaan. “Siap, lima hari dari tanggal tiga puluh satu sore. Tanggal enam saya sudah bertugas kembali.”
YOU ARE READING
Once Upon a Time 'Since 1965'
Historical Fiction[Pierre Tendean Fanfiction] Di tengah penolakan terhadap perjodohan dan keinginan untuk menentukan nasibnya sendiri, Noa mulai menyadari bahwa sejarah yang terpendam dalam keluarganya mempengaruhi hidupnya lebih dari yang ia sadari. Mulai dari terba...
