Lie: 13' Ambisi Untuk Membalas

94 45 16
                                    

Proses autopsi berlangsung cukup lama jika dibandingkan dengan dua korban sebelumnya. Oleh karena itu, sore ini sekitar pukul 17.40, prosesi pemakaman Nathan baru saja usai. Sayangnya dari sembilan orang yang tersisa, hanya delapan yang hadir. Menurut pemaparan Heaven, Jeano tidak bisa ikut. Namun, laki-laki blasteran Skotlandia itu juga tidak memberikan alasan atas ketidakhadirannya tersebut.

Saat ini tersisa enam orang, karena Mahesa dan Harsa memutuskan untuk segera pulang. Ucapan Dr. Orchids yang masih sangat membekas di ingatan Sean adalah bukti mengenai adanya tanda perlawanan, yaitu berupa cakaran. Dr. Orchids menemukan jejak darah yang tidak cocok dengan DNA Nathan di kuku sang korban. Kebetulan Nathan belum potong kuku, hal itu membuat kekuatan cakarannya mampu melukai si pelaku hingga berdarah.

"Masa iya Nana ngelawannya cuma pakai cakaran? Nggak gentle banget," celetuk Shan yang kebetulan mewakili isi pikiran Sean.

"Mungkin pas Nana mencengkram tangan si pelaku, saking kuatnya sampai nggak sengaja nyakar." Sean menuturkan pendapatnya.

"Yang bikin gue bingung tuh ngapain dia ke Taman Kakao tengah malam?" sahut Ray.

"Kan dia dukun."

"Iya, tapi apa korelasinya, Evan?"

Friday mengangguk-angguk. "Padahal kerjanya dukun nggak harus ke luar, kan, ya? Nyantet dari rumah aja cukup," timpalnya yang disetujui oleh Ray.

Tiba-tiba Felix berpikir bahwa kepergian Nathan ke Taman Kakao ada hubungannya dengan pohon beringin di sana. "Eh, katanya pohon beringin itu mistis, ya? Apa ada hubungannya sama santet?"

"Bisa jadi. Tapi emang Nana bisa lihat mereka?" tanya Friday seraya membuat gestur tanda kutip.

Heaven menggeleng sebagai tanggapan. "Enggak, Nana bukan Indomie."

"Di kelas kita yang Indomie siapa aja, sih?" sahut Shan penasaran.

"Ray sama Yoshiro," jawab Heaven.

"Heh?!" Ray spontan menatap laki-laki kelahiran Bandung tersebut. "Sejak kapan Yoshiro bisa lihat?" tanyanya bingung.

"Gue juga bisa lihat, Ray. Mata gue ada dua."

Ray tertawa karir seraya berujar. "Hashan Bluebell, b-nya bodoh."

Kemudian Heaven menuturkan jawaban yang sempat tertunda. "Gue tahu dari Arjun, sih. Katanya Yoshiro Indomie, soalnya neneknya dukun."

"Kalau Nana nggak Indomie, gimana dia bisa melakukan santetnya? Kalaupun belajar, masa iya cepet banget?" tanya Sean penasaran. Apa lagi Nathan telah menyantet sebanyak dua kali kepada dua orang yang berbeda. Hal itu membuktikan bahwa Nathan tergolong sebagai pro player dalam hal santet.

"Selidiki ke rumahnya nggak, sih?" usul Shan.

"Jangan, kasihan bundanya. Lihat sendiri, kan, tadi? Beliau terpuruk banget," kata Friday yang langsung mendapat persetujuan dari Ray.

"Soalnya Nana itu anak tunggal dan satu-satunya yang menemani bundanya ya cuma dia sendiri." Ray menambahi. Tentu hanya dirinya dan Heaven yang mengetahui latar belakang Nathan yang tidak memiliki sosok ayah.

Tiba-tiba Friday mendapat notifikasi dari nomor tidak asing. "Eh, gue duluan, ya? Udah dicariin soalnya." Mereka meresponnya dengan anggukan kepala. Friday pergi bersama Felix yang kebetulan membonceng.

"Kita juga pulang aja, udah mau magrib. Ngapain lama-lama nongkrong di kuburan?" ujar Sean. Mereka berempat setuju untuk pulang ke rumah masing-masing.

Sementara itu, Ray yang pulang bersama Heaven teringat degan ucapannya pada tempo hari. "Evan, lo masih ingat cerita gue pas habis malam kedua permainan?" tanyanya.

The Dead Friendship - 00LWhere stories live. Discover now