Tiga Puluh Empat

3.4K 697 88
                                    

YANG pertama kali aku telepon untuk mendapatkan kondom adalah Yudis. Mungkin saja dia yang memakai pengaman karena aku pernah mendengar Kayana mengatakan bahwa dia masih fokus dengan kedua anaknya, dan belum ingin menambah momongan. Kayana mungkin termasuk perempuan yang takut gemuk akibat efek samping hormon dari alat kontrasepsi, dan dia memaksa Yudis yang menggunakan pengaman. Yudis itu tipe suami bucin yang akan melakukan apa pun untuk istrinya. Disuruh cium kaki istri di tempat umum pun dia pasti mau. Dia beruntung karena mendapatkan istri yang tidak akan mempermalukan suaminya dengan permintaan seperti itu.

"Gue nggak pakai kondom," jawab Yudis galak. "Kay punya trauma dengan kondom, jadi dia yang pakai alkon. Enakan juga nggak pakai kondom kok. Nyesal gue sempat pakai kondom. Bikin rusak rumah tangga gue aja. Gue udah udah mengumumkan perang sama kondom sampai gue mati. Eh, untuk apa lo butuh kondom? Lo udah berubah pikiran ten—"

Aku buru-buru menutup telepon. Aku butuh kondom, bukan memberi penjelasan tentang hubunganku dengan Faith. Gagal dengan Yudis, aku menghubungi Risyad. Bucin nomor dua. Dia memang belum menikah, tapi dia menempel Kiera seperti lintah, jadi tidak mungkin mereka tidak bercinta. Dan mereka tidak mungkin melakukannya tanpa pengaman. Aneh saja kalau Kiera yang harus menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang belum diinginkan.

"Gue nggak punya kondom," balas Risyad. "Lo mungkin nggak percaya, tapi gue dan Kie, memutuskan menunggu sampai selesai nikah baru bercinta."

"No way...!" Aku nyaris berteriak tidak percaya. "Lo nggak mungkin tahan, bro!" Selama ini aku selalu berpikir kalau bercinta sudah jadi rutinitas Risyad dan Kiera. Apalagi Risyad tidak pernah membantah saat aku mengejeknya tentang hal itu. Dia hanya tersenyum dan tertawa saja. Ini benar-benar fakta yang mencengangkan.

"Itu karena lo pakai diri lo sebagai standar. Buktinya gue bisa. Gue mencintai Kie, jadi gue menghormati pilihannya."

"Lo pasti bohong, kan?" Aku masih tidak bisa percaya. "Kasih gue sekotak aja, bro."

"Lo udah lepas baju pertapaan lo?" Risyad balik bertanya. "Siapa yang ketiban sial itu? Gue kasihan sama Faith kalau dia orangnya."

Aku menutup telepon.

Aku mencoba peruntungan terakhir dengan menelepon Tanto. Agak riskan memang, mengingat dia adalah pengantin baru. Tapi aku yakin Tanto dan Renjana tidak langsung tancap gas program anak karena kondisi kesehatan Renjana yang tidak prima. Dia punya riwayat penyakit jantung. Kehamilan butuh persiapan khusus untuknya.

"Lo nggak butuh pengaman untuk bercinta sama istri lo sendiri," alih-alih menjawab pertanyaanku, Tanto malah berceramah. "Karena lo arah hubungan lo sama istri lo udah berubah, gue yakin kalau sebenarnya perasaan lo juga berubah. Lo hanya belum sadar aja."

"Lo punya kondomnya nggak sih?" aku mengulang pertanyaanku tak sabar. Tujuan utamaku mengganggu pengantin baru itu.

"Ada, tapi a—"

"Lo sekarang udah di suite lo? Kalau iya, biar gue ke situ untuk ambil barangnya. Repot kalau lo udah naik ranjang karena nggak tahu kapan turunnya."

"Belum. Gue masih di vila Nyonya Subagyo. Gue kabarin kalau udah balik ke suite. Ta—"

Cukup. Aku tidak ingin mendengar ceramah lanjutan. Faith keluar dari kamar mandi persis ketika aku menutup telepon. Dia sudah memakai baju tidur keropi kesayangannya. Dengan santai dia melangkahi gaun bridesmaids-nya yang teronggok di lantai. Dia tampak tidak terganggu dengan pakaian kami yang berserakan di lantai. Dasar!

Aku tidak punya pilihan selain memungut gaunnya, pakaian dalamnya, kemeja, dan pantalonku. Kalau bukan aku yang melakukannya, aku yakin benda-benda itu akan tetap akan berada di lantai dan baru akan dibereskan oleh petugas room service besok pagi.

Karma RakhaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin