Empat Belas

4.6K 992 68
                                    

SUDAH hampir seminggu aku tidak bertemu dengan Faith. Empat hari pertama karena aku pergi ke Paris untuk mengikuti seminar dan pameran teknologi di sana. Dua hari berikutnya karena langsung sibuk di kantor dan baru sampai di rumah hampir tengah malam.

Banyak orang yang berpikir jika bekerja di perusahaan sendiri itu akan lebih santai karena kita adalah pemiliknya, dan kita membayar orang-orang terbaik untuk membantu menjalankan roda usaha.

Tapi sebenarnya tidak seperti itu, karena tekanan sebagai pemilik usaha lebih kuat daripada ketika kita hanya bekerja sebagai pegawai. Ada banyak hal yang harus dipikirkan untuk mengembangkan usaha, termasuk memikirkan hajat hidup karyawan yang bekerja pada kita.

Karyawan biasa memiliki jam kerja yang pasti, sedangkan owner tidak. Ide-ide yang terpikirkan tidak bisa ditinggal sampai besok karena harus ditindaklanjuti supaya bisa diketahui apakah ide itu bisa dijalankan atau akhirnya hanya akan menghuni tempat sampah, seperti ribuan ide lain yang pernah terpikir, tetapi kemudian dicoret karena tidak bisa dikerjakan.

Gelegar musik tidak terdengar saat pintu Faith yang kukuak setelah kuketuk terbuka. Senyap. Itu artinya Faith tidak ada di rumah. Kalau dia ada, musik atau televisinya tidak akan berhenti menyala. Faith tidak terlalu memusingkan pemborosannya terhadap energi, jadi dia selalu membiarkan musiknya tetap berteriak-teriak kalau dia berada di rumah, walaupun dia tidak berada di kamar.

Aneh. Tidak biasanya dia tidak berada di rumah selarut ini. Kami memang tidak harus saling meminta izin untuk keluar rumah atau mengabari kalau terlambat pulang. Tapi karena biasanya Faith selalu berada di rumah saat aku pulang dan walaupun kami tidak sempat berinteraksi banyak, aku jadi tahu kalau Faith bukan tipe yang suka berkeliaran malam-malam.

Aku lalu mengambil ponsel dan menghubungi Faith. Tidak aktif. Tumben. Anak seusia Faith biasanya tidak terpisah dengan gawainya. Mereka butuh update terbaru tentang tren, fandom, dan segala sesuatu yang menurut mereka sangat penting, walaupun aku sama sekali tidak melihat urgensi dari semua hal yang membuat Faith selalu antusias sehingga nyaris tidak pernah melepas ponsel.

Ke mana dan apa yang terjadi dengan anak itu sehingga ponselnya mati? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Mungkin seperti ini rasanya punya adik perempuan. Aku selalu mengejek Dyas setiap kali dia khawatir karena tidak bisa menghubungi adik kembarnya. Sekarang aku bisa mengerti kekhawatirannya.

Daripada bertanya-tanya dalam hati tanpa jawaban pasti, aku lalu ke bawah dan mengetuk kamar Bu Zoya. Sebenarnya aku tidak mau mengganggunya, tapi ini kondisi darurat. Jangan sampai ibu asuh Faith itu tidak tahu kalau anak kesayangannya yang jail itu tidak ada di rumah di waktu seperti ini.

"Faith nggak ada di kamarnya," laporku begitu pintu Bu Zoya terbuka. Perempuan itu tampaknya sudah bersiap tidur karena sudah memakai daster. Baru kali ini aku melihatnya bebas dari blus lengan panjang dan rok semata kaki yang menjadi trade mark-nya. Tidak peduli subuh atau malam, itulah pakaian yang dikenakan Bu Zoya di rumah ini. Aku pikir dia tidak punya daster seperti layaknya kebanyakan ibu-ibu di negara ini. Atau mungkin karena Bu Zoya menganggap dirinya sebagai pegawai di rumah ini, sehingga dia selalu berpenampilan rapi dan sopan setiap keluar kamar.

Bu Zoya menghela dan mengembuskan napas panjang sebelum menjawab. "Dasar Faith! Waktu saya tanya, dia bilang sudah minta izin dan Bapak ngizinin, makanya dia saya biarkan pergi saat dijemput Katty."

"Faith pergi ke mana? Dan Katty itu siapa?" tanyaku beruntun.

"Katty itu sahabat Faith sejak kecil. Dia sering ke sini kok. Mungkin karena dia belum pernah nginap semenjak Faith pindah ke sini, makanya Bapak belum pernah ketemu sama dia." Bu Zoya menjawab pertanyaanku dengan runut dan jelas. "Mereka pergi tadi pagi dan nginap semalam di Pulau Seribu bersama beberapa Army yang lain. Besok sore mereka pulang."

Karma RakhaWhere stories live. Discover now