Tujuh

5.4K 1.1K 185
                                    

DARI kursi kerjaku, aku mengawasi gerakan bocah sinting kurus kering yang sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling ruanganku sambil mengangguk-angguk dan mengerutkan bibir, seolah menyetujui pilihan desainer interior yang mendadani ruangan ini. Tampangnya tanpa dosa. Sama sekali tidak ada perasaan bersalah sedikit pun padahal dia sudah menyabotase aksesku pada uang kakeknya. Impianku mengembangkan usaha musnah di tangannya.

"Apa yang bikin kamu ke sini?" tanyaku tidak sabar. Jadwalku hari ini lumayan padat, dan aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan bocah kurang kerjaan yang rasis. Punya sentimen negatif pada penampilan dan warna kulitku sudah pasti rasis, kan?

"Jadi kamu founder Zimone?" Alih-alih menjawab pertanyaanku, bocah itu malah balik bertanya. "Saya punya aplikasinya dan sudah beberapa kali belanja di situ. Aplikasinya sebenarnya bagus karena kita nggak perlu buka banyak website resmi brand tertentu kalau mau belanja barang-barang yang mereknya beda. Bisa one stop shopping gitu. Tapi tampilannya kayaknya kaku dan membosankan. Nggak colorful."

Bocah ini minta dijitak karena sudah mengkritik pekerjaan web desainer yang sudah kami bayar mahal. Target pasar kami adalah kalangan menengah ke atas, golongan orang-orang yang sudah dewasa dan mapan. Kelompok orang yang pastilah sudah berumur di atas dua puluh lima tahun, yang melihat segala sesuatu secara serius sehingga tidak lagi tertipu oleh kemasan warna-warni seperti bocah remaja ini.

"Terima kasih sudah menjadi pelanggan." Aku malas mendebat atau menjelaskan visi-misi dan slogan bisnisku pada anak yang baru lepas popok. Apa yang bocah halu pemuja idol Kpop tahu tentang bisnis? "Jadi, apa yang bikin kamu ke sini?" Aku sengaja melihat jam tangan, menampilkan kesan sibuk.

"Jadi, kamu butuh investasi karena Zimone bermasalah atau untuk ekspansi bisnis? Kelihatannya kamu putus asa banget sampai mau melakukan apa aja untuk membuat Kakek berinvestasi, termasuk mengaku-ngaku jadi pacar saya, padahal kita nggak kenal, apalagi sampai punya hubungan."

"Kamu yang mulai dengan mengakui saya sebagai pacar," sergahku mengingatkan. Para bocah seperti anak ini selalu berkelit dari kenyataan dan akan mencari segala celah untuk membenarkan tindakannya yang jelas-jelas salah. Aku tahu karena sudah pernah melalui tahap itu. Walaupun orangtuaku sangat moderat, ada saja hal-hal yang tidak ingin kuakui saat mereka menanyakannya karena tahu apa yang kulakukan itu tidak benar menurut polisi moral.

"Saya hanya mau ngerjain Kakek aja kok. Saya pikir kamu bule beneran, jadi nggak mungkin orang-orang Kakek bisa menemukanmu karena kita bertemu di luar negeri."

Itu kan, aku bilang juga apa! Selalu ada jawaban untuk setiap pernyataan. Pernyataan lho ini, bukan pertanyaan.

"Jadi, kenapa kamu ke sini?" ulangku untuk ketiga kalinya dengan nada bosan yang kental. Nada yang biasanya membuat orang, terutama perempuan yang berurusan denganku segera menarik diri karena tahu tidak diinginkan lagi.

"Kakekku masuk rumah sakit." Si bocah duduk di depanku tanpa menunggu aku berbasa basi mempersilakan. Tapi aku juga bukan tuan rumah yang baik karena tidak menawarinya duduk padahal dia sudah beberapa menit terlibat percakapan. "Untungnya nggak parah," lanjutnya saat aku membuka mulut hendak menanyakan Pak Tua sakit apa. "Hanya tekanan darah aja. Hipertensi itu adalah penyakit langganan lansia seperti Kakek. Tapi saat melihat Kakek melakukan general check up, saya baru menyadari kalau dia sudah sangat tua." Si bocah mengangkat bahu. "Iya, saya tahu umur Kakek sudah hampir delapan puluh tahun, tapi karena saya selalu menganggapnya sebagai ayah sebab saya nggak kenal orangtua kandung saya yang udah meninggal saat saya masih kecil banget, saya nggak pernah melihat Kakek sebagai kakek beneran yang umurnya udah lanjut. Kemaren itu saya baru sadar setelah melihat Kakek ternyata tidak sekuat yang selama ini saya pikir. Sa—"

Karma RakhaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon