Dua Belas

4.3K 1K 116
                                    

AKU menggeleng-gelengkan kepala mendengar kalimat Yudis yang bertubi-tubi. Aku lalu berdecak saat menyadari jika dia tidak bisa melihat gerakan kepalaku melalui sambungan telepon.

Anak kedua Yudis hari ini berulang tahun. Setelah mengadakan selamatan kecil dan membawa entah berapa truk bingkisan yang dibagikan ke panti asuhan, Yudis juga mengundang kami, para sahabatnya untuk makan malam di rumahnya. Ini sebenarnya acara rutin setiap kali anak-anaknya, istrinya, atau dia sendiri berulang tahun. Yang berbeda adalah, kali ini dia memaksaku mengajak Faith.

Sepertinya teman-temanku mengalami kesulitan memahami bahwa hubunganku dengan Faith tidak seperti pernikahan lain yang lazim. Mereka lebih suka menyebut Faith dengan kata "istri lo" daripada nama setiap kali percakapan kami menyerempet tentang Faith. Awal-awalnya aku masih sering meralat, tapi lama-lama aku masa bodoh saja.

"Lo nggak usah datang aja kalau nggak sama sama istri lo," ulang Yudis untuk yang ketiga atau empat kali. "Besok hari Minggu, jadi nggak apa-apa pulang larut karena dia pasti nggak ada kuliah."

"Gue tanyain dulu ya," sambutku. "Gue nggak bisa maksa kalau dia nggak mau ikut. Faith itu bukan tipe yang 'iya-iya' kayak Renjana," aku menyebut tunangan Tanto. Membandingkan Faith dan Renjana lebih masuk akal daripada dengan pasangan teman-temanku yang lain. Pasangan Yudis, Dyas, dan Risyad jauh lebih dewasa secara usia, penampilan, dan tentu saja kepribadian. Dan bentuk tubuh, tentu saja. Meskipun langsing, bentuk tubuh mereka tetap saja berlekuk layaknya wanita dewasa yang menjanjikan kesenangan dan kepuasan maksimal. Ada daging yang bisa dijadikan pegangan.

Tentu saja pendapat itu akan kusimpan sendiri karena teman-temanku akan membunuhku dengan senang hati kalau aku sampai menjadikan bentuk tubuh pasangan mereka menjadi topik dalam obrolan mesum.

Yudis berdecak. "Gue udah ngasih tahu soal makan malam ini sejak minggu lalu, dan lo belum bilang sama istri lo?"

"Hei, gue nggak tidur satu satu bantal sama Faith, jadi gue nggak bisa nyampein undangan lo saat pillow talk. Gue bahkan nggak setiap hari ketemu dia."

"Sekarang dia pasti masih ada di rumah karena masih terlalu pagi untuk keluar. Lo kasih tahu sekarang deh. Lo jangan mengulang kesalahan gue yang dulu, Kha. Ajak istri lo ketemu sama teman-teman lo supaya dia beneran merasa jadi bagian dari hidup lo. Nggak terasing dan akhirnya punya asumsi yang aneh-aneh."

"Hubungan gue dan Faith nggak ka—"

"Udah ya, gue dipanggil Kay tuh," potong Yudis. "Jangan sampai lo nggak datang. Dan lo harus datang sama istri lo."

Telepon diputus begitu saja.

Aku mengetuk pintu kamar Faith setelah meletakkan ponsel di atas nakas. Suara musik langsung menghantam telinga. Syukurlah kamarnya sudah dipasang peredam suara sehingga aku tidak terancam tuli dalam usia muda seperti dia.

Faith sedang bersila di atas ranjang superbesarnya. Di sekelilingnya terhampar beberapa lembaran kertas. Faith tidak menyadari kehadiranku. Dia mengamati tulisan di kertas itu sambil berteriak-teriak mengikuti lirik lagu berbahasa entah planet mana, yang sesekali ditingkahi bahasa Inggris. Jelas sekali kalau kami menganut genre musik yang sangat berbeda.

Aku sudah hampir dua bulan tinggal serumah dengan Faith, tapi belum bisa memahami bagaimana otaknya bisa bekerja maksimal dalam keributan seperti ini. Aku meraih remote dan menurunkan volume sampai pada batas yang bisa ditolerir oleh telinga manusia normal. Kepala Faith spontan terangkat. Dia melihatku dengan tatapan bertanya.

"Ngapain?" tanyaku basa basi.

"Bikin list daftar barang yang akan aku sumbangin ke korban banjir di Semarang." Senyum jailnya yang khas lantas mengembang. "Om Bule ikutan nyumbang ya!" todongnya.

"Kamu beneran nyumbang untuk korban banjir?" Jujur, yang ada di kepalaku tentang Faith adalah tingkahnya yang kekanakan dan kecanduannya pada semua hal yang berbau Korea. Aku sama sekali tidak menyangka jika dia punya waktu untuk memikirkan persoalan kemanusiaan yang berada di luar dunianya dan Kpop.

"Memangnya ada orang yang pura-pura nyumbang?" Bola matanya bergerak ke atas. "Om Bule mau nyumbang berapa? Kasih mentahnya aja, nanti biar aku sama Army lain yang ngurus pembelian barang dan distribusinya sampai diterima oleh Army Semarang untuk dibagiin ke korban bencana."

"Oohh...." Sekarang aku mengerti apa yang melandasi semangat berdonasi Faith. Ternyata itu karena kekuatan fandom. Tapi apa pun alasannya, menunjukkan kepedulian pada sesama manusia selalu baik. Aku berdeham. "Kamu mau mendapatkan uang donasi lebih banyak tanpa harus menyentuh uang jajan dalam rekeningmu?"

"Maksudnya, selain uang kamu?" Faith langsung antusias.

Aku bersedekap di depan ranjangnya. "Iya, selain yang akan aku sumbangkan."

"Tentu saja aku mau." Faith langsung melompat turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapanku. "Gimana caranya?"

"Temanku ngundang aku untuk makan malam. Kalau kamu mau ikut, kamu bisa nyodorin proposal kamu sama mereka, dan aku yakin mereka akan ngasih lebih banyak daripada yang sekarang berhasil dikumpulin teman-teman Army kamu." Membayangkan teman-temanku dicereweti Faith yang kekanakan lumayan menghibur. Setelah berinteraksi dengan Faith, aku yakin mereka akan sadar bahwa harapan mereka untuk melihatku kembali ke jalan yang benar hanyalah sia-sia belaka. Faith sama sekali tidak punya kekuatan ajaib yang akan membuatku rela bertahan dalam hubungan kami lebih lama daripada yang telah kami sepakati. Apalagi untuk mencapai kata keramat "selamanya" itu.

"Teman-teman Om Bule?" ulang Faith. Senyum antusiasmenya spontan surut. "Itu artinya om-om dan tante-tante semua, kan? Ogah. Satu om-om reseh dalam hidupku udah lebih dari cukup." Dia kembali duduk di tepi ranjang. "Aku nitip proposal aja. Boleh ya?"

Aku menggeleng. "Kamu yang mau berdonasi, jadi kamu yang harus ketemu calon donatur dong. Jangan pakai calo."

Faith tampak bimbang. "Seberapa banyak yang bisa aku dapat sebagai imbalan bakal bosan dan ngantuk karena hangout sama om-om dan tante-tante?"

"Pasti lebih banyak daripada angka yang sekarang ada di kepala kamu." Mengubah jawaban dari "tidak" menjadi "ya" adalah salah satu dari sekian banyak kelebihanku. Aku ahli dalam memersuasi orang. Hanya ada beberapa orang yang kebal bujuk rayuku. "Beneran. Nanti aku bantu provokasi biar mereka buka dompet lebar-lebar. Aku yakin, selain untuk korban banjir, uangnya bisa kamu donasikan ke Burundi untuk anak-anak yang kelaparan di sana. Bayangkan exposure yang akan didapetin Army Indonesia kalau kegiatan donasi kalian itu diliput oleh media. Bukan hanya media nasional, tapi juga internasional. Bukannya kamu yang bilang kalau Army itu adalah fandom terbesar di dunia?"

"Berdonasi tujuannya bukan untuk pamer," jawab Faith. "Kakek bilang, orang yang kita bantu nggak perlu tahu siapa kita."

"Pamer pun, kalau niatnya beneran untuk membantu kan nggak apa-apa. Yang diekspos kan bukan kamu pribadi, tapi Army Indonesia. Menyebar berita positif kayak gitu akan membuat orang terkesan dan tahu kalau sebuah fandom itu nggak dibentuk hanya untuk hura-hura aja. Mungkin aja orang-orang yang sama minatnya dengan kamu, tapi belum tergabung dan aktif dalam fandom jadi tergerak untuk ikutan."

Faith tampak makin bimbang. Dia menggembungkan pipi, mengerutkan bibir, dan menggigit bibir bawahnya sebelum menarik napas panjang dan menjawab, "Oke deh, aku ikut," dengan pasrah.

Sudah aku bilang kalau aku memang master dalam urusan bujuk rayu. Orang dewasa yang sudah sarat pengalaman saja bisa masuk perangkapku, apalagi kalau cuma bocil seperti Faith.

Setelah kembali ke kamarku, aku meraih ponsel dan menuli pesan di grup.

Siapin Mbanking kalian. Faith akan ikut gue ke rumah Yudis, dan dia open donasi untuk anak-anak di Burundi atas nama Army.

Yudis: Army? Maksud lo TNI? Sejak kapan istri lo masuk tentara? Bukannya dia kuliah bisnis?

Tanto: Bukan tentara, bro. Itu kayak komunitas penggemar boyband Korea gitu. Gue pernah dengar Renjana beberapa kali ngomongin itu.

Aku tertawa membaca balasan Tanto. Ketahuan siapa yang bucin sama cewek pemuja Kpop. Tanto adalah contoh kesialan karena salah memilih pasangan yang berbeda generasi.

**

Sila melipir ke Karyakarsa kalau mau baca lebih cepet ya.

Karma RakhaWhere stories live. Discover now