Tiga Puluh Satu

3.5K 761 90
                                    

AKU menghabiskan waktu dua jam lebih di gym hotel untuk membuang kalori yang kutumpuk beberapa hari ini. Semenjak tinggal di rumah Faith, biasanya aku menyempatkan ke gym dua kali seminggu, sepulang kantor karena aku sengaja tidak membawa alat gym-ku yang di apartemen. Tidak praktis karena aku toh tidak akan tinggal selamanya di sana. Alat gym tidak didesain mobile. Beli baru juga pemborosan. Lebih baik berolahraga di pusat kebugaran yang tidak jauh dari kantor. Di rumah Faith aku biasanya hanya berenang.

Dua hari ini aku tidak bergerak banyak. Yang kulakukan hanyalah makan dan tidur. Ayunan langkahku bolak-balik menuju restoran bahkan tidak bisa membakar 60 kalori, padahal hari ini saja, aku sudah menjejalkan setidaknya 2000 kalori ke dalam lambung. Jumlahnya masih bertambah karena aku belum makan malam.

Faith tidak ada di kamarnya saat aku mengintip. Tadi dia sedang tidur saat kutinggalkan ke gym. Anak itu pasti sudah di pantai lagi. Awas saja kalau dia membatalkan kesepakatan kami dengan alasan kecapekan lagi. Lebih baik kususul dan menyeretnya pulang. Dia tidak perlu menunggu sunset. Apa yang dia lihat kemarin, tidak akan berbeda dengan yang tampak hari ini. Matahari hanya satu, dan tidak akan berganti pose setiap hari.

Setelah mandi, aku mengantongi ponsel dan bersiap mencari Faith. Sebenarnya aku bisa saja meneleponnya, tapi opsi itu tidak efektif untuk Faith. Tidak ada cara paling baik selain mencari dan menangkapnya langsung.

Langkahku terhenti di ruang tengah. Dari dinding kaca, aku bisa melihat Faith sedang berbaring di kursi kolam. Aku menyengir lebar. Kalau rezeki memang tidak akan ke mana. Aku tidak perlu repot-repot ke pantai.

Bikini yang dipakai Faith kali ini tidak seminim tadi pagi, tapi tetap saja hanya menutup bagian terpenting dari tubuhnya. Aneh saat menyadari bahwa persepsiku tentang bentuk tubuh Faith jadi berubah setelah mulai terbiasa melihatnya lepas dari kemeja dan kaus kedodoran. Faith tidak memiliki lekuk tubuh berarti. Tubuhnya nyaris lurus saja, tapi dia tetap saja sukses membuatku menelan ludah berkali-berkali padahal baru melihatnya kurang dari dua menit. Mungkin karena pada dasarnya aku berengsek dan horny-an saja.

"Faith...." Aku berjongkok di sisi kursi kolam dan melepas kacamata hitam yang dipakai Faith untuk berjemur. Kulitnya yang putih mulus tampak kemerahan akibat seharian berada di bawah sinar matahari. Sunblock dengan SPF tinggi tetap meninggalkan jejak di kulitnya. Tapi kemerahan di kulit Faith jelas berbeda dengan efek matahari di kulitku. Faith malah tampak makin seksi dengan kulit seperti itu. "Faith...." Aku menepuk pipinya.

Faith membuka mata perlahan. Dia masih tampak mengantuk. Dia melindungi matanya dengan sebelah tangan dari sinar matahari yang silau. "Sunblock-ku mana? Aku harus reapply nih. Sore gini, sinar UV tetap aja masih ada."

Aku mengambil sunblock yang ada di dekat kaki Faith dan mengulurkannya. Faith menuang losion banyak-banyak di tangannya dan mulai mengusapkannya di kaki, betis, dan pahanya yang jenjang.

Aku menelan ludah. Losion dan gerakan tangan itu mengingatkanku pada kejadian tadi siang. Tangan Faith juga berlumuran losion saat menyentuhku. Memang bukan jenis losion yang sama, tapi efek yang ditimbulkannya paada tubuhku tetap saja sama. Ada yang kembali memberontak.

Aku berdeham, melonggarkan tenggorokan yang terasa tersekat. "Butuh bantuan?" suaraku terdengar serak di telingaku sendiri. Tangan Faith sekarang menyentuh perutnya sendiri setelah selesai membaluri kedua lengannya. "Kamu pasti nggak bisa ngasih sunblock sendiri di punggung." Otak licikku bekerja cepat.

"Oh iya, punggung." Faith yang tidak tahu apa yang sekarang berkecamuk di kepalaku menyerahkan losion tanpa curiga. Dia berbalik membelakangiku.

Aku menumpahkan losion di tangan, menggosokkan kedua telapak tangan untuk meratakannya, dan menempelkannya di punggung Faith. Aku mengusapkannya lembut di seluruh permukaan kulit punggungnya. Mulai dari leher sampai batas celananya. Aku mengulangnya beberapa kali dengan memberi pijatan di bahunya.

Saat menyentuh kulit Faith yang terasa panas di telapak tanganku, tidak butuh waktu waktu lama untuk membuat jari-jariku berbelok dan masuk ke dalam bra faith. Aksesnya sangat mudah karena Faith memakai atasan yang diikat di belakang leher. Aku mengusap dan meremas benda yang terus berada dalam kepalaku saat tadi siang Faith membantuku menidurkan Junior setelah mencapai pelepasan di tangannya.

Faith tidak bergerak. Dia juga tidak mengatakan apa-apa, tapi aku bisa mendengar tarikan napasnya berubah menjadi pendek dan cepat. Seperti aku, hasratnya juga terbangkitkan. Aku tidak melepaskan dadanya saat mulai mencium lehernya. Dia mengerang saat lidahku mencicipinya. Sunblock yang baru kuoles terasa agak pahit, tapi aku tidak peduli.

Ketika Faith menoleh ke arahku, aku mengalihkan ciuman ke bibirnya. Berbeda dengan sunblock di lehernya, lipgloss Faith terasa manis. Faith membalas ciumanku. Setelah berciuman lama, aku berdiri dan menarik tubuhnya bersamaku.

"Kita pindah ke kamar aja. Lebih nyaman di sana." Aku menggendong Faith. Kami punya banyak waktu menggunakan tempat ini untuk pengulangan. Tapi yang pertama harus di ranjang. Kalau Faith memintaku berhenti di tengah jalan karena tergencet kursi kolam yang tidak nyaman, bukan hanya Junior yang kecewa, tapi aku juga kehilangan Range Rover-ku.

"Jangan tegang," bisikku saat merebahkan Faith di atas ranjang. "Atau kamu takut?"

Faith menggeleng. "Bukan takut. Aku hanya tegang karena antusias, penasaran, tapi juga cemas kalau ternyata seks nggak seperti yang aku bayangkan dan teman-temanku ceritakan. Gimana kalau aku malah nyesal karena sudah melakukannya sama kamu, tanpa perasaan?"

"Kamu nggak akan nyesal. Aku janji. Rileks aja. Nggak usah mikir macam-macam. Rileks akan membuat kamu lebih gampang menikmantinya." Aku kembali mencium Faith. Tanganku menyusuri setiap jengkal tubuhnya. Ini akan menjadi pemanasan paling panjang dan lama yang pernah kulakukan karena aku harus menunggu Faith siap sebelum berlanjut ke tahap inti. Tapi ini layak untuk dilakukan karena aku bisa mengakhiri puasa panjang tanpa harus khawatir abuku ditebar di selat Sunda, dan tidak perlu kehilangan Range Rover.

**

Seks adalah obat tidur paling manjur. Aku terbangun dalam ruangan yang gelap gulita. Tanganku masih melingkari tubuh Faith yang polos di bawah selimut. Dia masih terlelap. Tarikan napasnya terdengar dalam dan teratur. Endorfin dan oksitosin yang meningkat setelah mencapai puncak membuatnya rileks dan mengantuk.

Aku sebenarnya masih malas untuk turun dari ranjang Faith yang hangat, tapi tuntutan kandung kemih tidak bisa kutahan. Aku bergerak perlahan supaya tidak tidak membangunkan Faith.

Ketika keluar dari kamar mandi, kamar Faith tampak terang-benderang. Si pemilik kamar masih bergelung dalam selimut, bersandar di kepala ranjang. Dia menyengir lebar saat melihatku mendekat tanpa mengenakan apa pun.

"Ewwwhhh...."

Aku mengempaskan tubuh di sebelahnya. "Masih mau?" godaku.

Faith menggeleng cepat. "Aku lapar banget. Aku belum makan sejak siang. Begituan ternyata kayak olahraga."

"Tapi enak, kan?" godaku lagi. Aku tahu dia menikmatinya, sama seperti aku yang merasakan kepuasan yang sensasinya sudah lama tidak menjalari tubuhku.

Faith pura-pura berpikir. "Lumayanlah. Cukup untuk bikin kamu nggak kehilangan Range Rover." Dia tertawa saat melihat tatapan protesku. "Tapi yang kedua beneran enak kok. Apa rasanya sama dengan siapa pun kita melakukannya?"

Aku butuh waktu untuk menjawab pertanyaan Faith. "Ehm... menurutku, rasanya tidak tergantung sama siapa kita melakukannya, melainkan pada suasana hati kita saat melakukannya. Atau seberapa besar hasrat dan keinginan kita melakukannya."

"Oohh...." Faith menegakkan tubuh. Dia tampak puas dengan jawabanku. "Aku mau pesan makanan."

"Mau makan di sini atau ke restoran?" tanyaku. "Restoran masih buka kok jam segini."

Fait menggeleng. "Aku takut cara jalanku kelihatan aneh. Rasanya agak perih." Dia meringis. "Besok udah nggak perih lagi, kan? Aku takut kelihatan aneh dan nggak anggun sendiri saat jadi pengiring pengantin Kak Renjana."

Itu pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Aku tidak pernah jadi perempuan yang lepas perawan, jadi tidak tahu rasanya.

"Besok pasti udah baik-baik aja," jawabku asal saja untuk menghiburnya. Sepertinya sesi malam ini tidak akan mengalami penambahan. Kekhawatiran Faith tidak bisa tampil sempurna di acara Tanto dan Renjana besok ternyata jauh lebih besar daripada rasa penasarannya terhadap seks yang baru dipelajarinya. Tak mengapa. Masih ada hari esok. Dan esoknya lagi. Kami masih punya banyak waktu sampai saat berpisah tiba.

Karma RakhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang