Bab 64. JEPIT RAMBUT DAN SEBUAH KESEPAKATAN

977 316 25
                                    

Bismillah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bismillah.

Teman-teman, saya benar-benar belum bisa membantu Arrasid lagi. Fokus saya sedang pada pendaftaran kuliah anak-anak asuh dan biaya yang mengikutinya. Ini benar-benar modalnya iman dan taqwa saja. Allahuma barik, semoga Allah mudahkan. Aamiin allahuma aamiin

Bantu saya ya teman-teman. Gantikan saya sementara untuk membantu ananda Arrasid. Tidak apa-apa sedikit. Tidak apa-apa nominal terkecil yang bisa ditransfer. Yang sedikit itu akan mengurangi 22.000.000 tunggakan yang tersisa [ 6281263649 BCA a/n NIKEN ARUM DHATI ]

Saya benar-benar sedang KO. Semua penting. Anak-anak saya harus tetap sekolah. Pendidikan akan mengubah jalan hidup mereka. Saya tidak bermimpi apa-apa. Hanya ingin melihat mereka hidup dengan baik dan beruntung. Beruntung seperti saya yang dipertemukan hanya dengan orang-orang baik seperti kalian semua. Kita memang tidak pernah bertemu in person, tapi saya sangat berterima kasih pada kalian semua yang sudah menemani saya di Wattpad hingga sejauh ini.

Terima kasih banyak teman-teman. Doa terbaik saya selalu untuk kalian semua dan selamat membaca ♥️

*

Semua orang terlihat serius di mata Brielle. Pembicaraan di ruang kerja calon mertuanya lebih sering dilakukan oleh para pria di rumah itu.

Brielle menutup pintu kamar bayi pelan. Dia menekuni ponselnya dan berdiri bersandar pada tembok. Brielle memastikan CCTV di ruang bayi yang terkoneksi ke ponselnya bekerja dengan baik. Dia lalu mengantongi ponselnya setelah selesai memeriksa CCTV. Dia berjalan di sepanjang koridor menuju kamarnya.

Brielle berbicara sebentar dengan seorang abdi dalem wanita yang akan menunggui Ranu di kamar. ”Kita gantian ya Mbak. Saya makan sebentar.”

”Baik, Den Ayu.”

Brielle melanjutkan langkahnya dan makan sendirian di meja dapur. Suasana masih saja sama. Yang berpihak tidak meninggalkan dapur ketika dia datang, tapi yang sebaliknya, berpura-pura mereka harus mengerjakan sesuatu yang lain. Situasi seperti itu sangat tidak mengenakkan.

”Istirahat saja Mbak. Biar saya cuci sendiri nanti.” Brielle mengangguk ke arah abdi dalem wanita yang duduk menunggu di dekat kulkas.

”Tapi, Den Ayu...”

”...tidak apa-apa. Ibu sedang ke Kaliurang kan? Jadi tidak apa-apa.”

”Baik, Den Ayu.” Dengan wajah ragu, wanita baya itu beranjak dan melangkah keluar dari dapur. Sekali lagi Brielle mengangguk saat wanita itu menoleh ke arahnya.

”Ada apa? Apa aku perlu dijaga walaupun di dalam rumah? Huum? Kemarin-kemarin tidak seperti ini.” Brielle menoleh ke kanan dan ke kiri dan tidak menemukan keanehan apapun. ”Semenjak Mas Gempar selesai bicara dengan ibu di kamarnya, semua orang nampak aneh.” Brielle menyuapkan suapan terakhir dan beranjak. Dia mencuci piringnya di wastafel dan mengeringkannya. Dan sesaat kemudian meninggalkan dapur dengan satu teko air putih dan gelas. Dia kembali ke kamar bayi.

GEMPAR AND THE COFFEE THEORY Where stories live. Discover now