1. Cafe Samidare

21 1 0
                                    

CAFE SAMIDARE

—○●○—

We met again in the summer rain.

—○●○—

PEMUDA berambut hitam pendek itu bergumam kesal kala ia baru saja melewatkan bus yang akan membawanya pulang. Belum lagi, langit saat ini dihiasi awan keabuan yang mungkin sebentar lagi akan menurunkan jutaan airnya ke bumi. Bus selanjutnya akan datang pukul lima sore–dua jam lagi. Ia bisa saja naik kendaraan lain, taksi online misal. Namun, ia lebih memilih untuk tidak beranjak dari tempatnya.

"Konon katanya, hujan di awal musim panas membawa berkah." Pemuda itu menoleh, menatap pria tua yang berdiri di sampingnya. Awalnya ia tidak begitu peduli. Dirinya tidak suka berbasa-basi dengan seseorang yang tidak ia kenal. Akan tetapi, ketika hujan mulai turun, dan pria di sampingnya mengulurkan sebuah payung, mau tak mau ia memusatkan perhatiannya pada si pria.

"Saya tidak apa-apa, Kek," katanya sopan, berusaha menolak payung yang terulur.

"Kakek punya dua. Kau tidak perlu khawatir. Lagipula, kau akan membutuhkannya." Setelah memastikan payung itu sampai di tangannya, pria tua itu lalu pergi tanpa sepatah kata lagi.

Akan tetapi, Jo masih belum juga beranjak. Bahkan saat kondisi halte mulai semakin ramai oleh orang-orang untuk berteduh, ia tetap berdiri di sana sambil mengamati beberapa kendaraan yang lewat. Hingga tanpa sengaja kedua matanya menatap pada cafe seberang halte yang terlihat ramai. Dari awal ia selalu menginjakkan kaki di halte ini, Jo baru pertama kalinya menyadari cafe bernama Samidare itu berdiri tepat di seberangnya.

"Bukannya itu cafe yang banyak dibicarakan orang ya?" Jo menoleh ke sampingnya, pada dua orang perempuan yang tampaknya sedang membicarakan cafe Samidare

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bukannya itu cafe yang banyak dibicarakan orang ya?" Jo menoleh ke sampingnya, pada dua orang perempuan yang tampaknya sedang membicarakan cafe Samidare.

"Yaps. Katanya mereka menyediakan cake dan pastry yang enak-enak. Mereka baru saja buka di musim panas ini, hingga musim gugur. Tapi, peminatnya sudah banyak sekali."

Tanpa sadar Jo mengangguk kecil. Pantas saja ia baru pertama kali melihat cafe itu.

Jo datang ke Prefektur Kanagawa saat awal musim semi, setelah sembilan belas tahun tinggal bersama kakek dan neneknya di Perth. Ia kembali ke Prefektur Kanagawa, tepatnya di Yokohama, untuk kembali ke tanah kelahirannya dan menempuh pendidikan di kota ini.

Lama bergelut dengan pikirannya tentang masa lalu, Jo tidak menyadari bahwa kedua perempuan di sampingnya telah berlari kecil menyeberang dan ikut mengantri di depan cafe Samidare.

Ia menghela napas lelah. Lidahnya sedang tidak berselera mencicipi makanan manis, jadi ia sama sekali tidak tertarik untuk mampir ke sana. Namun, ketika kedua mata hitamnya menatap pada sosok perempuan di seberang sana, ia terpaku. Jo terus memandang ke arahnya. Senyumnya yang cerah—secerah matahari musim semi yang akan segera berakhir. Anak rambut hitamnya yang tertiup angin membelai wajah cantiknya. Saat netranya memandang semua itu, Jo merasakan dadanya seakan dipenuhi ribuan kupu-kupu.

さみだれ (SAMIDARE)Where stories live. Discover now