02. Rumah Sakit Jiwa

951 77 1
                                    

"Terus aku harus memanggilmu siapa?!" Bentaknya.

Pria itu tampak terdiam. Sangat bodoh. Maki Ayara dalam hati.

"Bagiamana kalau sayang?" Dengan wajah datar pria itu mengusulkan.

"Nggak. Itu menjijikkan"

"Honey?"

"Alay"

"Baby?"

"Aku bukan babi!" Hardik Ayara.

Arkara mulai mikirkan nama yang lain. "Panggil namaku saja. Tapi.. itu terdengar kurang sopan"

Ayara geram. Sungguh pria ini menguras kesabarannya.

"Sudah di putuskan. Kamu harus memanggilku sayang," putus Arkara pada akhirnya.

"Kalau aku nggak mau?" Tantang Ayara.

Dengan tenang Arkara menjawab. "Aku akan membiarkan kamu tidur di kandang harimau"

Sial!

Dia pasti selalu kalah dengan ancaman pria itu.

Ayara memelototi nya. "Apa kamu tega membiarkan aku mati di makan harimau?"

Arkara menggeleng. "Tapi aku tega membiarkan kamu tidur dengan harimau"

Arkara tidak pernah main- main dengan perkataannya. Dia mengenal betul setelah 1 tahun bekerja dengan pria itu.

"Aku lebih suka memanggil namamu saja Pak. Bagaimana? Panggilan sayang itu... Terlalu menjijikkan" Ayara bergidik dan dengan tegas menolak.

Arkara terdiam berfikir. Dia menatap Ayara yang kini menatapnya dengan wajah tersenyum manis.

Saat tersenyum, kecantikan Ayara bertambah. Arkara tidak bisa menampik jika dia mudah luluh dengan rayuan Ayara.

"Oke."

Mendengarnya, senyum Ayara semakin lebar. Namun mendengar penuturan Arkara selanjutnya, membuat senyum Ayara hilang seketika.

"Ayara, aku sudah membelikanmu banyak baju, tas dan sepatu. Apa kamu suka?" Arkara mendekatkan tubuhnya, memilih duduk di lantai, untuk lebih dekat dengan Ayara.

"Untuk apa kamu membelikanku barang- barang seperti itu?? Bukan hanya buang- buang uang?" Ketus Ayara sambil merebahkan tubuhnya di sangkar yang memang tersedia kasur. Persis seperti kamar bagi Ayara.

Arkara mengerjap. Kenapa Dimata Ayara dia selalu salah? Bukan Ayara menyukai barang- barang seperti itu?

"Ayara, aku kaya. Kamu tidak perlu khawatir aku jatuh miskin" kata Arkara menjelaskan. Gadis ini memang sangat perhatian dan juga bodoh. Mana mungkin dia miskin hanya karena membelikannya baju?

Ayara melirik Arkara sinis. "Bodoh. Aku nggak peduli kamu jatuh miskin atau bahkan jadi gelandangan sekalipun!" Makinya. "Untuk apa kamu membelikan barang- barang itu kalau aku terus berada disini?"

Entah kenapa dia sangat mudah tersulut emosi jika sudah berbicara dengan Arkara.

"Iya kamu harus tetap memakainya. Aku suka saat kamu tampil cantik hanya untukku" dengan dingin pria itu mengungkapkan kepemilikannya.

Sungguh, Arkara benci melihat Ayara menjadi pusat perhatian orang- orang. Belum lagi melihat tatapan lapar pria lain, membuatnya ingin mengamuk saja.

"Dasar gila! Nggak mungkin kan selamanya kamu kurung aku disini?" Dengan tidak berdaya dan marah Ayara bertanya.

Arkara mengangguk. "Tergantung. Kalau aku mau, kamu bisa keluar"

"Ck " Ayara memilih mengangkat selimut, menutupi wajahnya agar tidak selalu Arkara lihat.

PatuhlahWo Geschichten leben. Entdecke jetzt