AKU BERHAK BAHAGIA

67 31 21
                                    

Suara guntur memekakkan telinga. Kilatan cahaya yang berangsur datang silih berganti. Hujan pun jatuh mengiringi. Di dalam sebuah rumah sederhana bercatkan putih bersih, di dalam kamar minimalis dengan gaya khas salah satu tokoh kartun asal negeri sakura itu, nampak seorang gadis duduk bersila di atas ranjangnya. Melamun adalah aktivitasnya setelah ia melewati kejadian yang begitu tiba-tiba baginya.
Perlahan, air mata itu kembali menetes. Mengapa setiap kita memutuskan sesuatu akan sebuah pilihan, hati ini terasa hampa. Terasa begitu menyakitkan. Apakah pilihan yang kita ambil salah?
Gea membuka kotak pemberian Afaska. Sengaja gadis itu membuka kotak yang mungkin seharusnya ia pilih. Kotak yang penuh misteri. Kotak itu terasa ringan. Dicobalah ia goyang-goyangkan kotak itu. Berharap terdengar suara agar ia dapat menerkanya. Hasilnya nihil. Kotak itu seakan tak bersuara. Gea hanya bisa mengucapkan maaf saat dirinya membaca secarik kertas dari dalam kotak itu. Kotak coklat yang hanya berisikan secarik kertas.
Selamat! Anda sudah memenangkan hati seorang pemuda yang belum pernah merasakan cinta. Hadiah yang hanya bisa pemuda ini berikan adalah sebuah perasaan. Perasaan cinta yang tulus dan tanpa imbalan.
Rasa bersalah kembali hadir dalam hatinya. Betapa bodohnya ia menolak hati seseorang yang jelas-jelas mencintainya. Namun dia juga dihadapkan hantaman batu di dalam dada. Timbulnya rasa yang sama juga dialami oleh orang terdekatnya. Ia bimbang antara berpihak pada orang lain ataukah pada dirinya sendiri. Gea kembali dirundung dilema.

"Kenapa elo nolak Afaska? Kurang apa sih laki-laki seperti dia?"

Dora tidak tahan dengan sikap Gea sedari tadi. Pernyataan cinta yang romantis, sahabat yang saling membantu membuat Dora kagum. Dora bahagia ketika Afaska menyatakan cinta pada sahabat terbaiknya. Ia berharap kebahagiaan akan datang pada sahabatnya ini.
Dora tahu sahabatnya ini pasti memiliki alasan. Pasti gadis ini memiliki kesulitan tersendiri. Namun yang sangat disayangkan adalah komunikasi. Mengapa gadis ini tidak mau mengkomunikasikan perihal beban cintanya. Barang kali ia bisa membantu. Bukankah peran sahabat akan hancur jika tidak ada rasa kepercayaan?
Kini Dora sudah berada di kamar Gea. Dia mendatangi rumah gadis itu tengah malam. Ia tidak mau mati penasaran oleh Gea.

"Jadi alasan lo apa?"

Dora mencoba bertanya kembali. Dilihatnya gadis itu menarik napas dalam, dan mencoba untuk berkata.

"Putri suka Afaska."
Jawaban yang singkat cukup membuat Dora menganga. Tidak ia sangka, salah satu sahabatnya itu juga menyukai orang yang sama. Dora terlihat fokus menyimak perkataan Gea kembali.

"Kemarin sore Putri ngomong sama aku pas pulang sekolah. Dia bilang kalau dia suka Afaska. Dia suka senyumnya, suka sikapnya, suka kepribadiannya. Dia terlihat bahagia begitu menceritakan perasaannya. Sekarang aku harus apa Dor? Apa aku setega itu untuk nusuk temen aku sendiri? Aku nggak bisa."
Gea kembali menangis. Dipeluklah gadis itu dan ditenangkan. Sekarang Dora sudah tahu titik permasalahannya. Setelah gadis itu sedikit tenang, diurailah pelukan mereka berdua.

"Sekarang gue cuman mau nanya satu hal ke elo." Gea mengangguk.
"Lo cinta Afaska?"
Gea terdiam mendengar pertanyaan itu. Perempuan itu kembali terisak. Pikirannya kini hanya terisi Afaska seorang. Perasaan terluka di mata Afaska masih terngiang di pikiran Gea. Dengan mantap Gea menganggukkan kepala membuat Dora tersenyum seketika.

"Saran gue lo harus temui Afaska besok. Jelasin alasan lo nolak dia. Ungkapin semua isi hati lo ke dia."

"T-tapi gue malu. Terus Putri gimana?"

"Putri biar gue yang urus. Perasaan seseorang nggak bisa dipaksain Ge. Dengan Afaska nyatain cintanya, dan elo yang sebenarnya juga suka sama dia udah cukup mengartikan kalau kalian punya perasaan yang sama. Untuk urusan dengan Putri, pasti dia juga bakal ngertiin, karena hati orang memang nggak bisa dipaksain."
Gea tersenyum mendengar nasihat Dora. Hatinya terasa tenang. Dora benar!

"Terima kasih, Dora."

***

Dua minggu berlalu. Dua pekan itu pula Gea tidak mengetahui keberadaan Afaska. Pernah ia tanyakan pada Fero namun malah makian yang ia dapat. Tak jarang para teman-teman Afaska melirik tajam ke arahnya, dan terang-terangan memasang wajah tak suka padanya.

"Komandan gue salah apa sih sama lo, sampe tega bener elo nolak komandan gue. Berasa diri sendiri udah yang paling sempurna ya?"

"Cih ngapain nyari komandan kita lagi? Baru nyadar salah ya? Telat kali!"
Gea berusaha mengabaikan semua kata-kata pedas yang anak-anak geng motor Phoenix ucapkan. Semua memang salahnya. Ketidakhadiran Afaska mungkin juga merupakan salahnya. Gea hampir putus asa mencari keberadaan Afaska. Semua teman-temannya seakan membisu untuk memberiahunya.

"Sebenernya kita juga nggak tahu Afaska di mana."
Suara seseorang berhasil membuat perhatian Gea, dan kawan-kawannya yang semula dalam keadaan melamun. Andika menghampiri mereka bertiga. Seorang diri laki-laki itu mendatangi mereka.

"Setelah lo nolak Afaska, dia nggak pernah ketemu kita. Kita sempet nyari dia di mana-mana tapi hasilnya nihil. Afaska seakan hilang dari bumi."

AFASKA {Sudah Terbit}Where stories live. Discover now