SIAPA DIA?

402 83 66
                                    

Deru motor melewati sunyinya malam. Angin malam bahkan suara gemuruh petir ia abaikan. Seolah tak ada yang bisa meredam amarah sosok laki-laki di balik helm full face itu. Ia ingin segera melepaskan rasa sesak di dadanya. Hanya ada satu tempat yang selalu ia jadikan tujuan. Tempat itu.

"Arghh!"

Teriakan Afaska terdengar suram. Berulang kali ia berusaha melepaskan rasa sesak, namun gagal. Baru kali ini rasa amarahnya tak kunjung redam. Namun perlahan pada akhirnya ia mulai bisa mengontrolnya. Suara aliran air yang beralun seakan mampu meredam emosi yang sedari tadi ia tahan. Dihembuskanlah napas laki-laki itu untuk mengontrol semuanya. Hingga hati laki-laki itu merasa tenang.

"Lo lagi latihan paduan suara ya? Fals tahu nggak?"
Afaska yang masih fokus menatap sungai dikejutkan oleh seorang gadis yang tiba-tiba muncul, dan berdiri di sebelah motornya. Afaska dapat melihat ekspresi kesal gadis itu.
"Lo lagi sedih ya? Nggak apa-apa luapin aja. Semua orang pasti punya masalah."
Afaska mengernyitkan alis mendengarkan ucapan gadis itu. Kenapa gadis ini bisa tahu? Sejelas itukah raut wajahnya hingga bisa terbaca oleh gadis di sebelahnya ini? Mendadak perasaan sedih kembali menghampiri Afaska. Perasaan yang mati-matian ia kontrol datang kembali. Perkataan pedas dan menusuk kembali terngiang di pikirannya.

Setetes air mata sudah tak dapat ia tahan lagi. Tiba-tiba sapu tangan dengan motif bunga mawar tersodor di depannya. Dengan wajah datar, gadis itu memberikan sapu tangannya pada Afaska. Sadar bahwa tangisan dirinya diketahui orang lain, dengan cepat ia menghapus air matanya.

"Gue nggak butuh sapu tangan itu!"

Mendengar penolakan Afaska, dengan cepat gadis itu memasukkan sapu tangannya ke dalam saku jaket laki-laki itu. Meski sempat mendapat tepisan, gadis itu tetap bersikeras meletakkan sapu tangannya di saku jaket Afaska.
Senyum manis gadis itu terbit saat ia berhasil melakukannya, dan senyuman itu tak luput dari pandangan Afaska. "Cantik," batin Afaska.

"Gue tahu tiap masalah itu berat. Tapi gue yakin tiap masalah pasti ada jalan ke luarnya." Gadis itu menatap Afaska sekilas.
"Kalau dengan nangis bisa buat lo lega, nangis aja. Nggak usah ditahan. Gue nggak tahu masalah yang lo alamin itu seberat apa, tapi gue yakin elo pasti bisa ngehadapin itu semua."

Setelah berkata demikian, gadis itu sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya. Secarik kertas penuh coretan tinta itu ia keluarkan. Tangannya begitu lincah melipat kertas. Seekor burung camar dapat Afaska lihat pada kertas buatan gadis itu. Afaska tersenyum melihatnya. Dengan tiba-tiba lipatan kertas itu diberikan padanya. Walau sedikit bingung, diterimalah seekor burung camar dari tangan gadis itu.

"Biasanya gue selalu bawa kertas origami buat jaga-jaga ketemu orang modelan elo. Tapi hari ini kayaknya bukan lagi rejeki lo aja. Makanya gue lupa bawa kertas origami. Sebagai gantinya gue pake kertas burem sisa ulangan matematika gue ya? Jangan lihat kertasnya tapi lihat bentuk burungnya aja. Semoga terhibur."

Setelah memberikan lipatan kertas, gadis itu beranjak pergi bersamaan dengan suara petir yang kembali menyambar. Afaska segera pergi dari tempat itu. Entah mengapa kini hatinya terasa ringan. Beban hatinya perlahan terangkat. Apa karena gadis itu? Begitu teringat gadis itu Afaska menepuk jidatnya. Betapa bodohnya ia lupa menanyakan nama gadis baik itu.

"Ah sial!" batinnya.

***

"Uno!"

Virdy berteriak keras di depan teman-temannya. Namun keberuntungan sepertinya tidak berpihak pada laki-laki itu. Untuk kesekian kalinya ia harus menerima kekalahan. Dengan raut wajah sedih ia perlihatkan pada teman-temannya, berharap mereka memberikan belas kasihan. Bukan belas kasihan yang ia dapat, namun malah coretan keras ia dapatkan. Yah! Dia harus menerima hukuman coretan bedak di wajah tampannya. Tak jarang laki-laki itu batuk begitu bedak bayi masuk ke lubang hidungnya.

AFASKA {Sudah Terbit}Where stories live. Discover now