4. Ucapan Terima Kasih

394 82 2
                                    

"Cakep banget ya, Mbak," komentar Karin lagi sesaat setelah mobilku mulai melaju meninggalkan kantor tetangga baruku itu, maksudku kantor Angkasa. Mata Karin yang terlihat berbinar membuatku khawatir jika gadis itu telah jatuh hati pada pandangan pertama pada Angkasa. Duh, jangan sampai deh.
 
"Biasa aja," balasku tidak tertarik. 

"Apa Mbak perlu tambahan kacamata? Mas-mas yang tadi itu cakep banget loh. Wajahnya lelaki banget, suaranya berat, badannya keren," pujinya. Aku bahkan sudah berkali-kali mendengarkan ucapan penuh dengan pujian ini terlontar dari mulut Karin.

"Kalau buat kamu, dia bukan mas-mas, tapi om-om," balasku sambil terkekeh.

"Sana gih besok tungguin di depan bakery biar bisa ketemu dia," kataku lagi.

"Bakal kulakukan kalau Mbak memberikan izin buatku."

"Nggak akan kuberikan," balasku cepat.

Hanya helaan napas panjang Karin yang terdengar. Aku kemudian menyalakan musik dan pengeras suara di mobil. Alunan lagu penuh kelembutan terdengar jelas di telingaku. Begini lebih baik daripada aku mendengar celoteh Karin tentang Angkasa.

Oke, aku akui jika apa yang diucapkan Karin itu tidak ada yang salah. Tapi saat ini aku benar-benar sedang tidak mau membahas ketampanan siapa pun itu. Bagiku Angkasa hanya tetangga baruku, bukan sosok yang akan aku kagumi, seperti yang dilakukan oleh Karin. 

Usia Karin memang belum mencapai dua puluh tahun, mungkin itu yang membuatnya begitu mengebu-gebu saat mengagumi seseorang. Aku hanya bisa menahan tawa saat melihat ekspresinya yang begitu bersemangat.

Saat mobilku memasuki garasi rumah, Daya terlihat baru datang dan memarkirkan motornya. Walaupun terlihat lelah, dia melebarkan senyumannya saat melihat kedatanganku dan Karin. Dua orang karyawanku ini selalu bisa membuat hari-hariku terasa lebih baik.

"Nanti Karin yang ngerjain kue-kue sesuai jadwal hari ini, aku dan Daya yang akan menyelesaikan pesanan kue Ibu Dania," kataku menyebutkan nama pelanggan yang memesan cukup banyak kue tradisonal untuk arisan nanti sore. Karin dan Daya mengangguk dan keduanya pun segera membawa barang belanjaan Daya tadi dan menyimpannya di dapur.

Sebenarnya aku cukup kewalahan dengan karyawan yang hanya dua orang. Kadang aku sampai menolak pesanan dalam jumlah besar yang aku yakin tidak akan bisa menyelesaikannya jika hanya dibantu Karin dan Daya. Beberapa kali aku sudah pernah mencari karyawan baru, tapi tetap saja belum ada yang sesuai. Ada yang rajin, tapi sama sekali tidak mengerti cara-cara membuat kue, ada yang terlihat ahli tapi ternyata kerjaannya ceroboh. Begitu terus yang terjadi hingga saat ini aku hanya dibantu oleh Karin dan Daya.

Bakery-ku juga tidak bisa buka setiap hari jika ada pesanan yang cukup menguras waktu dan tenaga. Begitulah, tapi aku senang menjalani hari-hariku di bakery, menghirup aroma manisnya kue, mendengar celoteh Karin dan Daya serta menemukan ide-ide baru untuk bakery-ku.

Aku membiarkan Karin mengerjakan beberapa jenis kue untuk dipajang di etalase bakery, sementara aku menghampiri Daya yang baru selesai membuat isian kacang hijau untuk onde-onde. Untuk bahan-bahan untuk isiannya sendiri sebenarnya sudah aku siapkan dari kemarin, dan hari ini Daya tinggal memasaknya saja.

Jika Daya sibuk dengan onde-ondenya, maka aku membuat kue talam. Ada tiga jenis kue yang dipesan, onde-onde, kue talam, dan risoles. Jumlah yang dipesan memang cukup banyak, tapi karena sudah terbiasa, aku yakin bisa menyelesaikannya sebelum sore.

"Kayaknya kita butuh satu orang kasir ya," kataku pada Daya saat Karin sedang melayani pembeli di depan. Karena sedang melayani pembeli, dia meninggalkan kue-kue buatannya yang sedang berada di oven.

"Aku ada teman yang lagi cari kerja, Mbak," balas Daya.

"Asal dia jujur dan mau bekerja, boleh kok kamu minta dia ke sini buat bertemu aku," kataku.

Aku telah menyelesaikan kue talamku dan menunggunya matang. Sementara menunggu, aku akan menggoreng risoles yang sudah dibuat kemarin dan disimpan di lemari pendingin.

"Mau makan siang apa nih?" tanyaku sambil mengambil risoles dari lemari pendingin. 

"Ayam bakar yang kemarin enak, Mbak," tukas Daya yang baru mulai menggoreng onde-ondenya.

"Itu aja kali ya," timpalku. Aku kemudian mengambil ponsel dan bermaksud akan memesan makanan untuk makan siang.

Setelah membuka usaha bakery, aku tidak pernah lagi memasak untuk diri sendiri. Waktuku yang tersita di bakery membuatku lebih memilih memesan makanan di luar.

"Mbak sudah pesan makan siang ya? Kok cepat banget." Karin tiba-tiba muncul dengan membawa kantong berisi kotak makanan. Mataku mengernyit sambil menatapnya. Aku bahkan belum membuka ponselku.

"Baru aja mau pesan," ucapku masih dengan wajah bingung.

"Siapa yang antar?" tanyaku kemudian.

"Jasa pesan antar, Mbak," jawab Karin.

"Nggak salah antar?" 

"Nggak, Mbak. Jelas-jelas tadi orangnya bilang pesanan Mbak Gema," ucap Karin yakin. Aku kemudian berjalan mendekat ke arah Karin dan mengambil kantong berisi kotak makanan itu. Ada tiga kotak makanan yang dibawa oleh Karin. Aku masih tidak habis pikir siapa yang mengirimkan makan siang untuk kami ini, apa salah seorang pelanggan bakery ini?

"Sebentar, jangan dimakan dulu. Siapa tahu ada yang kirim pesan di ponselku," kataku sambil membuka ponselku. Tapi nyatanya tidak ada pesan dari siapa pun yang mengatakan mengirim makan siang untuk kami. Hanya ada pesan dari pelanggan yang menanyakan ketersediaan kue.

Keningku kian berkerut dan tidak menemukan petunjuk sedikit pun mengenai siapa yang mengirimkan makan siang itu. Harusnya aku merasa senang karena ada yang berbaik hati, tapi nyatanya aku malah ngeri. Jika tidak ada kejelasan siapa yang mengirimkan, aku jadi khawatir jika ada sesuatu di makanan itu.

"Jangan dimakan deh, kita pesan yang baru aja," kataku akhirnya.

"Tapi sayang, Mbak," ucap Karin dengan wajah sedih.

"Nggak jelas siapa yang kirim. Aku nggak berani makan kalau belum tahu siapa yang kirim," ucapku.

"Kayaknya aman kok, Mbak. Siapa juga yang mau ngeracunin kita," komentar Daya. Aku terdiam sejenak dan memikirkan ucapan Daya. Memang benar sih, siapa juga yang mau meracuni kami. Buat apa juga? Musuh rasanya aku nggak punya karena jarang banget bertemu orang-orang semenjak kesibukanku di bakery.

"Ya sudah deh, makan aja kalau gitu," kataku akhirnya.

"Wah nasi uduk," ujar Karin bersemangat setelah membuka kotak makanannya. Sedangkan aku yang masih dipenuhi rasa cemas mengesampingkan rasa laparku dengan berpura-pura sibuk menggoreng risoles. Sejujurnya aku masih khawatir dan memilih meminum over night oat-ku ketimbang nasi uduk yang aromanya begitu lezat itu.

Ponselku berdenting pelan menandakan ada pesan masuk sesaat setelah aku telah menyalakan kompor dan memanaskan minyak goreng.

Tanganku meraih ponsel dan membuka pesan yang masuk. Pesan dari Aneke, karyawan yang kemarin memesan roti untuk perusahaannya yang tadi pagi aku antar.

Makan siangnya sudah sampai, kan Mbak? Kata Pak Angkasa, itu sebagai ucapan terima kasih karena banyak yang suka dengan kue buatan Mbak.
 
Mataku membesar dan mendadak tidak lagi merasa lapar.(*)

Halo, buat yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya, silahkan mampir ke KaryaKarsa, link ada di profil yaaa ❤️❤️❤️

A Jar of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang