3. Kok Bisa Tahu?

256 70 2
                                    

"Sejak kapan aku suka sama lelaki berumur," balasku sekenanya. Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu tahu pasti berapa usia lelaki itu, tapi yang pasti dia jauh berumur dibanding aku. Mungkin sekitar lima tahun atau lebih di atasku.

"Aku jadi penasaran dengan tetangga baru kita itu," balas Karin sambil terkekeh.

"Kamu memang nggak boleh mendengar kata lelaki ya," cetusku hingga membuat Karin terkekeh. Karin dan Daya sudah bekerja bersamaku semenjak bakery dibuka. Mereka adalah anak kenalan Mama yang tidak melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. Setidaknya dengan adanya Karin dan Daya, aku tidak merasa kesepian. Hanya di malam hari, saat Karin dan Daya telah pulang ke rumah masing-masing, aku baru mulai merasakan kesepian itu.

"Mana alamat kantor yang pesan kue kita itu ya?" tanyaku saat ingat jika aku lupa membawa ponselku yang berisi pesan-pesanku dengan pelanggan. Di situ juga ada pesan yang berisi alamat kantor yang memesan lima puluh roti pagi ini.
 
"Aku hafal alamatnya kok, Mbak," ucap Karin penuh percaya diri. Karin kemudian menyebutkan nama perusahaan asing yang berada di pusat kota Surabaya. Mendengar betapa lancarnya dia menyebutkan nama perusahaan beserta alamatnya membuatku tersenyum senang. Aku jadi tidak perlu berbalik untuk mengambil ponselku lagi.

"Untung aja kamu ingat," pujiku.
 
"Karena Mbak berkali-kali ngucapin nama perusahaannya dari kemarin sampai tadi pagi. Bagaimana mungkin aku nggak ingat," kata Karin sambil terkekeh.

"Nanti setelah Daya kembali, kita mulai bekerja lagi. Ada pesanan kue tradisonal buat acara arisan," kataku mengingatkan.

"Kamu dan Daya bagi pekerjaan aja, mana yang membantuku buat pesanan dan mana yang mengerjakan kue harian untuk di bakery," sambungku.
 
Setiap harinya aku memang telah memiliki jadwal pasti untuk kue yang dijual di bakery. Setiap hari jenis kue selalu berganti sehingga pembeli tidak akan bosan. Dengan jenis-jenis kue yang berbeda-beda juga, aku sendiri tidak bosan saat mengerjakannya.
 
"Kantor yang ini, bukan?" tanyaku memastikan. Kemarin yang mengirimkan pesan untuk memesan kue dari Strawberry Jam adalah salah seorang karyawan perusahaan yang langsung melunasi pembayaran setelah aku menyanggupi pesanannya.

Mataku memandang keluar jendela mobil dan menatap ke arah gedung bertingkat yang ada di hadapanku. Aku kemudian kembali menjalankan mobil dan mulai memasuki area parkir.

"Kita ketemu sama satpam dulu buat kasih tahu ada pesanan," kataku.
 
"Kuenya ditinggal aja dulu," kataku lagi. Karin mengangguk dan mengikutiku keluar dari mobil.

Mungkin karena sudah jam masuk kerja, kantor ini terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang yang aku temui sepanjang perjalanan menuju pos satpam.
 
Langkahku terhenti, sementara mataku menyipit dan menatap ke depanku dengan kening berkerut. Aku merasa tidak asing dengan lelaki yang sedang berbicara dengan salah seorang satpam.

Oh! Dia tetangga baruku! Apa dia bekerja di sini?

Saat langkahku dan Karin semakin mendekat, sosok lelaki tetangga baruku itu menoleh ke arahku. Matanya menatapku dengan sorot mata bingung.
 
Tunggu dulu ..., kenapa aku tidak bisa ingat dengan nama yang disebutkannya padaku tadi?
 
Badai? Sepertinya bukan itu namanya. Awan? Nggak deh. Matahari? Apalagi itu. Duh ... siapa ya tadi?
 
"Oh ... hai, Mas," sapaku dengan rasa canggung yang begitu kentara. Karin yang berada di sebelahku kontan menoleh ke arahku, dia mungkin merasa bingung kenapa aku bisa menyapa lelaki asing itu.

"Pagi Pak, saya mau mengantar pesanan kue," kataku kemudian mengalihkan mata pada satpam yang berada di sebelah tetangga baruku yang sampai saat ini tidak berhasil kuingat namanya. Apa namanya Bintang di langit yang biru? Ah sudah deh! Sepertinya aku nggak akan berhasil mengingat siapa namanya.
 
Aku menyebutkan nama karyawan yang memesan kueku pada satpam dan dia kemudian menelepon seseorang. Sementara si satpam sedang menelepon, mataku mengedar dan entah kenapa malah berhenti di sosok tetangga baruku itu. Aku tidak tahu harus berbasa-basi apa padanya hingga yang kulakukan hanya tersenyum memperlihatkan deretan gigiku. Suasana seperti ini benar-benar membuatku merasa tidak nyaman. Lagian kenapa dia masih tetap berada di sini, seolah sedang menunggu urusanku selesai.

"Boleh dibawa ke sini pesanan kuenya, Mbak," kata satpam padaku setelah dia menyelesaikan telepon. Aku menarik napas lega karena itu artinya aku tidak perlu menunjukkan cengiranku lagi pada tetangga baruku itu.

"Bantuin Mbaknya juga," perintah lelaki itu.

"Baik, Pak," balas si satpam dan dia pun mengikutiku menuju parkiran. Jadi dia menungguku hanya untuk meminta satpam menolongku? Sweet sih, tapi tetap aja aku merasa canggung saat melihatnya.

Untungnya lelaki itu tidak mengikutiku menuju parkiran. Lagian mana mungkin dia mau membantuku membawa kotak-kotak berisi roti ini dengan pakaiannya yang sudah rapi.

"Mbak temannya Pak Angkasa?" tanya satpam itu dan membuatku mengernyit bingung. Oh! Akhirnya! Aku baru ingat jika namanya Angkasa. Aku nggak lupa-lupa banget sama namanya kok. Awan dan angkasa nggak jauh-jauh beda, kan? Matahari juga.

"Eh itu ..., tetangganya," jawabku. 
 
Aku baru bisa menarik napas lega setelah empat kotak besar berisi roti sudah dibawa oleh satpam tadi. Karin yang berada di sebelahku terlihat begitu penasaran dan segera mengajukan pertanyaan padaku sesaat setelah satpam tadi meninggalkan kami.
 
"Jadi ... yang itu tadi tetangga baru kita? Cakep juga ya, Mbak," ucapnya dengan suara yang cukup nyaring. Rasanya ingin sekali aku membungkam mulutnya, bagaimana jika Angkasa mendengar ucapan memalukan Karin ini.

"Iya," jawabku singkat sambil menutup pintu bagasi mobilku.

"Pulang yuk," ajakku berusaha menghentikan Karin agar dia tidak membahas mengenai Angkasa lagi. Ah! Menyebutkan namanya saja sudah membuatku malu. Kali ini aku tidak akan lupa pada namanya lagi.

"Kelihatannya dewasa banget ya, Mbak," cerocos Karin lagi. Aku mendesis kesal melirik ke arah Karin yang sedang berbicara sambil menerawang. Oh astaga! Jangan bilang jika gadis itu menyukai Angkasa di pertemuan pertamanya.

"Iya, cocok banget jadi ayah angkat kamu," balasku dan membuat Karin tersenyum masam.

"Kalau kamu masih di situ juga, aku bakal tinggalin kamu loh," ancamku agar Karin segera masuk ke mobil. Dia nyengir dan membuka pintu mobil.
 
"Gema ...." Suara seseorang terdengar memanggilku dan membuatku membatalkan niat untuk masuk ke mobil.

"Oh ... ada apa, Mas?" tanyaku kaget karena ternyata yang memanggilku adalah Angkasa. Entah sejak kapan lelaki itu berdiri di belakangku, aku hanya bisa berharap dia tidak mendengar pembicaraanku dengan Karin tadi.

"Apa kuenya ada yang kurang?" tanyaku cemas.

"Bukan, nggak ada hubungannya dengan kue pesanan tadi. Aku cuma mau membayar kue yang tadi pagi kamu berikan padaku," jawabnya. Aku terdiam dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Apa dia tidak memahami ucapanku tadi pagi?

"Nggak, Mas. Kue itu gratis buat Mas kok," tolakku saat dia mulai membuka dompetnya.

"Jangan ditolak, aku nggak akan datang ke bakery-mu jika kamu menolak uang ini," katanya kemudian. Oke, karena aku sedang malas berdebat, akhirnya aku menerima selembar uang seratus ribuan darinya. Lelaki ini aneh banget, mana ada tiga potong roti dihargai dengan uang seratus ribuan.

"Kembaliannya nanti ya, Mas," kataku karena memang saat ini aku tidak membawa uang sedikit pun.
 
"Oh ... nggak apa-apa. Sisanya buat beli kua besok lagi," balasnya. Aku melebarkan senyumku saat mendengar ucapannya, lumayan bisa dapat pelanggan baru. Tak lama Angkasa pun beranjak dari hadapanku.
 
Sebentar .... Rasanya tadi pagi aku belum mengenalkan namaku padanya, kenapa lelaki ini bisa memanggil namaku dengan benar?(*)

A Jar of MemoriesWhere stories live. Discover now