2. Ternyata Bukan

300 71 0
                                    

Aku merasa kesulitan untuk bernapas saat sosok yang sedang membuka pagar itu mengangkat wajah dan menatap ke arahku. Aku pasti sudah tidak waras sampai berharap jika sosok yang sedang menatapku dengan kening berkerut itu adalah dia.

"Selamat pagi," sapa lelaki itu sambil menyunggingkan senyumnya. Hanya sekilas tapi membuatku yakin jika dia bukanlah sosok yang selama ini aku tunggu. 

"Ah ... selamat pagi," balasku canggung. Dengan mata membesar dan mulut melongo, wajahku pasti sangat tidak enak dilihat. Lagi pula apa yang aku harapkan setelah belasan tahun berlalu, tidak mungkin dia kembali datang dan menempati rumah itu.

Lelaki berkemeja biru tua dan berdasi itu kemudian mulai mengunci pagarnya, dia terlihat seperti seorang pekerja kantoran yang akan berangkat kerja. Sesaat aku menertawakan diriku di dalam hati, harusnya tanpa perlu menatapnya dengan saksama saja, aku sudah tahu jika lelaki itu bukan dia, wajah keduanya sangat berbeda dan dari jika aku boleh menebak, usia lelaki ini jauh di atas usiaku. Dia terlihat dewasa dan matang.

Matang? Istilah apa ini? Apa aku sedang membayangkan rotiku yang baru matang?

"Perkenalkan, aku Angkasa," ucapnya yang saat ini telah berdiri di depan rumahku, sedikit lagi akan memasuki teras rumah. Angkasa. Aku mengeja namanya di dalam hati dan kembali memaki diriku sendiri. Namanya saja berbeda, bagaimana bisa tadi aku menyangka jika lelaki yang bernama Angkasa ini adalah dia.

"Ka-kamu, ah ... itu, Mas baru tinggal di rumah depan itu?" tanyaku terbata. Menyebalkan, hanya memikirkan panggilan untuknya saja malah membuatku seperti orang yang salah tingkah.

"Iya, aku baru pindah kemarin," jawabnya. Keningku berkerut saat mendengar jawabannya. Aku bahkan tidak tahu jika kemarin dia telah menempati rumah itu. Walaupun telah belasan tahun kosong, tapi setiap bulan, rumah itu selalu rutin dibersihkan. Mungkin hal itu yang membuat keadaan rumah tidak terlihat menyeramkan walaupun telah lama tidak ditempati.

"Aku harus ke kantor sekarang," katanya kemudian padahal aku sendiri belum mengenalkan namaku padanya. Mungkin bagi lelaki ini, perkenalannya hanya sekadar basa-basi yang tidak terlalu penting. Aku membalas ucapannya dengan sebuah anggukan karena sebenarnya merasa canggung saat harus berbasa-basi dengannya.

"Apa sepagi ini sudah ada kue yang bisa kubeli untuk sarapan?" tanyanya tiba-tiba di saat aku mengira dia sudah akan beranjak meninggalkanku. Matanya mengarah pada plang yang bertuliskan nama bakery, seolah ingin mengatakan jika dia baru tahu di sini adalah sebuah bakery.

"Maaf, Mas. Kebetulan sekali pagi ini sudah ada pelanggan yang memesan kue dalam jumlah cukup banyak. Tapi aku masih punya beberapa potong roti untuk sarapan," ucapku sambil tersenyum.

"Tunggu sebentar," kataku lagi dan bergegas masuk ke rumah. Aku mengambil beberapa potong roti yang memang dibuat lebih dari jumlah pesanan pagi ini. Tiga potong roti itu kemudian kumasukkan ke dalam kantong kertas.

"Anggap saja sebagai kue perkenalan untuk tetangga baru," kataku sambil memberikan kantong itu padanya. 

"Aku akan membayar semua ini nanti sore," ucapnya.

"Ini gratis untuk tetangga baru," kataku mengulang apa yang aku ucapkan padanya tadi. Tidak ada tanggapan apa pun darinya, bahkan ucapan terima kasih saja tidak terdengar olehku. Lelaki yang bernama Angkasa itu kemudian bergegas meninggalkanku setelah menerima roti pemberianku.

Aku hanya bisa tersenyum masam melihat kepergiannya. Padahal aku telah bersikap ramah padanya karena mengerti bagaimana rasanya menjadi penghuni baru di sebuah perumahan. Anggap saja lelaki itu sedang tergesa sampai tidak sempat mengucapkan satu patah kata pun.

Tidak ingin memikirkan keanehan tetangga baruku lebih lanjut, aku pun bergegas masuk ke rumah untuk melihat keadaan Daya dan Karin yang mungkin sudah mulai membungkus roti pesanan.

"Sudah hampir beres, Mbak," ujar Daya padaku. Wajah Daya dan Karin terlihat begitu bersemangat, hal yang membuatku ikut bersemangat juga. Aku mendekat dan mulai membantu mereka.

"Rumah depan sudah ada penghuninya loh," kataku membuka gosip seputar tetangga.

"Lelaki," sambungku karena aku yakin Dayu atau Karin pasti akan mengajukan pertanyaan itu.

"Ganteng nggak Mbak?" tanya Karin malu-malu.

"Ganteng, tapi terlalu matang buat kamu," jawabku sambil tertawa.

"Oh ..., bawa keluarganya ya, Mbak?" timpal Daya.

"Kayaknya sih nggak, mungkin keluarganya nggak di kota ini," sahutku memikirkan jika lelaki seusia tetangga baruku itu sepertinya sudah berkeluarga. Dia mungkin malah sudah memiliki beberapa orang anak.

"Yah, nggak seru kalau bukan lelaki lajang," ucap Karin sambil terkekeh.

"Daripada sama suami orang, mendingan sama Mas satpam yang hobi godain kamu itu aja," ledek Daya dan keduanya pun tertawa dengan kerasnya.

"Nanti siapa yang mau ikut aku antarin pesanan roti ini?" tanyaku setelah roti terakhir masuk ke dalam bungkusan.

"Aku aja, Mbak. Daya bukannya hari ini bertugas buat belanja?" kata Karin. Karena ada pesanan kue tradisional untuk siang ini dan juga stok bahan baku sudah mulai menipis, aku memang meminta Daya untuk berbelanja bahan baku bakery pagi ini.

Aku dan Karin kemudian segera menata roti yang sudah dikemas ke dalam kotak besar agar mudah dibawa sedangkan Daya sudah berangkat ke pasar dengan membawa catatan untuk berbelanja. Walaupun kadang aku merasa bakery ini kekurangan karyawan, tapi setidaknya kehadiran Daya dan Karin sudah cukup membuatku merasa terbantu.

Setelah semua pesanan roti telah masuk ke bagasi mobil, aku mengeluarkan mobil peninggalan Papa itu dari garasi. Mobil milik mendiang Papa ini juga salah satu hal yang selalu memudahkan pekerjaanku. Aku merasa bersyukur tidak perlu mengeluarkan modal yang terlalu besar saat memutuskan membuka bakery ini.

"Pantasan minggu kemarin ada yang datang ke rumah depan itu, Mbak. Aku kira orang yang biasa membersihkan rumah," kata Karin dengan mata mengarah pada rumah yang berada di depanku. Aku menahan senyum karena ternyata bukan hanya aku yang selalu memperhatikan rumah di hadapanku, ternyata Karin juga sering melakukannya.

Jika aku melakukannya karena rasa rindu yang seharusnya sudah hilang sejak bertahun-tahun yang lalu, sedangkan Karin melakukannya pasti karena rasa penasarannya akan rumah yang selama bertahun-tahun ini selalu tidak berpenghuni.

Tiba-tiba saja sesuatu terlintas di pikiranku saat ingat bagaimana caranya tetangga baruku itu bisa tinggal di rumah yang sudah lama tidak berpenghuni itu. Apa itu artinya jika dia mengenal pemilik rumah itu? Atau mungkin saja pernah bertemu dengan pemilik rumah karena akan menyewa rumah itu. 

Oh tidak ..., jangan lagi. Memikirkan hal itu saja membuatku berdebar. Apa aku boleh mengetahui dari tetangga baruku itu bagaimana kabar pemilik rumah yang ditempatinya sekarang? Karena selama ini jika aku bertanya pada orang-orang yang diberi kepercayaan untuk membersihkan rumah itu secara rutin, aku tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan.

"Mbak kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Karin bersamaan dengan pintu mobilku yang ditutup olehnya. Matanya mengerjap dan menatapku dengan wajah bingung.

"Jangan bilang kalau Mbak naksir tetangga baru kita itu sampai senyum-senyum sendiri," tebaknya asal dan kontan membuatku menatapnya dengan mata membesar.(*)

A Jar of MemoriesWhere stories live. Discover now