1. Apakah Dia?

1.1K 128 0
                                    

Aku pernah merindukan seseorang hingga hidupku terasa penuh kebingungan karena seperti tidak ada lagi cara untuk menyembuhkannya. Oh bukan pernah, tapi hingga saat ini masih saja merindukan sosoknya. Rindu yang terasa aneh karena aku sendiri tidak tahu kapan rasa rindu itu akan berakhir.

Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri jika apa yang kurasakan ibarat aliran air tanpa muara, terus melaju tanpa ada akhirnya. Aku benci dengan rasa rindu yang begitu menyakitkan ini, bukan rindu yang terasa menyenangkan untuk diingat.

Ada kekosongan yang kurasakan setiap rasa rindu itu datang. Padahal harusnya rindu itu bisa kurasakan dengan perasaan riang sambil menahan debar di dadaku yang kian menggila. Tidak ..., bukan rindu seperti itu yang kurasakan. 

Rindu ini terasa menyakitkan hingga aku tidak ingin merasakannya lagi. Rasa kosong berpadu dengan rasa yang begitu menyakitkan.

Beberapa tahun yang lalu, aku masih berharap jika suatu hari nanti rasa rindu ini bisa terbalas, jika ada balasan setimpal atas kerinduan yang aku rasakan. Tapi nyatanya hingga hari terus berganti, semuanya masih saja sama, tidak ada yang peduli dengan rasa rindu yang tiap saat terasa begitu berat bagiku.

Rasanya aku begitu menyedihkan.

Lihat saja kebodohan yang aku lakukan setiap melewati jalan yang pernah kami lalui, aku akan terdiam dengan tatapan mata kosong sambil merasakan dadaku yang terasa sesak. Sesungguhnya aku benci dengan rasa rindu yang tak kunjung berakhir ini.

Apakah kerinduan ini sepadan? Apa boleh aku terus berharap jika suatu saat nanti rasa rinduku akan terbalas?

Aku merindukannya seperti orang yang tidak waras, tapi entah bagaimana yang dia rasakan di sana. Aku masih ingat dengan jelas jika jari kami pernah saling bertaut dan mengatakan janji-janji manis jika suatu saat nanti dia pasti akan datang menemuiku. Memang sudah lama berlalu dan aku masih tetap percaya akan janji yang pernah diucapkannya, janji yang diucapkan oleh sepasang remaja yang seharusnya belum mengenal akan rasa rindu.

Di saat pikiran warasku datang, aku pasti akan menertawakan diriku sendiri. Bagaimana bisa perpisahan di masa remajaku membuatku seperti seorang gadis yang begitu merindukan kekasihnya? 

Sudah belasan tahun berlalu dan aku yang menyedihkan ini masih berharap jika sosok remaja itu akan menjelma menjadi lelaki dewasa yang menyapaku dengan penuh kehangatan. Terlalu lama larut dalam kerinduan yang tidak nyata itu malah membuatku seolah terus terperangkap di dalam ilusiku sendiri.

Rasa benciku pada kerinduan yang begitu menyakitkan ini sama besarnya dengan keinginanku untuk kembali bertemu dengannya. Bagaimana rupanya setelah belasan tahun berlalu? Apa dia masih mengingatku dan apa janji itu masih akan terus diingatnya? Janji untuk akan kembali menemuiku lagi.

Aku membuang napas kesal sambil mengarahkan mataku pada langit pagi ini yang berwarna begitu indah, padahal pagi baru saja menjelang dan angin pagi terasa berembus dengan sejuknya. Warna jingga kebiruannya membuat perasaanku begitu hangat, apalagi dengan aroma manis roti yang menguar di pernapasanku. Aku tersenyum senang sambil membawa langkahku menuju deretan oven yang berada di ruang belakang.

Hanya dengan menghirup aroma manisnya roti dan melihat begitu cantiknya roti-roti itu berada di pemanggangan, perasaanku bisa sedikit lebih baik. Aroma manis roti ibarat penghibur buatku yang selalu terbawa oleh suasana hatiku yang tidak menentu.

Pagi-pagi sekali, aku sudah berkutat dengan adonan tepung dan ragi. Ada pesanan lima puluh roti untuk pagi ini dan membuatku begitu bersemangat untuk bangun di pagi hari. Hanya dengan menyaksikan adonan yang mulai mengembang dan berwarna kecoklatan itu saja bisa membuatku tersenyum senang.

Setelah memastikan seluruh adonan roti yang masuk ke pemanggangan terlihat sempurna, aku pun mulai membuka satu demi satu jendela rumah ini. Tempat favoritku tentu bagian belakang rumah yang bisa melihat dengan jelas matahari yang baru saja terbit. Berkas cahayanya terasa hangat saat mengenai wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam hingga paru-paruku terasa penuh oleh udara pagi yang berbaur dengan aroma roti dari pemanggangan.

Rumah ini dan segala kenangannya selalu terasa hangat buatku, sehangat udara rumah ini di pagi hari karena dari subuh tadi, aku sudah mulai menyalakan beberapa deret oven yang berada di dapur.

Setelah kepergian Papa beberapa tahun yang lalu dan menyusul Mama setahun yang lalu, aku memutuskan untuk menjadikan kediaman mereka ini menjadi bakery kecil-kecilan. Hanya ada tiga orang yang bekerja di bakery ini, termasuk aku sendiri. Setiap hari aku akan menentukan jenis kue apa yang akan aku buat, melakukan promosi di media sosial dan juga berusaha menemukan ide-ide baru untuk membuat kue-kue buatanku terlihat lebih menarik.

Aku sangat menyukai apa pun yang berhubungan dengan kue, termasuk memakannya. Rasa manis berpadu dengan aromanya yang begitu memenangkan selalu berhasil membuatku melupakan keresahan yang sedang terjadi padaku. Tidak ada yang terbaik selain menghirup aroma kue yang baru keluar dari pemanggangan di pagi hari, apalagi ditemani dengan secangkir teh hangat yang beraroma vanila.

Dan itulah yang sedang aku lakukan di pagi hari ini. Ada satu cetakan roti yang terlebih dahulu masuk ke pemanggangan dan saat ini telah matang dengan sempurna. Satu cetakan roti itu memang sengaja aku sisihkan untuk dinikmati bersama para pekerja bakery yang lainnya.

Sambil menunggu roti yang akan matang dalam waktu beberapa belas menit lagi, aku pun menarik kursi teras dan duduk menghadap jalan kecil perumahanku. Walaupun terletak di dalam perumahan, bakery-ku tidak pernah sepi oleh pembeli.

Aku membelah roti yang masih mengepulkan uap panas dan meniup-niupnya. Roti memang paling enak dimakan selagi hangat, tidak perlu olesan selai ataupun mentega, cukup roti polos seperti ini saja, sudah terasa lezat di lidah.

Aku tersenyum senang saat satu potong roti telah masuk ke mulutku. Roti yang lembut itu seperti lumer di mulutku, rasa manisnya yang pas dan teksturnya yang membuatku ketagihan. Sepertinya segelas teh hangat ini tidak cukup untuk menemaniku menikmati roti buatanku.

"Mbak Gema, semua rotinya sudah aku keluarkan dari oven. Apa sudah boleh dioles dengan mentega?" tanya Daya, salah seorang karyawan bakery ini.

"Boleh, oles saja selagi hangat," balasku. Aku kemudian menawarkan roti yang sedang aku nikmati pada Daya dan memintanya untuk memberikan pada Karin, karyawan bakery yang lainnya.

"Roti buatan Mbak Gema memang nggak ada tandingannya," pujinya dengan mulut penuh roti hingga aku tidak bisa menahan tawaku.

Setelah Daya kembali masuk, mataku kemudian menatap pada plang berukuran sedang yang terpasang tepat di depan rumah. Plang berwarna merah itu sebagai penanda jika di sini ada sebuah bakery. Strawberry Jam, aku mengeja namanya di dalam hati dan entah kenapa malah tersenyum saat membacanya.

Sudah cukup secangkir teh hangat yang aku habiskan untuk pagi hari ini. Aku pun segera beranjak dengan membawa cangkir dan nampan kosong agar bisa segera membantu Daya dan Karin membungkus roti pesanan pelanggan. 

Langkahku terhenti saat terdengar derit pagar yang terbuka perlahan. Napasku terhenti dan mataku kontan mengarah pada rumah yang berada tepat di hadapanku, rumah yang sudah selama belasan tahun ini tidak berpenghuni.

Mataku memicing dan terus menatap sosok yang baru saja membuka pagar itu. Apa dia sosok yang selama ini aku rindukan?(*)

A Jar of MemoriesWhere stories live. Discover now