Seorang Yang Kalah

4 1 0
                                    

"Sebuah pesta perkawinan yang spektakuler dan mengejutkan. Pengantin wanita itu, ia telah merubah nasib seorang dokter muda, seorang anak desa".

"Aku tak tahu, apa yang terjadi, mengapa tiba-tiba Ardana menikah dengan Nila? Bukankah semua orang tahu, bahwa calon istrinya adalah Gayatri?"

"Nila telah mempersiapkan semuanya, siapa yang dapat melawan cinta sekaligus harta?"

Tiba-tiba percakapan itu menghilang, para pemilik suara bubar, Gayatri mendapatkan tatapan aneh dari seisi kampus. Di setiap sudut di kampus ini orang masih hangat membicarakan perkawinan itu. Gayatri merasa sakit pada sepasang telinga. Ia tak bisa menutup mulut itu supaya berhenti bicara. Ia telah menjadi objek dalam setiap pembicaraan orang-orang di sekitarnya. Benar, ia bukanlah apa-apa.

Gayatri menyudahi seluruh urusan di kampus kemudian kembali ke rumah. Dokter itu merebahkan diri di pembaringan, memejamkan mata. Satu-satunya cara efektif untuk meredakan kelelahan psikis adalah tidur. Ia telah kehilangan begitu banyak hal penting dalam hidup, karena perkawinan itu. Sebelum pesta megah itu terjadi, Gayatri ibarat bunga mekar dengan keharuman dan sensasi, semua orang menyayangi dan menghormati. Ia selalu melangkah dengan keyakinan diri, terlebih setelah sumpah diucapkan. Ia telah meraih sebuah prestasi dan bersiap meniti karir, sampai undangan yang wangi itu jatuh ke tangan dan merubah penampilannya. Ia hanyalah seorang yang kalah dan kini hangat sebagai bahan pembicaraan. Sekarang Gayatri mengerti, bahwa dalam hidup ini hanya ada tempat untuk orang yang menang dan kuat, ia tersisih jauh ke tepian dalam sebuah perkawinan agung, karena tidak terpilih. Ia merasa menjadi lemah, hancur berkeping-keping tak berbentuk. Tak ada tempat untuk meminta kasihan, tak ada tempat untuk membangun kembali kekuatan. Dulu, ia akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkeluh kesah dengan Nilasari saat gelisah. Kini tempat itu telah runtuh, ia tak dapat dan tak akan pernah lagi dapat mengenali. Waktu terus berjalan, merubah segala sesuatu dengan cepat. Kepala Gayatri terasa semakin berat. Gadis itu pun tertidur.

Di luar gerimis turun dalam rinai yang luruh ke bumi, memantulkan suara alam. Tanah dan dedaunan kembali basah, udara dingin dan segar, langit gelap tanpa cahaya. Suasana rumah tetap sunyi, Gayatri masih terlelap. Gadis itu terbangun dalam udara dingin yang menggigit pori-pori, ia menarik selimut tebal hingga ke batas bahu. Hanya ada satu tempat berlindung, yaitu suasana di dalam kamar yang amat dikenali. Ruangan mungil dengan lantai putih, tempat tidur yang nyaman, meja belajar dengan seperangkat computer, meja rias, sehelai karpet dengan motif kupu-kupu, selebihnya pernik-pernik manis pada permukaan dinding.

Tiba-tiba Gayatri menjadi takut dengan suasana di luar rumah, ia seakan ingin menghilang dari dunia luar untuk mendapatkan kehidupan pribadi tanpa ada orang yang pernah mengenali. Pikiran dokter itu bekerja, mencari jalan keluar. Tanpa sengaja mata Gayatri menatap foto masa kanak-kanak dalam bingkai cantik di dinding, wajahny masih polos tanpa beban, tanpa persoalan, tanpa sahabat yang berbalik menjadi musuh dan meruntuhkan seluruh harapannya. Pikiran dokter itu masih terus bekerja, ingatannya melayang pada situasi masa kanak-kanak, ketika ia terobsesi akan kehidupan di tempat yang jauh dari sebuah buku cerita: Genderang Perang dari Wamena.

Gayatri seolah menatap lembah hijau dengan benteng barisan bukit berlapis-lapis, kabut tebal bergulung-gulung seakan mistery yang tak pernah tersingkap, suku bangsa yang bertahan dalam sisa kehidupan terdahulu, dan sebuah petualangan. Gadis itu juga teringat dengan rencana untuk menjadi pegawai tidak tetap di wilayah timur Indonesia, sebuah tempat yang belum pernah sekalipun dikunjungi. Mengapa ia tak melakukan sesuatu untuk keluar dari persoalan ini?

Keesokan harinya ketika duduk di meja makan Gayatri telah sampai pada sebuah keputusan."Saya harus mengambil tugas pegawai tidak tetap untuk memulai karir, tak bisa saya terus berdiam diri dalam situasi seperti ini", Gayatri membuka pembicaraan.

"Itu bagus, engkau adalah seorang dokter berbakat". Kadarisman, ayah Gayatri menanggapi. Laki-laki itu tahu persis suasana hati anaknya, meskipun mereka tak pernah berbicara secara langsung, ia terlalu sibuk dengan tugas rutin pada sebuah penerbitan sehingga persoalan anak-anak cenderung ditangani Alya, istrinya.

"Saya pernah berencana untuk mengambil tugas pegawai tidak tetap di wilayah timur, saya kira rencana itu akan saya teruskan".

"Kemana Gay?" Alya, ibunya tampak mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk bulan sabit, wanita itu tampak menerka-nerka jalan pikiran anaknya.

"Ke Wamena".

Jawaban itu terlalu singkat, tapi Gayatri segera mendengar ibunya tersedak kemudian terbatuk-batuk, ayahnya meletakkan sendok dan garpu secara tiba-tiba, adiknya memandang bengong seolah tak percaya. "Saya sudah memutuskan, surat-surat akan diproses, itu tidak susah, karena saya sudah membaca peluang yang ada. Untuk sementara saya tidak mungkin bertahan di tempat ini, tugas pegawai tidak tetap bukan untuk selamanya. Bapak dan ibu tahu keadaan saya. Saya ingin melihat dunia luar", Gayatri memberi penjelasan dengan tenang. Ia tahu keputusannya akan menjadi persoalan besar dalam keluarga ini. Sejak terlahir ia selalu berada di tempat ini, ia tak pernah lagi pergi kemana pun, kecuali tugas lapangan atau pergi berlibur. Ia selalu terikat dengan tempat kelahirannya, tapi surat undangan itu membuat tanah yang dipijak seolah menjadi bara, dan ia tak mampu berpijak lebih lama.

"Tempat itu jauh sekali sayangku....", Alya mencoba membujuk, tapi jauh dalam hati kecil ia tahu, gadisnya telah menjadi seorang dokter yang keras kepala. Tipis kemungkinan untuk dapat membatalkan rencananya. Seandainya ia telah menikah dan berangkat dengan seorang suami yang mampu mendampingi.

"Engkau belum pernah sekali pun pergi ke tempat itu", Kadarisman menimpali. Ia tak bisa membedakan, mana yang lebih berat, antara keterkejutan terhadap rencana itu atau kecemasan terhadap reaksi Alya yang tak akan mampu berpisah dengan anaknya.

"Saya mohon doa restu. Apabila terus menetap di tempat ini, saya bahkan tak dapat mengerjakan apa-apa lagi dan hal itu berarti saya mati!" pandangan Gayatri membeku, keputusan itu sudah bulat, ia ingin pergi ke tempat yang jauh dan sunyi untuk sebuah kehidupan baru.

Alya menatap Gayatri berlama-lama, ia tahu gadisnya telah sampai pada keputusan yang tak dapat dirubah. Wanita itu tak menghabiskan sarapan, ia segera meninggalkan meja makan. Kontrol dirinya tetap berjalan, ia tak ingin menumpahkan air mata di depan anak-anaknya.

"Bagaimana nanti kami dapat mengunjungimu? Bagaimana nanti bapak harus selalu menghibur ibumu? Urip iki ming mampir ngombe, hidup ini hanya sekedar menumpang minum. Bersabarlah", Kadarisman tak dapat menyembunyikan kecemasan.

"Benar bapak, hidup ini hanya sekedar menumpang minum, tapi yang namanya menumpang minum, dalam situasi tertentu ternyata bisa menjadi lama sekali. Tugas pegawai tidak tetap ke Wamena bukan berarti saya telah kehilangan kesabaran. Saya harus menyelamatkan hidup saya. Semua orang di kota ini seakan terus membicarakan saya, karena Ardana menikahi orang lain, dan orang itu adalah sahabat saya sendiri. Saya tak dapat membungkam mulut mereka, mungkin juga semua salah saya. Perkawinan itu terjadi, tepat ketika saya sedang merencanakannya. Saya meninggalkan tempat ini bukan karena lari dari kenyataan hidup, tapi sudah sejak lama, sebelum mengenal Ardana saya memang sudah ingin pergi ke sana. Saya pergi bukan karena dikhianati, tapi karena cita-cita. Kebetulan saja situasinya seperti ini".

"Gay...."

"Saya mohon bapak".

Kemudian suasana di dalam rumah mungil yang cantik itu segera berubah menjadi sunyi, karena seorang penghuni memutuskan untuk pergi.

SALI - Kisah Perempuan Suku DaniWhere stories live. Discover now