Lapina

177 20 24
                                    

Menjelang gelap Liwa baru terjaga, cahaya redup di balik mendung yang sebentar lagi akan berubah menjadi kehitaman seakan pertanda, betapa muram hari esok gadis kecil itu. Di luar kesunyian mengungkung seisi lembah. Angin berhembus menebarkan suasana beku, mematahkan ranting-ranting kering. Tak berapa lama kemudian hujan pun turun. Seluruh isi silimo segera berlindung di dalam honai masin-masing. Lapina tinggal berdua dengan Liwa di dalam honai perempuan, wanita muda itu mengulurkan ubi manis yang telah dibakar kepada Liwa.

"Makanlah, seharian ini engkau belum makan apa-apa". Semula Liwa menolak pemberian itu, tapi Lapina terus membujuknya. Liwa menerima pemberian ubi itu dengan lemah. Tiba-tiba perutnya terasa lapar, ketika ia melihat bahwa Lapina tengah memejamkan mata, maka Liwa segera mengunyah ubi manis itu dengan rakus. "Air Lapina, aku haus sekali", Liwa merengek, Lapina segera menyerahkan kantung air, sehingga bocah kecil itu pun terdiam sudah.

Keesokan harinya Liwa hanya dapat berbaring dan berbaring, ia tak mampu berdiri. Rasa sedih telah melumpuhkan kekuatan gadis kecil itu, ia tak mampu berbuat apa-apa, kecuali menatap langit-langit honai dengan muram. Lapina selalu menjaga setelah pulang dari kebun. Kugara menjenguk Liwa di dalam honai, tetapi laki-laki itu tak dapat berbuat apa-apa, ia terlalu bingung dengan dirinya sendiri. Sementara keadaan Liwa berangsur-angsur membaik, Lapina terus menjaga dan menyediakan makanan bagi Liwa, sehingga bocah itu mendapatkan kembali kesehatannya.

Setelah keadaan Liwa pulih, Lapina membawa gadis itu ke kebun."Kau ikut saya ke kebun kah?" demikian Liwa membujuk. Liwa tak segera menanggapi, matanya yang bening menatap lurus ke wajah Lapina seolah mencoba memperoleh kepastian. Ketika naluri kebocahan Liwa mendapatkan isyarat ketulusan hati pada tatatapan Lapina, maka gadis kecil itu menganggukkan kepalanya, "Baiklah, aku ikut denganmu", keduanya kemudian berjalan beriringan menuju kebun milik kerabat yang terletak tak jauh dari silimo, melewati jalan setapak. Di seputar jalan kecil itu adalah belukar, selebihnya rimbun belantara yang belum dijamah.

Liwa melangkahkan kaki dalam diam, ia merasa ada sesuatu yang aneh di seputar tempat tinggalnya. Semak belukar dan hijau belantara adalah suatu hal yang biasa, demikian juga dengan suasana sunyi yang terpecah oleh suara binatang hutan. Suasana ini telah menyatu dalam hidupnya. Tetapi Liwa merasa seolah-olah hutan ini menjadi lebih sunyi, ia tak sedang berjalan dengan wanita yang telah melahirkan kemudian membesarkan, tetapi dengan wanita yang menjadi saudara Aburah

"Ayo cepat sedikit", Lapina menarik tangan Liwa, ia dapat merasakan duka pada hati gadis kecil itu. Secara adat, maka ialah yang bertanggung jawab atasnya. "Itu kebun sudah tampak, engkau bisa bermain-main di sana", telunjuk Lapina menunding ke depan. Pandangan Liwa mengikuti arah telunjuk Lapina dan gadis kecil itu pun tersenyum.

Di langit sebelah timur, cahaya matahari masih condong kekuning-kuningan. Kabut putih melambai seakan tirai sutera yang tersibak oleh kearifan semesta. Selebihnya adalah hijau pepohonan yang mengurung lembah dengan barisan perbukitan. Lapina dan Liwa melompati pintu kebun dengan hati-hati dan mereka segera berhadapan dengan berjeis-jenis sayur yang terawat rapi. Di sekeliling kebun dalah pagar rendah dengan perlindungan humus pada atasnya. Kebun-kebun harus selalu dilindungi dengan pagar. Tanpa pagar pelindung, maka hantu dan roh jahat akan datang mengganggu, sehingga tanaman di dalam kebun itu akan kecil atau mati sama sekali.

Lapina segera meletakkan noken dan mulai bekerja merawat tanaman seperti hari-hari yang telah lalu. Wanita muda itu megenakan sali yang masih baru tanpa penutup dada, sehingga sepasang bukit kembar itu tampak telanjang, seakan sebuah tantangan ketika menjadi berkilat-kilat oleh keringat. Wajah Lapina masih sangat muda, ia belum sepenuhnya terjamah oleh kekerasan hidup. Sementara Liwa hanya duduk berdiam diri di bawah rindang sebatang pohon, ia tak melakukan apa-apa kecuali duduk mematung tanpa kehendak. Kabut seolah menutup paras bocah tak berdosa itu.

Liwa mulai bergerak ketika ia melihat seekor kupu-kupu berwarna ungu dengan titik-titik kuning pada sayapnya, hinggap pada kelopak setangkai bunga liar. Liwa tertarik untuk menangkapnya, tetapi kupu-kupu itu segera terbang menghindar. Liwa terus mengejarnya, tetapi kupu-kupu itu segera mengepakkan sayapnya dengan elok, menjauh dari jangkauan tangan kecil Liwa. Bocah itu menjadi gemas, ia terus memburu tanpa jemu, hingga kupu-kupu itu membumbung pada sebuah dahan yang tinggi. Tiba-tiba Liwa merasa lapar, sementara matahari semakin tinggi dan bocah kecil tu merasa lelah. Dari kejauhan Lapina sesekali memperhatikan ulah Liwa sambil terus bekerja. Ia merasa senang, ketika Liwa tampak asyik mengejar kupu-kupu, melupakan sejenak kedukaannya.

"Lapina, saya lapar!" Liwa berteriak dari kejauhan, teriakan itu menyadarkan Lapina akan kelelahannya. Wanita muda itu mengusap peluh, meneruskan pekerjaan sejenak, kemudian segera menjelang Liwa dengan pisang, pepaya, dan ubi manis di tangan.

Angin semilir ketika kedua orang itu menyantap hasil kebun. Tetapi pepaya dan pisang tak cukup mengenyangkan, sehingga Lapina harus menyalakan api untuk membakar ubi manis itu masak di dalam abu panas. Ia pun kembali bekerja hingga matahari terik dan tergelincir perlahan di langit sebelah barat.

Akhirnya Lapina telah mengisi berjenis-jenis hasil kebun di dalam noken. Ia merasa lelah tiada terkira dan segera duduk beristirahat di dekat Liwa. Ubi manis telah masak dalam abu panas, Liwa tampak benar-benar rakus menyantapnya. Ia menjadi kenyang setelah meneguk air dari kantung dari labu, demikian pula dengan Lapina. "Aku ingin bermain air Lapina", Liwa memohon.

"Ayo, saya pun harus mencuci ubi manis ini", Lapina mengemasi isi noken, meletakkan tali noken di kepalanya, sehingga seluruh bobot noken memberat di punggungnya. Keduanya meninggalkan kebun, menuju anak sungai yang tak jauh dari silimo.

Liwa segera tertawa girang ketika mendengar suara gemercik air sungai. Ia menanggalkan noken dan segera meloncat ke dalam air dengan suara berdebur. Anak kecil itu bermain air sambil membersihkan seluruh daki di badan dengan sebaik-baiknya, sehingga tubuhnya terasa segar. Sementara Lapina segera mencuci seluruh hasil kebun, ubi manis itu pun berubah warna menjadi putih cemerlang. Matahari terik, sedangkan air sungai itu sejuk dan segar. Entah berapa lama Liwa dan Lapina bersenang-senang dengan air sungai, tetapi tiba-tiba senja telah turun dalam warna jingga. Pelangi melengkung dalam tujuh warna maya, seolah selendang bidadari yang tersangkut di antara gumpalan mega dan pepohonan. Liwa telah mengenakan kembali Sali, ia tengah memetik bung-bunga kertas yang tumbuh bebas di antara semak belukar. Bunga itu ada yang berwarna ungu, kuning, jingga, dan merah muda dengan putik sari kuning keputih putihan. Bunga yang tengah kuncup akan digantung supaya mekar dalam kelopak-kelopak cantik abadi. Orang-orang Dani ada yang menyebut bunga kertas itu sebagai bunga seribu hari, karena bunga itu tak pernah layu bahkan setelah berhari-hari mekar.

"Hari hampir gelap, cepat pulang, nanti roh jahat datang mengganggu anak kecil dan kau dapat sakit", Lapina bersiap pulang.

"Tunggu sebentar Lapina, saya hendak memetik bunga yang ada di sana", Liwa menyanggah sambail melangkah menuju bunga kertas yang terletak agak jauh di tepi jurang. Tapi Lapina segera menarik tangan gadis kecil itu dan membawanya kembali ke silimo. Ia sungguh takut akan kegelapan sebagai sumber muasal hantu dan roh jahat yang dapat mencelakai bocah-bocah.

"Saya mau bunga kertas itu", Liwa masih mencoba memberikan perlawanan.
"Tidakah kau lihat, gelap akan segera datang. Di dalam gelap hantu-hantu akan berkeliaran. Mereka senang anak-anak yang masih kecil, ayo cepat pulang", Lapina mempercepat langkah. Kali ini Liwa tak lagi melawan, ia pun takut akan roh jahat yang selalu datang bersama gelap.

Cahayamatahari telah redup, membekaskan teja ketika Lapina dan Liwa memanjat pintu silimo.Sekawanan burung melintas langit dengan suara mencecet kemudian sunyi.Lapina masih mempunyai kerja, memberi makan babi-babi setelah itu ia baru dapatberistirahat, seharian membuatnya sangat lelah.

SALI - Kisah Perempuan Suku DaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang