Seorang Sundal

3 1 0
                                    

Gayatri bukan pribadi yang berlarut-larut dalam satu persoalan, sungguh pun perkawinan itu telah mengubur seluruh harapan dan rencananya. Gadis itu mulai berbenah, merapikan seisi kamar, mencuci rambut, dan seluruh tubuhnya, mendirikan sembahyang, dan berdoa dengan satu kesadaran, bahwa hari esok masih panjang. Gayatri tengah memandang keluar jendela dengan kimono mandi dan rambut basah terbungkus handuk tebal. Hujan baru saja turun, langit gelap dalam cuasa mendung. Gadis itu menatap bening embun yang mengkristal pada ujung dedaunan kemudian menetes, karena kekuatan alam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu dan tak lama kemudian ibunya masuk ke dalam kamar.

"Kau baik-baik saja?" teguran itu mengejutkan Gayatri, ketika membalikkan muka, ia segera berhadapan dengan Alya, seorang wanita menjelang usia tua dengan pakaian rapi, make up bersahaja, rambut tersanggul ke belakang, dan tatapan mata penuh keyakinan. Ia wanita yang telah menjadi matang, karena asam garam kehidupan. Sehari-hari ia selalu berhadapan dengan mahasiswa di ruang kuliah, ada satu hal yang tak pernah dilepaskan dalam keseharian perempuan itu, yaitu kontrol diri yang kuat.

"Ibu tahu keadaanmu, ibu tahu pula perasaanmu. Semua bisa terjadi, tapi jangan pernah disesali. Kau sudah cukup mengurung diri di dalam kamar. Ibu tak rugi apa-apa, tapi ada begitu banyak hal yang bisa kau kerjakan di luar. Kau tahu kenapa harus disumpah sebagai seorang dokter?" wanita itu berhenti sejenak kemudian meneruskan kata-katanya. "Karena engkau harus menyembuhkan pasien, dan kalau engkau bisa menyembuhkan pasien, maka engkau harus bisa menyembuhkan dirimu sendiri. Dulu, ibu pernah memberimu pilihan pada seorang yang lebih segalanya dari Ardana, tapi engkau menolaknya. Engkau bertahan pada idealisme dan pilihan. Dan ternyata Ardana lebih mementingkan kekayaan dari pada idealisme. Dia memburu harta duniawi, sesuatu yang engkau justru pernah menolaknya. Syukur, bahwa semua ini terjadi sebelum perkawinanmu. Kau belum terlambat mengenali laki-laki itu. Dia bukan apa-apa! Dia cuma anak desa yang meletakkan harta benda di atas martabatnya. Jadi, jangan berlarut-larut menyesal, harapan dan rencana-rencana itu bukanlah takdirmu". Kata-kata itu terlontar dengan lembut namun penuh kepastian.

"Engkau masih muda, masa depanmu membentang, masih banyak orang yang menyayangi dan mampu bertanggung jawab atas dirimu. Ada saatnya orang boleh menangis, tapi ada saatnya tangis itu harus dihentikan. Ibu berjuang untuk membesarkanmu, dan ibu tak mau perjuangan itu gagal sampai di sini, karena perkawinan itu. Semua sudah berlalu, suatu saat engkau akan dapat mengingatnya, bahkan tanpa rasa sakit", wanita itu memandang Gayatri dengan tatapan lembut, ia cukup mengerti bagaimana rasanya dikhianati. Ia pernah merasakan, karena laki-laki yang menikahinya itu diam-diam telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Seorang wanita yang tak lebih terhormat dari dirinya, karena ia hanyalah seorang sundal. Hubungan gelap itu akhirnya memang dapat dihentikan, karena sikap dan ketegasannya, tapi luka hati ternyata tak tersembuhkan. Ada saatnya, bahwa ia akan menatap suaminya dengan dendam --kobaran api yang tak jua padam—

"Saya hanya menyesal, telah salah menilai orang. Pribadi yang begitu dekat, tapi tak pernah dapat dikenali dengan benar".

"Ibu ada undangan nanti malam, kau mau datang?"

"Saya pasti keluar dari rumah, tapi tidak hari ini. Ibu tidak usah khawatir, saya pun bukan orang yang akan terus berlarut-larut, karena satu persoalan. Saya akan memulai sesuatu yang baru, mungkin besok hari. Sementara biarkan saya sendiri".

Gayatri merasa sepasang tangan halus, namun penuh kekuatan memeluknya, sebuah ciuman mendarat di keningnya, kemudian ia kembali sendiri. Adik bungsunya menyeruak masuk ke dalam kamar dengan batangan cokelat dan es krim. Bapaknya bergantian masuk dengan sekeranjang kecil buah-buahan. Semua itu makanan kesukaannya, dan tiba-tiba Gayatri merasa teramat lapar. Hari-hari terakhir jadwal makannya berantakan, ia pun sadar sudah saatnya menyusun kekuatan. Energy amatlah penting bagi kelangsungan hidup, dan ia harus mempertahankan.

Keesokan harinya ketika tiba waktu sarapan Gayatri telah bergabung di meja makan, menghabiskan segelas sari buah, roti bakar isi daging cincang, dan sepiring mangga. Sedikit demi sedikit kekuatannya mulai pulih. Gayatri membaca novel sambil memutar lagu-lagu klasik kemudian melihat bunga-bunga anggrek yang mekar di taman kecil samping rumah. Dokter itu menatap kelopak bunga berlama-lama, pikirannya menjadi jernih, inspirasi muncul, nalarnya kembali bekerja.

Hari berikutnya Gayatri pergi ke mall dengan Yasmi, adik perempuannya, ia harus melihat kembali kenyataan. Ketika tengah memilih buah-buhan segar, terdengar suara orang bercakap-cakap. "Pesta itu sungguh megah, maklum perkawinan anak tunggal dengan seorang dokter muda yang berbakat".

"Tapi kudengar pengantin laki-laki itu mestinya menikah dengan sahabatnya, seorang dokter juga", terdengar jawaban dari suara yang lain.

"Yang saya dengar juga demikian, tapi pengantin wanita itu pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarganya, dan siapa pun yang menjadi pengantin laki-laki, maka ia hanya tinggal mendampinginya".

"Benar, pengantin laki-laki itu bukan hanya bekerja di rumah sakit ayahnya, tapi juga calon pemilik rumah sakit itu. Apa yang tidak bisa dibeli? Ha ....ha....ha....!"

Gayatri tertegun dengan percakapan itu, beruntung Yasmi tengah melihat-lihat makanan kering, sehingga ia tidak ikut serta mendengar percakapan itu. Gayatri memejamkan mata sekejab, ia bergegas menimbang buah, membayar ke kasir, dan segera mengajak Yasmi untuk meninggalkan tempat itu. Telinganya merah dan panas.

Sementara ketika berpapasan dengan tetangga, maka tampak sekali, bahwa mereka melihatnya dengan tatapan kasihan. Sebagian berbisik-bisik, sebagian membuang pandang. Diam-diam Gayatri mengeluh, ia telah menjadi buah mulut, karena tak mampu membeli perkawinan. Apa boleh buat? Ia masih harus pergi ke kampus untuk mengurus surat-surat dan administrasi, Gayatri harus menguatkan hati. Ketika tengah memarkir motor, maka kembali terdengar suara mahasiswa bercakap-cakap.

SALI - Kisah Perempuan Suku DaniWhere stories live. Discover now