Gayatri

3 1 0
                                    

Gayatri berdiri di depan cermin, menatap seraut wajah yang sudah amat dikenalnya. Wajah seorang wanita dewasa yang telah melalui proses demi proses dengan gemilang, sehingga akhirnya ia akan disumpah sebagai seorang dokter. Gayatri teringat pada buku-buku cerita yang mengisahkan betapa mulia tugas seorang dokter dalam mengabdi pada kemanusiaan, dengan menyembuhkan pasien demi pasien tanpa pandang bulu meski akhirnya ia harus duduk di kursi roda. Cerita itu telah memacunya dari tahun ke tahun, sehingga ia terkonsentrasi pada sebuah cita-cita, bekerja keras, dan mencapainya. Gayatri mengenang tahun-tahun yang telah dilampaui, tak pernah ada yang kurang dalam kehidupannya.

Ia terlahir sebagai anak dari keluarga terpandang dengan komitmen yang tinggi pada pendidikan. Orang tuanya berjuang untuk memberikan warisan ilmu pada anak-anaknya, bukan harta benda. Dan ketiga anak dari keluarga tersebut, benar mendapatkannya. Kaka tertua Gayatri telah mengambil master di Australia, sedangkan adik perempuannya telah lulus seleksi pada sebuah perguruan tinggi negeri.

Pada bayangan cermin Gayatri mendapatkan seraut wajah dengan garis muka yang halus, sepasang mata berbinar memancarkan kecerdasan, bibir yang mungil bak buah delima. Selebihnya adalah citra diri yang mempesona. Dokter muda itu terbangun pada suatu pagi yang cerah, pada sebuah kamar hangat di rumah tinggal orang tuanya yang akan merubah seluruh hidupnya, hari yang telah direncanakan bersama dan akan disambut dengan gelora. Gayatri tak pernah ragu tentang hari itu, karena ia telah mengenal seorang Ardana, teman kuliah yang disumpah pada waktu yang sama sebagai dokter.

Ardana adalah sosok yang melengkapi seluruh hidup. Ia anak seorang petani, tetapi selalu diliputi harga diri. Ardana tak mampu menandingi kecerdasan dan kreativitasnya, tetapi ia memiliki ketekunan dan disiplin tinggi, dan lulus dari fakultas kedokteran dengan predikat terbaik. Dosen-dosen menyayanginya, rekan-rekan mahaiswa bersimpati kepadanya. Tahun –tahun yang dilalui menyebabkab Gayatri semakin yakin terhadap Ardana, ia tak memilih orang yang salah. Mereka akan menikah dalam upacara adat yang harum oleh aneka bunga kemudian mengambil PTT --Pegawai Tidak Tetap di wilayah timur Indonesia dan mengawali kehidupan baru di sana.

Ibu Gayatri tak sepenuhnya menyetujui pilihan anaknya, ia mempunyai pilihan sendiri lengkap dengan babad, bibit, dan bobot. Orang tua itu selalu sadar, bahwa dalam membangun kehidupan keluarga, maka cinta saja tidaklah cukup. Batas antara cinta dan benci amatlah tipis. Kedua belah pihak harus memiliki kesesuaian. Sesuai dalam rupa, sesuai dalam derajat, dan agama. Kesesuaian itu akan mengurangi timbulnya konflik untuk membina kehidupan keluarga dengan baik.

Tetapi Gayatri merasa telah hidup pada zaman yang berbeda, bukan lagi pada zaman pewayangan, zaman ketika seorang wanita bahkan tidak berhak untuk memilih teman hidup. Gayatri selalu sadar akan keyakinannya, juga cinta yang amat kuat. Gayatri menolak calon lain, bukan karena sosok itu tidak memenuhi persyaratan, tetapi karena ia tidak ingin orang lain ikut campur menentukan jalan hidupnya, meskipun orang itu adalah ibunya sendiri.

Sejak disumpah sebagai seorang dokter Gayatri selalu mengenang Ardana dalam rindu. Kekasihnya itu untuk sementara kembali ke desa untuk mempersiapkan perkawinannya. Tak ada pesawat telepon di desa itu, Gayatri harus bersabar menunggu suara Ardana bergema di telinga. Ia masih bertahan beberapa hari bagi mimpinya itu.

Gayatri merapikan rias muka, menjepit rambutnya yang telah melewati bahu, membetulkan tali kimono kemudian berjalan menuruni tangga. Ia hendak menyeduh segelas cokelat untuk untuk mengawali paginya yang cerah. Jari-jarinya yang lentik tengah menggenggam tangkai gelas kristal yang cantik ketika bel pintu berbunyi. Gayatri bergegas membuka daun pintu dengan segelas cokelat tetap dalam genggaman. Ketika daun pintu terbuka Gayatri menatap seraut wajah tak dikenal. Seorang gadis dalam pakaian harian dengan tangan terulur. Gadis itu tak berdiri lama dan tak mengatakan apa-apa, kecuali menyampaikan sepucuk undangan dalam warna pastel, aroma mewangi, dan cetakan huruf emas berkilat-kilat. Setelah undangan itu diterima Gayatri, gadis itu pun pergi tanpa sepatah kata dan tanpa menoleh lagi.

Naluri Gayatri menangkap sesuatu tak wajar dalam sikap gadis itu. Tiba-tiba suasana hatinya berubah, tak lagi berbunga-bunga, tetapi diliputi tanda tanya. Pandangan mata gadis tak dikenal itu telah menyatakan sesuatu yang mengerikan sebelum ia dapat menterjemahkan surat undangan yang diterimanya. Sesaat Gayatri terpaku hingga bayangan gadis yang mengantar surat undangan itu berlalu pergi. Pandangan mata Gayatri segera menatap sampul undangan itu, beberapa saat kemudian sepasang mata yang jernih itu pun terbelalak lebar dengan mulut ternganga.

Jantung Gayatri berdetak kencang, isi kepalanya seolah berputar-putar, lutunya menggigil. Gayatri merasa langit telah runtuh, mengubur tubuhnya yang kaku dan mati rasa. Ia mencoba menyangkal sebuah kenyataan yang telah menghancurkan seluruh hidupnya, seluruh rencana, dan impiannya. Tapi tulisan yang tertera di sampul undangan itu tak pernah berubah. Dan itu berarti, impiannya telah berserakan menjadi kepingan kecil tanpa sisa. Gayatri mengerjapkan mata berulang kali, dan tulisan itu tetap dalam wujud serupa.

Telah Menikah

Sekar Nilasari dan Wibawa Ardana

SALI - Kisah Perempuan Suku DaniWhere stories live. Discover now