Takdir

3 1 0
                                    

Cahaya matahari yang silau kekuningan masih tersisa ketika Liwa sampai di silimo tempat Lapina tinggal. Lapina kini telah menjdi seorang nenek dengan rambut yang telah memutih dan kulit berkerut. Tak ada lagi yang tersisa dalam diri Lapina kecuali ketuaan. Wanita itu segera berdiri dengan tangan mengembang ketika melihat Liwa datang dengan langkah gontai. Ia telah cukup mengerti apa yang telah terjadi dengan Liwa, bocah kecil yang dibesarkan kemudian memisahkan hidup darinya. Lapina pun memeluk Liwa seakan induk ayam yang tengah melindungi anaknya.

"Kau pasti berkelahi dengan Ibarak, dimana anak-anakmu?" Lapina membuka pembicaraan, hatinya teriris ketika ia melihat luka memar di tubuh Liwa.

"Anak-anak kutinggalkan di silimo, aku sudah tidak mampu dengan semuanya. " Liwa mengeluh.

"Aku tahu, semua wanita di lembah ini mengalami nasib sepertimu, sebab itu aku memilih menjanda setelah kematian Kugara." Setelah kematian Kugara Lapina memilih hidup sendiri, ia tak menerima lamaran dari pihak laki-laki, karena ia telah merasa cukup pahit ketika hidup dengan kugara. Babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinan telah membuat hidupnya menjadi budak.

Sehari-hari Lapina memang harus bekerja di kebun, tapi tak ada orang yang memerintah, kecuali sebuah dorongan untuk menghindarkan diri dari rasa lapar. Lapina dengan gembira menjual hasil kebun ke pasar kemudian membeli pakaian, benang untuk merajut noken, dan kebutuhan sehari-hari. Ia memang telah tua, tetapi masih memiliki cukup tenaga.

"Betul, mama telah memilih jalan hidup sendiri, tetapi aku tak punya lagi pilihan. Aku harus mengandung, melahirkan, memberi makan, kerja kebun, menjual ke pasar, memberi makan babi-babi, membelah kayu bakar, dan membeli rokok buat Ibarak. Sedangkan laki-laki itu tak mmengerjakan apa-apa, kecuali menghisap rokok dn mengunyah makanan. Aku lelah dengan semua ini. Sendainya ia tak pernah memukulku ...." Liwa melepas napas berat, ia merasa begitu kalah.

"Itulah takdirmu. Engkau akan lebih mudah menghadapi semua ini apabila rela menjalani. Semuanya menjadi berat, karena engkau memberi perlawanan", tenang suara Lapina, seolah ia sudah sangat ahli dalam setiap masalah kehidupan.

"Sulit bagiku merelakan, karena Ibarak lebih mementingkan tembakau dari pada pakaian anaknya yang sakit sakitan. Dia tidak akan mati, karena tidak mengisap tembakau", Liwa masih diliputi amarah, alangkah baiknya kalau Ibarak mati, karena kehidupannya tidak akan memberikan apa pun kecuali beban.

"Itu sebabnya kau pergi meninggalkannya? Terus bagaimana anak-anakmu?"

"Sementara aku ingin pergi dari semuanya, aku ingin pergi Lapina ...." Liwa merebahkan diri di lantai honai, memejamkan mata, ia ingin melupakan kehidupan sehari-hari yang kini sudah tak berbentuk lagi. Lapina agaknya mengerti akan kesusahan Liwa, ia membiarkan wanita itu tertidur, menenangkan keguncangan diri. Tak berapa lama tangan Lapina kembali bekerja untuk menyalakan tungku di dalam honai. Hari telah gelap, udara semakin dingin. Hangat api tungku membuat Liwa semakin pulas tertidur, wanita itu tertidur lebih pulas dari hari biasa, karena Ibarak tak ada mengunjunginya.

Keesokan harinya anak-anak Liwa berdatangan mencarinya. Kedatangan itu tentu saja menyenangkan hati Lapina, karena anak-anak Liwa berarti cucunya. Lapina segera merebus ubi manis dalam kuali besar, memotong seekor ayam jago, dan memetik buah-buahan. Ketujuh anak Liwa pun makan dengan sekenyang kenyangnya kemudian segera menghambur ke jalanan. Anak-anak selalu memberi kekuatan bagi Liwa meski belum hilang sungguh rasa sakitnya. Liwa hanya berdiam diri di dalam honai membantu Lapina merajut noken.

Sementara Ibarak menjdi masgul ketika mendapati Liwa tidak berada di dalam honai hingga keesokan harinya. Anak-anaknya juga telah menghilang diam-diam, sehingga suasana di dalam honai akhirnya menjadi sunyi. Mulut Ibarak terasa asam, ia perlu tembakau. Laki-laki itu termangu sebelum beranjak pelan-pelan mengambil seikat gendewa dan anak panah kemudian pergi berjalan kaki menuju ke kota. Turis-turis, baik asing maupun domestik amat tertarik kepada senjata tradisionil Suku Dani, sehingga perlengkapan perang itu menjadi komoditi menarik untuk diperdagangkan.

Tak berapa lama kemudian Ibarak telah sampai pada suasana ramai Pasar Nayak. Mula-mula ia mondar mandir menyaksikan keramaian sebagai hiburan kemudian ia segera mencari turis-turis yang sekiranya tertarik untuk membeli gendewa dan anak panah sebagai cindera mata. Ibarak tak begitu pandai berbahasa Indonesia, ia harus menggunakan bahasa isyarat supaya turis-turis itu tertarik membeli. Ibarak juga menuliskan Rp. 1,000,- pada salah satu lengannya dan memberi isyarat pad turis-turis sebagai harga pembayaran berfoto bersama dirinya –sosok seorang Suku Dani—

Usaha Ibarak ini ternyata berhasil, gendewa dan anak panahnya terjual, beberapa orang turis tertarik berfoto bersamanya dan memberikan selembar uang ribuan sebagai tanda pembayaran. Ibarak sungguh merasa girang dengan lembaran uang di tangan. Ia segera pergi ke sebuah warung, makan sekenyang kenyangnya kemudian membeli tembakau dan menghisapnya dengan penuh kenikmatan.

Ibarak masih terus mondar mandir di seputar pasar melihat-lihat keramaian sampai uang dalam genggamannya habis tiada bersisa. Hari mulai gelap, Ibarak berjalan kembali pulang ke silimo. Liwa dan anak-anaknya tak juga tampak, mereka belum juga kembali, Ibarak mulai bingung, tak biasanya Liwa pergi dari rumah dengan cara seperti ini. Siapa yang akan merebus ubi manis baginya? Ibarak terpaksa meminta makanan pada honai perempuan yang lain untuk mengatasi rasa lapar. Ia juga tak dapat bermalam di honai Liwa, karena perempuan itu kini tak ada, ia pun tidur di honai laki-laki.

Hari berikutnya Liwa dan anak-anaknya tak juga kembali, demikian seterusnya. Sampai akhirnya Ibarak berkeputusan mencari. Ibarak tahu kemana Liwa pergi.

Sementara Liwa tengah menjelang hari-harinya dengan damai bersama Lapina. Ia pergi ke kebun beramai-ramai dengan anaknya tanpa rasa takut dan tekanan. Ia baru dapat merasakan, betapa tenang hari-harinya tanpa Ibarak, tetapi ketenangan itu tidaklah lama. Ibarak segera datang memintanya pulang kembali ke tempat semula. Liwa menolaknya, tetapi ia harus mempertimbangkan kata-kata Lapina.

"Aku tak rugi apa-apa bila engkau dan anak-anakmu tinggal menetap di sini, tetapi Ibarak telah memintamu dariku dengan babi-babi itu. Aku tak mengusirmu, tapi aku menyalahi adat apabila tak memberi ijin pada Ibarak untuk mengambilmu dan anak-anakmu".

Kata-kata Lapina membuat Liwa termangu, sepenuhnya ia tersadar, ia tak memiliki tempat tinggal lagi kecuali harus menetap bersama Ibarak. Liwa segera kehilangan expresi wajah, ia tidak senang, tidak sedih, tidak marah, dan tidak jua melawan. Ia berjalan dengan tatapan kosong tanpa pemberontakan. Liwa mengerti sudah, bahwa ia tak memiliki apa-apa, kecuali nyawa yang masih bersarang dalam dirinya.

Hari-hari pertama setelah kembali ke silimo, perselisihan memang tak pernah terjadi. Tapi tak lama kemudian Ibarak kembali pada perangai yang sebenarnya, terutama ketika ia memerlukan rokok dan Liwa tak mampu membelinya, karena ia harus menutup kebutuhan yang lain. Sementara pekerjaan sehari-hari yang melelahkan mesti diteruskan. Suatu hari Ibarak dan Liwa kembali berselisih, semakin lama semakin hebat, sehingga tangan Ibarak kembali melayang. Liwa masih mencoba melawan, tapi Ibarak tak memberinya kesempatan. Laki-laki itu menyepakkan kaki hingga Liwa tersungkur tak mampu lagi berdiri. Liwa tak dapat lagi merasakan apa-apa, kecuali bahwa ia telah binasa.

SALI - Kisah Perempuan Suku DaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang