Hidup Adalah Sebuah Kekalahan

199 19 14
                                    

Hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah ia memberi segala bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan itu, maka seorang wanita suku Dani hanyalah budak. Ia harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika ia berada dalam keadaan lemah, karena kehamilan. Ia harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis itu masak sebagai bahan makanan. Bila tak ada makanan, maka Kugara suaminya akan mengamuk dan memukulnya.

Setelah kerja berat itu pun Aburah merasa lelah tak terkira, tulang-tulangnya ngilu, badannya menggigil dalam demam yang tinggi dan ia tak dapat lagi berdiri. Dalam keadaan seperti ini, ia baru dapat dinyatakan sakit dan diperbolehkan berisitirahat. Sungguh pun ia merasa lemah, tetapi selama ia masih mampu berdiri, maka ia masih dianggap sehat dan harus tetap bekerja.
"Mama, makanlah", Liwa menyuapkan ubi manis ke mulut ibunya, tapi Aburah tampak tak berselera. Ia hanya mengunyah sedikit kemudian memuntahkannya. Aburah pun kembali terbaring, memejamkan mata. Wanita itu merasa ada sebongkah batu menindih kepalanya, bara api menempel pada sepasang kelopak matanya, dan panas api tungku membakar tubuhnya. Aburah hanya melilitkan sali pada seputar pinggang tanpa penutup dada. Peluh terus mengucur membsahi tubuhnya yang gempal, sebagai pertanda, bahwa ia tengah berjuang melawan rasa sakit yang dalam. Sekejap wanita itu membuka mata, pandangannya sayu ketika ia menatap Liwa, satu-satunya anak yang dapat dibesarkan.

Adat di kampung ini membenarkan seorang duda yang kehilangan istri, karena kematian, untuk menikah dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Dengan demikian, maka ikatan keluarga dengan pihak istri dapat tetap diteruskan. Sementara anaknya akan menjadi anak tiri dari saudara kandung istrinya sendiri. Hal itu berarti Liwa tidak akan dibesarkan oleh seorang wanita yang tidak dikenal.

Mengingat hal ini Aburah merasa bongkahan batu yang menindih kepalanya menjadi lebih ringan selama menderita penyakit. Ia tak memikirkan apa pun, kecuali nasib anaknya. Kini, ia telah mendapatkan jawaban. Aburah pun melepaskan segala beban pikiran dan tiba-tiba ia mengalami mati rasa.

"Mama bangunlah....", Liwa terus mengguncang-guncang bahu Aburah. Ia tak memiliki apa pun di dunia ini kecuali ibunya. Aburah lah yang menjaganya sejak kecil, membaringkannya di dalam noken –tas tradisionil Suku Dani—danmemikulnya kemana pergi. Aburah selalu memberinya makan, berjenis-jenis hasil kebun dan binatang hutan serta buah-buahan. Dan ia pun terus bertumbuh. Wanita yang menjadi pelindungnya itu itu kini terbaring tanpa gerak dan suara. Hati kecil gadis itu membisikkan sesuatu yang menakutkan. Liwa terus memandang Aburah dalam risau dan gelisah yang tak bisa dikendalikan. Ia masih terlalu bocah untuk memahami semua ini.

Di lain pihak Aburah merasa kesadarannya semakin jauh, badannya seakan melayang seperti kabut putih yang mengapung di dalam ruangan hampa. Ia tak lagi merasakan sakit, karena beban hidup sehari-hari yang terus menindih. Ia merasa begitu ringan seakan gumpalan kapas yang melayang diterbangkan angin musim. Ketika tiba-tiba sebuah kekuatan dahsyat menyedot badan halus yang berkuasa akan seluruh hidupnya, napas wanita itu pun tersengal-sengal. Hanya beberapa saat,sebab Aburah segera melihat tubuhnya terbaring lemah di lantai honai, sementara ia tengah melayang di langit-langit yang rendah. Aburah pun mencoba membujuk Liwa supaya anak kecil itu menghentikan tangisnya, tapi suaranya tak dapat lagi didengar. Ia telah hidup di alam lain dan tak mampu lagi berbicara dengan orang-orang yang ditinggalkan. Ia telah mati.

Sementara suara meraung-raung Liwa telah memanggil seluruh anggota kerabat berdatangan untuk menyaksikan apa yang telah terjadi. Badan Aburah masih hangat, meski wajahnya kian memucat, napasnya terhenti. Liwa dicekam ketakutan yang tiada terkira. Mamaknya telah menutup mata untuk selama-lamanya, ia masih terlalu kecil untuk kehilangan tempat berlindung, tapi apa daya? Sementara anggota kerabat yang lain segera memenuhi seisi honai, melakukan hal yang sama, meraung-raung. Kesunyian di kampung Dani itu pun segera berubah menjadi jerit kedukaan. Kesunyian terpecah sudah.

SALI - Kisah Perempuan Suku DaniWhere stories live. Discover now