29

9.8K 1.1K 94
                                    

Seperti yang di katakan Zian, dia menemani Kara les di tempat biasanya Kara les sepulang sekolah. Ini sudah tiga jam berlalu dan ini adalah les ketiga dengan guru yang berbeda di tempat yang sama.

Karena merasa bosan Zain pun memutuskan untuk masuk ke dalam, sebenarnya bukan karena bosan menunggu di luar tapi juga karena penasaran. Sebenarnya pelajaran apa saja yang Kara pelajari di dalam sana, kenpa begitu lama sekali.

"Permisi Bu, saya boleh kan nungu di dalam sini? Saya gak akan ganggu pelajarannya," ujar Zain tersenyum ramah pada guru yang sedang mengajar Kara.

Guru itu menganggukkan kepalanya. "Boleh tapi jangan berisik, duduk di kursi itu" tunjuk guru itu pada kursi yang terletak di ujung ruangan.

"Baik Bu, terima kasih" ucap Zain duduk di bangku paling ujung ruangan tersebut.

Guru itu kembali fokus mengajari Kara. "Kara apa kamu udah paham dengan apa yang tadi Ibu jelaskan?" tanyanya dengan nada yang tegas, berbeda sekali dengan tadi saat bicara dengan Zain.

"Yang nomer dua saya kurang paham Bu," jawab Kara menunjukkan kertas soal yang ada di atas mejanya.

Guru mengambil kertas soal milik Kara lalu memeriksanya satu-persatu, dengan kasar guru itu meletakkan kertas soal di atas meja. "Kamu dari tadi dengerin apa yang saya jelaskan gak Kara?"

"Dengar Bu" jawab Kara menundukkan kepalanya.

"Trus kenapa masih salah? Makanya kalau waktu les jangan bolos terus. Baru berapa hari gak masuk les udah lupa sama yang di pelajari di sini, mana tangan kamu" ucap guru itu menarik paksa tangan Kara.

Guru itu mengangkat sebuah penggaris, saat ingin memukulkannya pada tangan Kara. Zain lebih dulu menahannya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya guru menatap tajam Zian.

"Seharusnya saya yang tanya, apa yang Ibu lakukan dengan adik saya?" jawab Zain menatap guru itu tanpa rasa takut.

"Dia salah sudah seharusnya di hukum,"

"Atas dasar apa anda menghukum anak orang dengan kekerasan? Sebagai guru sudah menjadi tanggung jawab anda mengajari murid, bukan menghukum murid dengan sesuka anda sendiri," ucap Zain melepaskan tangannya lalu membantu Kara untuk berdiri.

"Saya akan melaporkan tentang kekerasan yang anda lakukan pada adik saya, dan ini adalah terakhir adik saya les di sini. Permisi" ucap Zain menarik tangan Kara keluar dari ruangan tersebut.

Kara menepis tangan Zain, membuat Zain menghentikan langkahnya. "Aku belum selesai les" ucap Kara.

Zain memejamkan matanya sejenak, berbalik menghadap Kara. "Hari ini udah sampai sini dulu lesnya, istirahat makan siang nanti kita bisa lanjut lagi" ucapnya lalu kembali meraih tangan Kara.

"Senin besok udah mulai ujian, aku harus bisa naik kelas. Aku gak mau tinggal di asrama, aku masih mau tinggal sama Ayah sama Ibu." ucap Kara dengan terpaksa mengikuti langkah Zain.

"Kamu tau? Mereka itu gak sayang sama kamu, yang mereka sayangi cuma Anka. Mau sampai kapan kamu terus berharap sama mereka? Sedangkan mereka gak pernah anggap kamu ada. Mereka gak pernah anggap kamu itu penting dan bagian dari mereka," Zain menghentikan langkahnya di parkiran mobil.

"Sayang, mereka sayang sama aku. Mereka perduli sama aku, apa yang aku harapin dari mereka? Cuma satu, aku mau lihat mereka setiap hari" balas Kara menatap Zian yang berdiri di hadapannya.

"Kalau mereka sayang, mereka perduli gak kayak gini Ka. Sekarang aku tanya, berapa kali kamu di pukul guru tadi? Berapa kali kamu di pukul sama teman sekolah kamu? Pernah mereka datang bela kamu? Gak pernah kan?"

"Aku gak tinggal di jalanan, aku masih bisa sekolah, aku masih bisa makan, aku masih bisa tidur di kasur yang bagus dan aku masih bisa lihat mereka setiap hari. Itu artinya perduli dan kasih kasih sayang, kalau gak dengan cara pandang orang lain aku pake cara pandang aku sendiri bagaimana mereka menyampaikan kasih sayangnya," ujar Kara yang membuat Zain tanpa sadar meneteskan air matanya.

"Buat aku bisa liat mereka setiap hari dan bisa dengar suara mereka setiap hari adalah hadiah yang istimewa, itu nanti bakalan jadi hal yang paling aku rindukan pas tanggal di asrama, karena aku gak bakalan bisa lihat mereka setiap hari lagi." sambungnya lagi.

Zain hanya diam tak lagi menanggapi ucapan Kara, dia menggandeng tangan Kara untuk menyebrang jalan. "Suatu hari nanti,
ketika kamu sudah paham apa yang di sebut dengan rumah, bukan cuma jadi tempat tinggal dan dan berteduh. Tapi tentang kata nyaman dan merasakan bahagia kata pulang hanya sekedar melihat bangunan dan kenangannya" ucap Zain menghentikan langkahnya di dekat mobil taksi.

"Dan gue bakal tunjukkin ke lo, yang mana layak di sebut rumah. Di mana kamu tinggal itu akan jadi rumah ketik lo merasa nyaman dan merasakan hangatnya keluarga." batin Zain.

"Ayo masuk, kita makan habis itu pulang," ajaknya membukakan pintu taksi untuk Kara.

.............

"Lo tau gak sih? Dengan lo kaya gini kita makin lama di sini," ucap Bianca yang sedang menemani Anka di rumah sakit.

"Lo bisa balik duluan, gak perlu nungguin gue." balas Anka tanpa melihat ke arah Bianca.

"Iya gue biasa balik duluan, tapi lo mikir gak? Nanti pas ketemu Kara dia nanya gue bisa aja bilang lo sakit tapi gue gak mau Kara jadi mikirin lo." ucap Bianca membalikkan tubuh Anka dengan paksa agar menghadap ke arahnya.

"Lo udah dapetin semuanya, bisa kan lo jangan egois? Jangan nyusahin Kara. Lo enak sakit banyak yang ngerawat, sedangkan Kara sendirian gak ada yang temenin dia,"

Bianca bangkit dari duduknya lalu mengambil mangkuk bubur yang ada di atas meja lalu memberikannya pada Anka. "Lo kalau mau sakit lagi nanti kalau kita udah pulang, mau sampai sebulan di rumah sakit gak masalah yang penting di sini,"

"Gue gak lapar," tolak Anka mendorong mangkuk bubur yang di berikan Bianca.

"Lo gak pengen cepat pulang? Gak mau lihat Abang baru Kara? Gue denger kemarin Om Raka bikin story mereka berdua lagi asyik main game, terus ada lagi pas mereka lagi makan malam. Lo gak iri? Yakin?" ucap Bianca kembali meletakkan mangkuk bubur di atas meja.

"Dia bukan siap-siap Kara, bukan saudara dia orang asing" ucap Anka mengepalkan kedua tangannya dengan erat.

"Yang orang asing lo apa dia? Kalau emang lo saudara dia harus lo gak kayak gini. Dengan sikap lo yang sok kepikiran sama Kara buat Kara dalam masalah. Lo pikir Ayah Ibu lo itu akan diam aja? Gak goblok!" kesal Bianca yang semalam tak sengaja mendengar percakapan Banu dengan orang suruhannya.

"Lo mikir lah jing! Buat keluarga lo hidup lo itu bagaikan berlian dengan lo yang tiba-tiba sakit karena stres yang lo buat sendiri siapa yang bakalan di salahin? Adek lo sendiri yang di salahin lo ngerti gak?"

"Ada apa ini? Serius banget," suara Naira yang baru saja masuk ke dalam kamar rawat mengalihkan perhatian Bianca.

"Ini, nih Tan. Anka susah di suruh makan padahal aku udah bujuk dia dengan berbagai macam cara," jawab Bianca menunjuk mangkuk bubur yang ada di atas meja.

Naira tersenyum lembut pada anaknya lalu mendekati ranjang pasien. "Ayah lagi makanan sebentar lagi ke sini," ujarnya mencium kening Anka.

"Mana hp aku Bu? Aku mau telpon Kara" ucap Anka seraya mengulurkan tangannya pada Naira.

"Ada sama Ayah, nanti kalau udah makan udah minum obat baru Ayah kasih" ucap Naira mengusap rambut anaknya.



KARA Where stories live. Discover now