Payung Hitam

1 0 0
                                    


Indri menyelesaikan bacaannya yang terakhir. Lalu ditutupnya Qur'an itu dengan pelan. Jam di dinding menunjukkan tepat pukul 3 dinihari. Suasana terasa sangat sunyi. Indri bahkan bisa mendengar suara jangkrik dari halaman depan, juga suara kodok yang terdengar seperti bersahut-sahutan.

Terdengar suara ketukan pelan dari pintu depan. Indri terlihat bingung. Siapa pula yang datang bertamu pada jam-jam seperti ini tanpa pemberitahuan sebelumnya? Tapi rasa penasaran Indri mengalahkan kebingungannya. Ia ingin membangunkan Wahyu yang terlelap pulas di tempat tidur namun tak sampai hati melakukannya.

Setelah melipat mukena dan sajadahnya, Indri lalu beranjak menuju ruang tamu. Suara ketukan pelan itu masih didengarnya sekali lagi sebelum ia membuka pintu.

Indri terperanjat tak alang kepalang. Di depannya berdiri Arung yang mengenakan baju dan celana serba putih dengan wajah bersih bersinar. Arung tersenyum kepadanya dan seketika menghilangkan segala rasa keterkejutan dari raut wajahnya. Indri hanya membiarkan dirinya terpaku dan mencoba mengingatkan dirinya sendiri apakah ia sedang bermimpi.

"Terima kasih Ibu dan Ayah sudah selalu mendoakanku selama ini. Sudah saatnya Ibu dan Ayah melanjutkan hidup kembali. Arung hanya minta satu hal. Arung minta disediakan payung hitam untuk menemani perjalanan Arung."

Indri merasakan airmatanya meleleh dengan deras. Ia ingin memeluk Arung namun seperti ada kekuatan besar yang menahannya. Ia hanya bisa mengangguk mendengar permintaan terakhir Arung itu. Begitupun ia masih tak mengerti untuk apa sesungguhnya payung hitam yang diminta Arung itu.

Tak lama gerimis turun membasahi subuh itu. Indri melayangkan pandangannya menatap butiran demi butiran air hujan yang turun. Suara kodok terdengar semakin nyaring bersahut-sahutan. Ketika tersadar dari lamunannya, Arung sudah hilang dari hadapannya.

Indri terbangun ketika mendengar bunyi air hujan yang semakin lama semakin deras. Ia mengucap istigfar mengingat mimpinya barusan. Sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat suci Al Qur'an dari mesjid yang tak seberapa jauh menandakan sebentar lagi azan subuh digemakan.

Wahyu menggeliat dan melihat Indri yang sedang termangu. "Ibu barusan mimpi ya?" Indri tak menjawab namun Wahyu melihat matanya berkaca-kaca. Ia membimbing Indri menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Keduanya menunaikan salat subuh berjamaah. Usai berdoa, Indri tak tahan lagi menumpahkan isi hati terkait mimpinya yang belum lama berlalu. Ia bilang Arung minta mereka melanjutkan hidup. Dan Arung juga minta payung hitam.

Wahyu memeluk istrinya seketika. Keduanya menangis pelan. Baru kali ini Wahyu membiarkan dirinya menangisi kematian anak semata wayangnya itu. Ketika mendengar Arung meninggal hingga saat ia dikuburkan, entah kenapa ia tak bisa menangis. Tangisannya seperti tertahan dalam hatinya saja. Dan mungkin kali ini menjadi saat yang tepat baginya untuk meledakkannya. Agar setelah ini keduanya menjadi lega, keduanya menjadi ikhlas dan melanjutkan hidup mereka setelah 3 tahun dilanda mendung berkepanjangan.

Paginya Wahyu dan Indri berziarah ke makam Arung. Indri sudah membawakan payung hitam yang diminta Arung dalam mimpinya. Dengan khidmat keduanya memanjaatkan doa-doa ke langit agar anak mereka senantiasa dijaga, agar anak mereka senantiasa tenang dalam alam kubur.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, tak sengaja mereka berpapasan dengan sejumlah rombongan yang mengenakan payung hitam. Indri meminta Wahyu mencari tempat parkir agar segera bergabung bersama rombongan itu. Tanpa membantah sedikit pun, Wahyu melakukan apa yang diminta oleh istrinya itu.

Rombongan itu berjalan pelan. Jumlahnya semakin lama semakin banyak dan semuanya membawa payung hitam. Mereka berjalan ke arah Istana Presiden. Tanpa dikomando seorang pun, rombongan berjalan dengan tertib dan tak mengganggu lalu lintas yang mulai ramai. Beberapa diantara mereka tampak membawa foto hitam putih yang telah dibingkai sederhana. Semuanya berjalan dalam diam, tak tergesa.

Kini rombongan telah berada di seberang istana. Salah seorang di antara mereka, laki-laki yang tampak masih seperti mahasiswa, maju ke depan dan berbicara lantang tanpa pengeras suara.

"Kita di sini bersama berdiri atas satu tujuan. Agar tak ada lagi korban atas nama kekerasan terhadap mahasiswa untuk alasan apapun. Juga agar pemerintah mengusut selekas-lekasnya dan seadil-adilnya atas para pelaku kekerasan tersebut. Dan kita selalu berharap bahwa keadilan masih bisa kita temukan di tanah air kita sendiri."

Tangan Wahyu dan tangan Indri saling menggenggam erat. Wajah keduanya juga sudah tampak dibasahi oleh airmata. Tiba-tiba langit bergemuruh dan menumpahkan hujan seketika tanpa peringatan apapun. 3 tahun mendung dalam hidup Wahyu dan Indri memang harus disudahi. Hari itu menjadi peringatan 1000 hari meninggalnya Arung.

Dan keduanya lantas hadir setiap Kamis di seberang Istana Presiden membawa payung hitam demi mencari keadilan atas nama anak semata wayang mereka, Arung Perkasa.

HARI KE-40Место, где живут истории. Откройте их для себя