Sebelum Tragedi

43 10 5
                                    

Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.

Arung meletakkan buku Catatan Harian Seorang Demonstran yang ditulis Soe Hok Gie yang baru saja dibacanya itu. Buku itu selalu menjadi pelampiasannya ketika ia merasa geram pada situasi politik yang mengungkung. Buku itu juga menginspirasinya untuk menuliskan kegelisahan-kegelisahannya dalam sebuah jurnal. Sebuah jurnal yang mulai rutin terisi oleh pemikiran-pemikirannya yang belum pernah diperlihatkannya pada siapapun, pada Mala sekalipun.

Arung beranjak menuju tasnya yang tersampir di kursi. Ia mengambil sebuah buku tebal bersampul sewarna urat kayu yang dikepit oleh sebuah tali mungil. Ia mulai menulis di buku yang disebutnya sebagai jurnal itu.

Situasi semakin tak terkendali. Presiden semakin tak bisa mengendalikan nafsunya untuk bisa berkuasa hingga mati. Dan nafsunya bisa mematikan negeri ini dengan rakyat yang menjadi korban tak berdosa di tengah-tengahnya. Dan kami harus mencari cara agar situasi ini tak berlarut-larut.

Tapi yang kami punya hari ini mungkin hanyalah sebuah kepedulian. Yang dibalut oleh kemarahan dan urgensi untuk bertindak. Walau sesungguhnya kami belum tahu tindakan yang tepat seperti apa yang harus dilakukan untuk mengatasi semua ini.

Demonstrasi mulai terjadi di banyak tempat. Api-api kecil itu mulai membakar dan perlahan bakal meluas jika presiden terus abai dengan keinginan rakyat. Teman-teman di Bandung, Semarang, Purwokerto, Surabaya, Ambon, Pontianak, Yogyakarta dan Jakarta merasa bahwa demonstrasi ini menjadi jalan terbaik agar suara rakyat terdengar sampai jauh.

Media-media menyebut musim semi gerakan mahasiswa telah tiba. Tapi jujur, aku merasa takut. Entah darimana ketakutan itu berasal. Mungkin dari alam bawah sadarku bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Sesuatu yang revolusioner akan tiba dan menjungkirbalikkan negeri ini. Tentu saja aku senang jika itu terjadi. Tapi aku takut jika terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah perjuangan bernama reformasi.

Tapi mungkin pula ketakutanku tak beralasan. Karena ketakutanku tak sepenting dengan teriakan rakyat karena harga melambung tinggi akibat inflasi. Mereka menjadi bagian yang paling menderita karena pengabaian ini. Dan karenanya aku malu karena merasakan ketakutan. Walaupun aku tahu bahwa takut membuatku menjadi manusia seutuhnya.

Terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya. Suara ibunya terdengar lembut dari balik pintu. "Arung, makan malam sudah siap. Ayo kita makan."

Arung menutup jurnalnya dan mengepitkan kembali talinya. Ia memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Lalu bergegas menuju ruang makan.

Ayah dan ibunya telah menunggunya di sana. Seperti biasa ibunya akan menyendokkan nasi dan lauk pauk terlebih dahulu kepada ayahnya lantas untuknya. Ibunya selalu mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan dua orang yang paling dicintainya di dunia ini. Arung merasa beruntung karena dibesarkan oleh dua orang yang saling mencintai dan rasa cinta itu selalu dirasakannya mengaliri segala sudut di rumahnya.

Tayangan televisi bersuara pelan memperlihatkan gambar demonstrasi yang terjadi di banyak tempat. Samar-samar terdengar penyiar berita menginformasikan bahwa demonstrasi itu telah menelan korban 88 orang mahasiswa yang terluka. Indri menghela napas panjang dan menatap Arung lekat yang sedang makan dengan lahap.

"Ibu tahu kalau Ibu tak bisa melarang kamu untuk tak ikut demo. Yang ingin Ibu selalu ingatkan supaya kamu hati-hati. Jika keadaan sudah tak terkendali, ingatkan juga teman-temanmu untuk menyelamatkan diri. Reformasi memang penting tapi keselamatanmu dan keselamatan teman-temanmu juga penting."

Arung menoleh ke arah ibunya. "Ibu jangan khawatir, dari dulu Arung kan selalu bisa jaga diri."

Ayahnya menghentikan kunyahannya sejenak, mereguk air putih di dekatnya. Lalu berkata kepada putranya itu.

Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.

Arung tersenyum dan menatap ayahnya dengan rasa cinta yang memenuhi ruangan itu.

"Terima kasih Ayah, terima kasih Ibu yang selalu percaya sama Arung. Arung janji untuk selalu menjaga keselamatan Arung dan Arung juga mohon doa dari Ayah dan Ibu supaya kami selalu sehat dan bisa memenangkan perjuangan ini kelak."

Tiba-tiba ibunya sesenggukan. Indri merasakan kesedihan yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Kesedihan yang sudah lama dipendamnya sejak ia mulai mengikuti berita-berita soal demonstrasi mahasiswa di televisi sejak bulan lalu. Kekhawatiran yang selalu dirasakannya tatkala mendengar mahasiswa dari fakultas tempat anaknya menuntut ilmu juga ikut bergabung dalam demonstrasi. Wahyu mencoba menenangkan istrinya. Arung bergerak pelan dan memeluk ibunya. 

HARI KE-40Where stories live. Discover now