Namaku Arung

304 43 48
                                    

Saat menginjak kelas 3 sekolah dasar, Arung didera penyakit typhus dan sejumlah komplikasi penyakit lain menyertainya. Selama 2 minggu, Wahyu dan Indri terus memohon kepada Tuhan agar putra semata wayang mereka itu bisa segera bangkit dari tidur panjangnya.

Selama 2 minggu, keduanya bergantian menemani Arung yang selalu tampak seperti tertidur pulas. Wahyu dan Indri pun selalu bercerita apapun yang menarik bagi mereka yang terjadi di hari itu. Mereka ingin, di bawah alam sadarnya, Arung bisa mendengarkan cerita-cerita mereka, juga kesedihan yang yang tersembunyi rapi di balik tawa getir mereka ketika bercerita sesuatu yang lucu.

Indri bercerita bagaimana Arung lahir 3 minggu lebih awal dari perkiraan. Hari itu Wahyu sedang bertugas ke luar kota. Hari itu juga Indri tak merasakan firasat apapun. Hari itu sebagaimana hari-hari yang ia lalui seperti biasa. Ia selalu memulai harinya dengan shalat subuh dan mengaji, setelahnya membersihkan seisi rumah disambi memasak untuk sarapan. Tak ada pembantu di rumah mereka karena Indri merasa ia masih bisa mengerjakan semuanya sendiri.

Sebagaimana suaminya, Indri juga bekerja sebagai pegawai negeri. Ia baru mengambil cuti sebulan sebelum perkiraan waktu melahirkannya. Jadinya Indri memang terbiasa sibuk dan melakukan beberapa hal dalam satu waktu. Baginya rumah tangga dan karir mesti berjalan seimbang meski suaminya tak pernah memaksa untuk selalu memasak untuknya. Wahyu tipe laki-laki yang juga tak pernah memandang pekerjaan rumah adalah pekerjaan perempuan. Ketika Indri memasak, Wahyu juga terbiasa mencuci piring atau baju-baju mereka.

Indri terbelalak merasakan ada air hangat yang mengaliri betisnya. Awalnya perlahan dan semakin lama semakin deras. Ia sadar terjadi sesuatu. Ketubannya pecah. "Anak ini bandel sekali, belum waktunya lahir sudah nggak sabaran mau lihat dunia, " gumamnya sembari mencoba meredakan kepanikannya. Untungnya ada tetangganya yang baik hati, Maria, yang langsung bergegas membangunkan tukang becak langganan Indri, Kang Engkus.

"Saya bantu naik ya, Bu. Pelan-pelan ........" ucap Kang Engkus sembari berhati-hati menaikkan Indri dan koper kecil yang telah disiapkannya.

Belum 100 meter Kang Engkus mengayuh becaknya, Indri menyuruhnya berhenti. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Indri bergegas turun dari becak dan memutuskan jalan kaki. Tak ada seorang pun di jalan raya di jam 3 pagi dinihari itu. Maka yang terlihat adalah pemandangan lumayan lucu. Kang Engkus dan koper kecil Indri yang bersandar nyaman di jok becaknya yang dituntunnya sementara Indri sendiri berjalan kaki dengan susah payah.

"Tahu nggak, kamu tuh menyiksa Ibu sampai 12 jam sampai akhirnya kamu lahir, Nak, " Indri terkekeh mengingat kejadian itu. Ia mengusap dahi Arung penuh rasa sayang. Dibiarkannya airmata mengalir jatuh perlahan dan menderas seperti sungai setelah beberapa lama.

Lain waktu giliran Wahyu bercerita bagaimana ia mendapatkan ilham menamakan putranya Arung Samudra. Sedari belia saat menghabiskan masa kecilnya di sebuah desa kecil di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Wahyu terbiasa bermain bersama teman-temannya di sungai. Selama itu ia selalu menganggap sungai sebatas tempatnya bermain-main, belajar berenang pertama kali, juga diajari memancing ikan oleh ayahnya. Tak lebih dari itu.

Ketika masuk masa kuliah, Wahyu mulai menyukai olahraga arung jeram. Tapi sekali lagi, sungai masih dianggap sebatas tempatnya bernostalgia masa kecil. Hingga suatu hari ia membaca tulisan dari salah satu ilmuwan yang dikaguminya, Blaise Pascal. Laki-laki Prancis penemu teori probabilitas itu menyebutkan sebuah kalimat tentang sungai yang menyentuh hatinya dan terus diingatnya hingga hari ini.

"Sungai adalah jalan yang bergerak dan membawa kita ke mana pun ingin kita pergi."

Indri mendelik ke arah Wahyu yang seperti terpental ke masa lalu sesaat. "Kalau Ayah suka sungai, kenapa nama anak kita Arung? Bukannya itu ide Ibu karena suka dengan Arung Palakka?"

Wahyu seperti tersadar dan langsung gelagapan. "Ah masa iya?" Lantas baru benar-benar tersadar setelah beberapa saat. "Eh mungkin juga ya?"

Keduanya terkekeh. Wahyu orang Minang, Indri orang Bugis. Bagi sebagian orang Bugis, Arung Palakka pantas diidolakan. Indri mengenal cerita tentang kepahlawanan Arung Palakka dari kakeknya. Puang Ical, demikian biasa kakeknya dipanggil, selalu bercerita dengan penuh semangat saat mengimajinasikan apa yang terjadi dengan Arung Palakka saat pecahnya Perang Makassar pada tahun 1666-1669. Nama Arung Palakka menjadi harum karena memperjuangkan kebebasan masyarakat Bugis dari cengkeraman kerajaan Gowa.

"Nanti kalau Arung sudah bangun dan sudah sehat lagi, ibu akan cerita soal perang Makassar dan Arung Palakka."

Setelah menunaikan shalat Isya berjamaah, Wahyu dan Indri mendapati Arung terbangun dari tidur panjangnya. Setelah diperiksa oleh dokter dan dinyatakan kondisinya stabil, Arung mengejutkan kedua orangtuanya.

"Ayah Ibu, Arung pengen makan nasi Padang sama pisang ijo boleh nggak?"

Keduanya langsung sontak menggerakkan kepala tanda setuju secara bersamaan. Saat hendak menyalakan mesin mobilnya di parkiran rumah sakit, Wahyu bergumam kepada Indri.

"Mau cari di mana nasi Padang sama pisang ijo jam 3 subuh begini?" 

HARI KE-40Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora