Politik Adalah Cara Merampok Dunia

266 41 24
                                    

Arung dan kawan-kawannya gusar. Aspirasi mereka baru saja ditolak oleh Fraksi ABRI. Kedua puluh mahasiswa gagah berani dari Universitas Indonesia itu dengan tegas menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, Soeharto.

Padahal mereka telah merencanakan pertemuan itu jauh-jauh hari sebelumnya. Dan momen itu dirasa tepat karena berlangsung di tengah Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tapi mahasiswa mungkin tak dianggap sebagai rakyat dan karena itu dianggap tak perlu didengar.

Kegusaran itu menjalar menjadi kegelisahan ke seluruh negeri. Pelan-pelan menjadi pemicu dari bergeraknya mahasiswa dan masyarakat untuk turun ke jalan. Sudah cukup negeri ini merasakan bobroknya kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun yang hanya menyengsarakan rakyat dan terus memperkaya Soeharto dan kroni-kroninya.

Wahyu mendapati putranya yang tengah geram menonton televisi yang menyiarkan cuplikan pidato Soeharto di tengah Sidang Umum MPR yang kembali mengukuhkan dirinya sebagai Presiden. Indri yang cakap melihat situasi berinisiatif memboyong makan malam yang biasanya di meja makan ke ruang tengah.

"Kemarahan kamu akan terus bertambah kalau kamu menahan lapar. Ayo kita makan dulu." Kata-kata dari ibunya itu seketika terasa mengguyur kepala dan hati Arung yang membuatnya terasa sejuk. Ia lantas bergerak mengikuti ayahnya. Ibunya menyendokkan nasi dan lauk pauk ke ayahnya terlebih dahulu, setelah itu ia melakukan hal yang sama untuk putra satu-satunya itu.

Keduanya makan dengan lahap dalam diam selama beberapa saat. Arung terlihat lebih lapar dari biasanya dan menambahkan nasi dan lauk ke dalam piringnya. Indri senang melihat putranya itu makan dengan lahap.

"Politik itu cara merampok dunia. Politik itu cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa."

Kata-kata dari ayahnya yang meluncur tiba-tiba itu sontak membuat Arung menghentikan makannya sejenak. Ia terlihat merenungkan sesuatu.

"Rendra! Dan Rendra sepertinya tahu bagaimana cara mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, " ujar Arung berapi-api. Wahyu dan Indri saling menatap dan senang melihat semangat kembali menyala di mata putra mereka itu.

Saat hendak beranjak dari makannya, Indri langsung menegur Arung. "Tapi Rendra juga tahu bagaimana cara menghargai ibunya yang sudah memasak masakan kesukaannya." Pipi Arung langsung bersemu merah dan disambut tawa kecil oleh Wahyu. Arung pun menghabiskan makannya hingga tandas licin tak bersisa seperti kebiasaannya sejak dulu.

Beberapa hari setelahnya Arung dan sejumlah kawan-kawannya terlibat diskusi serius di Senat. Mereka merancang kembali apa yang bisa mereka lakukan setelah penolakan oleh Fraksi ABRI itu dan bahwa mereka akan melanjutkan tuntutan mereka agar Soeharto mundur.

"Kita tidak bisa lagi membiarkan Soeharto menggunakan politik untuk merampok Indonesia. Kita harus mencoba cara-cara lainnya untuk menghentikannya dan ini sudah tak bisa ditunda lagi. Kita harus melakukannya sekarang!"

Kata-kata dari Arung membakar semangat mereka yang ada di ruang itu. Dan kita melihat bahwa hari itu seorang calon orator unggul telah lahir. Arung yang dibesarkan oleh buku-buku warisan ayahnya tentang pemimpin-pemimpin dunia sesungguhnya telah menginspirasinya bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Sesungguhnya Wahyu hanya ingin agar pengalaman dari para pemimpin dunia menginspirasi putranya agar selalu tahu bahwa ada bagian hidup yang perlu diperjuangkan untuk orang banyak. Dan untuk memperjuangkannya perlu pengorbanan yang tulus.

Mala mendatangi Arung di kantin yang sedang serius mengutip dari sejumlah buku yang dipinjamnya di perpustakaan demi menyelesaikan tulisannya tentang urgensi turunnya Soeharto dari puncak kepemimpinan agar Indonesia terhindar dari bencana besar yang mengancam. Ia memesan nasi dengan lauk ayam dan tempe goreng plus sayur lodeh untuk kekasihnya itu. Segelas teh manis juga telah diantarkan oleh pelayan.

"Kamu nggak makan?" Arung sedikit heran melihat kali ini dirinya makan sendirian di bawah tatapan Mala. Perempuan itu hanya menggeleng. "Masih kenyang karena tadi pagi Mama bikin nasi goreng kampung kesukaanku dan aku makannya banyak banget, " ujar Mala yang sedikit tersipu-sipu.

Sembari makan keduanya lantas memperhatikan siaran televisi yang masih menyiarkan Sidang Umum MPR. Hari itu, 11 Maret 1998, Sidang Umum MPR akan ditutup setelah diselenggarakan sejak 1 Maret.

Terlihat Harmoko yang memimpin Sidang mengambil palu dan mengetukkannya di meja sebagai penanda bahwa Sidang Umum MPR akan berakhir. Ketukan pertama dan kedua berjalan mulus hingga ketukan ketiga sesuatu terjadi. Sebuah penanda.

Ketika hendak mengetukkan palu untuk ketiga kalinya, kepala palu itu patah. Arung dan Mala terkesiap, begitu pula sejumlah orang yang menyaksikan siaran yang sama di televisi itu.

Arung dan Mala saling bertatap dengan tegang. Keduanya tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi tak lama lagi.

HARI KE-40Where stories live. Discover now