Tamu

34 10 5
                                    

Ina tampak sibuk membantu Indri di dapur. Indri mengeluarkan sejumlah piring dan gelas dari lemari. Ina membantu mencuci piring dan gelas yang tampak berdebu itu. "Terima kasih Ina sudah membantuku selama ini. Aku nggak bisa bayangin kalau nggak ada kamu."

Ina hanya tersenyum tipis. Ia membiarkan Indri berlalu karena beberapa hal memang perlu dipastikan. Sembari menyelesaikan piring dan gelas yang masih tersisa, Ina mengintip ke ruang tamu. Agung, putranya semata wayang, yang masih berusia 4 tahun tampak sibuk sendiri memainkan legonya.

Indri tampak sedikit panik karena lupa mengonfirmasi katering sehari sebelumnya. Ia pun menekan sejumlah nomor di ponselnya dan mulai berbicara. "Bu Angel, aduh saya minta maaf lupa betul kemarin konfirmasi lagi soal katering pesanan saya untuk hari ini."

Di ujung telepon, Bu Angel tersenyum tipis. "Tak apa, Bu Indri. Ibu kan sudah langganan lama, saya kenal betul karena selama ini Ibu belum pernah membatalkan pesanan katering ke kami." Mata Indri berbinar mendengarnya. "Syukurlah kalau begitu. Saya udah panik duluan karena waktunya terlalu mepet kalau ternyata Bu Angel tidak membuatkan pesanan saya karena lupa konfirmasi kemarin. Terima kasih banyak ya, Bu."

Klik. Ponsel ditutup. Indi bernapas lega. Satu kekhawatirannya telah lenyap dari dadanya. Hingga ia ingat kekhawatiran berikutnya. Tenda belum dipasang, begitupun kursi-kursi plastik dan meja-meja untuk para tamu yang bakal hadir. Baru saja ia hendak menelepon, serombongan anak muda datang dan tanpa dikomando langsung memasang tenda dengan cekatan. Beberapa diantara mereka juga gesit menggotong kursi-kursi plastik dan meja-meja. Hanya butuh 30 menit semuanya telah terpasang rapi.

Indri menegur Daniel yang dianggap sebagai semacam pimpinan di rombongan anak-anak muda. "Nak Daniel nggak mau ngaso dulu bentar? Nanti saya buatkan teh dan bawakan cemilan ya." Daniel menggeleng sopan. "Tak perlu repot-repot, Bu Indri. Kebetulan teman-teman lagi ada jadwal rapat juga di kelurahan buat persiapan Agustusan besok. Kami permisi dulu ya, Bu."

Rombongan anak muda itu mengangguk sopan dan meminta diri kepada Indri. Setelahnya Indri berlalu menuju kamarnya. Ia tersenyum melihat foto-foto Arung yang sudah dipersiapkannya. Foto-foto itu tampak cemerlang karena baru dicetak ulang dan ditempatkan dalam bingkai-bingkai yang juga baru dibeli Indri beberapa hari lalu.

Ina sudah menyelesaikan cucian piring dan gelas dan tinggal mengelapnya hingga kering. Samar-samar terdengar suara Agung yang seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Ina tak terlampau menghiraukannya karena ia tahu serombongan anak muda baru saja datang memasang tenda, juga menyusun kursi-kursi plastik dan meja-meja. Tapi ia tak bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan oleh mereka.

Di dalam kamar, Indri membolak-balik jurnal peninggalan putra semata wayangnya itu. Dan ia terkaget ketika membaca sebuah kutipan hadis menyelinap di jurnal tersebut. Jurnal tersebut penuh dengan keluh kesah Arung terutama soal politik, ketidakadilan yang dilihatnya, juga kutipan dari tokoh-tokoh pejuang yang dikaguminya, dari Che Guevara, Soe Hok Gie hingga Widji Thukul. Maka kutipan hadis itu terasa seperti anomali, sesuatu yang tak pada tempatnya.

Dengan tulisan tangannya yang tegas dan terbaca jelas, Arung menuliskan hadis tersebut.

Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah seorang mukmin ditimpa sebuah kesusahan, sakit, kegundahan, kesedihan, kepedihan, dan kegalauan hingga duri yang menimpanya, kecuali Allah pasti akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahannya."

[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].

Airmata Indri perlahan menetes di pipinya. Seketika ia merasakan rindu yang teramat sangat untuk seseorang yang hanya bisa didoakannya setiap saat.

Ina berada di ruang tamu dan melihat Agung masih terus disibukkan dengan permainan legonya. Ina mengambilkan air minum untuk anaknya itu. Setelah meneguknya dengan lahap, Ina berbicara pelan kepadanya. "Tadi Agung ngomong sama siapa?"

Agung menoleh ke ibunya sesaat dan lantas berbicara terpatah-patah. Indri sudah duduk bergabung dengan mereka sembari membawa teh dan cemilan.

"Tadi aku ngomong sama kakek-kakek sama anak kecil, tapi lebih gede dari aku. Kakek-kakeknya tinggi besar, kulitnya putih dan selalu tersenyum ke aku. Trus yang anak kecil juga bilang supaya aku sampein terima kasih ke Ibu."

Ina terhenyak. Ia tak mengerti apa yang dibicarakan oleh putranya itu. Namun Indri malah tampak termangu mendengar percakapan Agung.

"Trus kakek-kakek itu bilang nanti Tante Indri bakal dapat gantinya Kakak Arung. Sebentar lagi katanya."

Indri berkaca-kaca mendengar ucapan Agung. Anak itu lantas melanjutkan permainannya. Sementara Ina masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Jadi tamu yang datang barusan ngobrol sama Agung itu almarhum ayahku sama almarhum adikku. Rupanya mereka selalu menjaga kita dari jauh, memastikan kita semua nggak apa-apa."

Ina tampak tak bisa berkata-kata setelah Indri kembali ke kamarnya. Nanti malam adalah peringatan 40 hari meninggalnya Arung.

HARI KE-40Where stories live. Discover now