Namanya Mala

269 41 29
                                    

Sembari melahap nasi Padang di hadapannya, Arung terus bercerita soal episode hidupnya yang pernah berada di ujung tanduk. Perempuan yang berada di hadapannya mendengarkannya dengan takjub, sesekali menampilkan wajah terkejut sebagai respon atas kelokan-kelokan cerita yang memang sesekali tak terduga.

Perempuan itu lantas menghirup es tehnya dengan nikmat. Sembari tetap mendengarkan Arung menuntaskan ceritanya, pikirannya berkelana ke masa di mana untuk pertama kalinya ia bertemu dengan laki-laki yang lantas ia pilih sebagai kekasih pertamanya itu.

Susah untuk tak menghiraukan keberadaan perempuan itu. Sosoknya mudah menarik perhatian, berambut panjang, berkulit kuning langsat, berwajah cantik nan lembut namun terasa samar ada sebuah misi pemberontakan di balik segala kelembutannya. Raut bibirnya yang tegas seperti memberitahukan kepada siapapun bahwa ia siap beradu argumentasi dengan siapapun. Padahal jika mengenalinya lebih jauh, ia justru tak banyak bicara. Ia memilih setiap kata yang meluncur dari bibirnya dengan hati-hati seakan-akan ia takut kata-katanya menjadi senjata yang melukai seseorang.

Tapi perempuan itu menggegerkan seisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di hari kedua Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus [Ospek] tahun 1997. Ketika itu intimidasi pada mahasiswa/mahasiswi baru menjadi sebuah hal yang dianggap biasa apalagi pada saat Ospek. Mahasiswa/mahasiswi baru dianggap makhluk kelas dua yang bisa diinjak-injak harga dirinya begitu saja. Meski tetap tak menolerir kekerasan namun kekerasan pun bisa dilakukan secara verbal. Maka hinaan dan caci maki bertaburan di udara sepanjang hari dengan segala jenis nama binatang menyeruak di tengah-tengahnya.

Sebagai salah satu panitia Ospek, Arung sebenarnya tak setuju melanggengkan cara-cara yang dianggapnya "sangat Orde Baru" itu. Tapi kita tahu status quo tak mudah dilawan apalagi ditaklukkan. Maka Arung hanya menyepakati satu hal: jika ada mahasiswa/mahasiswi senior yang melakukan tindak kekerasan selama Ospek maka ia sendiri yang akan membawanya ke kantor polisi.

Suasana mendadak hening dan senyap seketika ketika sebuah suara lembut namun terdengar sangat lantang mendobrak langit pagi itu.

"Hanya laki-laki pengecut yang berani mencaci maki perempuan yang tak berdaya!"

Dan semua mata tertuju ke sosok perempuan itu. Matanya nyalang memandang nanar ke para panitia yang menatapnya seperti hendak menerkamnya. Tapi ia tak gentar dengan sekedar tatapan. Ia bahkan sudah bersiap jika saja sebuah kericuhan terjadi atas ulahnya. Ban hitam karate yang sudah diperolehnya sejak SMA sudah digenggamnya dan siap digunakannya sewaktu-waktu apabila ada ketidakadilan terjadi di depan mata dan harus dibelanya.

Arung seperti tersihir ketika melihat adegan itu. Untuk pertama kalinya ia merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan mungkin untuk pertama kalinya Arung merasakan jatuh cinta. Sebelumnya ia tak pernah menjalin hubungan serius dengan perempuan manapun. Ia sudah berjanji ke dirinya sendiri untuk fokus belajar agar bisa lulus kuliah tepat waktu. Tapi perempuan itu meruntuhkan janjinya.

Perempuan itu menatap piring yang sudah tandas di hadapan Arung. Benar-benar tandas licin tanpa sebutir nasi pun tersisa. Perempuan itu hanya tersenyum.

"Aku senang kita beneran serius dengan janji kita supaya tak menjadi penyumbang sampah makanan, " ujarnya sembari tersenyum manis.

Arung membalas tatapan perempuan di hadapannya itu dengan lembut.

"Ya gimana caranya gak habis kalo di depanku ada patroli brimob yang bisa menyergapku kalau ada sebutir nasi saja tersisa di piring ini, " balas Arung. Keduanya terbahak-bahak tanpa peduli ditatap banyak orang di restoran itu.

Arung memanggil pelayan dan mengangsurkan uang lima puluh ribu rupiah. Tak lama kemudian pelayan datang kembali dan memberikan uang kembalian. Arung dan perempuan itu lantas berdiri dan mengucapkan terima kasih dengan sopan.

Di depan restoran itu, sebelum menghidupkan mesin motornya, Arung mengambil helm dan memakaikannya ke perempuan itu dengan hati-hati. Ia merapikan rambut perempuan itu dengan tangannya setelah helm terpasang sempurna di kepala nan mungil itu.

Arung lantas memakaikan helm ke kepalanya sendiri. Dipandanginya langit Jakarta sore itu. Cerah nyaris tak berawan dengan semilir lembut angin yang seakan berusaha mengusir lelah dari mereka yang setiap hari berjuang menaklukkkan ibukota. Termasuk Arung dan perempuan itu yang serius menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi tertua di negeri ini.

"Jadi mau ke mana kita malam ini, Malahayati?"

Motor yang dikendarai Arung sudah berada di jalan raya yang tak seberapa ramai. Dari raut wajahnya, perempuan itu mencoba mengingat-ingat sesuatu. Hanya butuh beberapa detik, binar terpancar dari kedua matanya.

"Kebetulan temanku ngajak kita nonton band baru di salah satu kafe. Katanya band-nya retro gitu. Dan lagi beredar di banyak event. Kamu pernah dengar nggak nama band-nya?"

Arung mengernyit. "Nama band-nya apa?"

Mala menjawab singkat. "Naif."

HARI KE-40Where stories live. Discover now