Chapter 7

31 3 6
                                    

6 bulan lalu...

Nana tergugu memandangi dokumen perceraian yang ditemukannya di meja kerja suaminya. Tertera di sana bahwa Rei telah mengajukan gugatan ke pengadilan dan hanya perlu persetujuan dari Nana yang harus membubuhkan tanda tangan di lembaran surat itu.

Air matanya menitik pelan. Nana mencoba untuk menguasai dirinya agar tidak ambruk. Tentu seharusnya hal ini bukanlah sesuatu yang perlu membuatnya terkejut mengingat tabiat Rei beberapa waktu ini. Mulai dari jarang pulang, tak pernah makan bersama bahkan mereka tak lagi tidur sekamar. Ahh, pernikahan macam apa ini bila terus berlanjut.

Benang merahnya mungkin terlihat berkaitan dengan pekerjaan. Nana pikir itu merupakan hal basi untuk dimengerti. Pria yang memprioritaskan istrinya tentu akan selalu menyempatkan waktu.  Nana pun kembali meletakan dokumen itu di laci meja kerja Rei. Setelah itu, dia segera mengambil jaket dan tasnya untuk bersiap pergi ke sebuah klinik.

Belakangan ini Nana merasa tidak enak badan dan perlu memeriksakan dirinya ke dokter. Dengan menaiki sebuah taksi, Nana pun tiba di sebuah klinik. Setelah melakukan pendaftaran, seorang perawat mengantarnya menuju ruang pemeriksaan.

Nana pun mengatakan semua keluhan yang dia rasakan. Dokter menanyakan semua hal yang telah dilakukannya akhir-akhir ini. Nana pun menjalani beberapa tes kesehatan termasuk pemeriksaan darah dan urine. Tak lama dokter pun memberitahunya tentang hasil pemeriksaan.

"Selamat, Nyonya. Usia kehamilannya telah berjalan 5 minggu."

Begitulan yang diucapkan sang dokter dengan tersenyum. Seketika Nana hanya bengong. Reflek tangannya menyentuh perutnya yang sedikit membuncit. Pantas dia terlambat haid dan merasa ada yang aneh. Namun, tak terpikir untuk melakukan tes kehamilan karena terakhir tidur dengan Rei telah berlalu sebulan lalu yang bahkan tak bisa dibilang berkesan karena pria itu datang dengan kondisi mabuk. Dan bisa saja saat itu Rei tak sadar telah melakukannya.








*****






"Aku harus pergi ke London. Jadi mari akhiri semuanya."

Wanita berambut pendek kemerahan bernama Shiho Miyano itu tertunduk. Sementara Rei yang duduk di bangku kemudi mobil tengah menatap kosong jalan raya yang menyajikan rintik hujan.

"Aku akan menceraikannya. Jadi tunggulah sampai semua selesai."

Perkataan Rei sama sekali tak membuat wanita itu merasa lebih baik. Tangannya segera melepas seatbelt dan meraih handle mobil sebelum Rei menarik tangannya.

"Lepas!" Shiho menggertak sambil berusaha menyentakkan tangannya.

"Aku sudah bilang aku akan melepaskan segalanya dan datang padamu!!" Rei berusaha meyakinkan dengan nada tegas.

Shiho pun menoleh untuk menatap pria berambut pirang itu. "Ini bukan tentang bagaimana kalian akan berakhir. Aku pasti akan dicap sebagai penghancur hubungan. Maka biarkan saja aku pergi dan kau tak perlu mencariku!"

"Dari awal...kau tahu bahwa aku hanya akan menjagamu. Satu-satunya wanita yang aku inginkan."

Shiho segera menyela, "Tak perlu merasa berhutang hanya karena ibuku. Sudah cukup dengan semua yang kamu lakukan selama ini. Kamu yang menjagaku dan menyelamatkanku dari organisasi itu...."

"Shiho, kau sepertinya tak mengerti."

"Rei...sudahlah. Besok aku harus ke bandara jadi aku tak ingin pulang larut."

The Stranger From Hell ✔️ Where stories live. Discover now